Pesan Al-Qur’an diyakini relevansinya bagi semua umat Islam, baik yang hidup di antara tahun 610 M dan 632 M maupun bagi mereka yang akan datang di kemudian hari hingga kelak akhir dunia ini. Berdasarkan berbagai peristiwa yang dialami oleh umat Islam selama 23 tahun selama turunnya wahyu dan kisah-kisah umat terdahulu, Al-Qur’an menyuguhkan berbagai panduan hidup dalam bentuk berbagai perintah, larangan-larangan, dan nasihat baik yang serentak spesifik dengan peristiwa yang terjadi, juga senantiasa relevan secara universal, dapat diterapkan dengan dinamis dan di sisi lain juga sangat statis.
Generasi pertama yang secara langsung mendengar dan menerima pesan Ilahi ini sangatlah beruntung, karena mereka mendapatkannya tanpa adanya penambahan seperti tafsir maupun interpretasi sintetis dari orang lain, dan bisa mendapatkan penjelasan dari Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam secara langsung terkait sesuatu yang tidak mereka pahami kapan pun itu. Generasi selanjutnya berusaha keras untuk memahami maksud dari pesan Ilahi itu dengan cara memahami dan mengasosiasikan fakta yang terdapat dalam ajaran Islam dengan norma yang berlaku di sekitar mereka secara akurat. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam adalah penutup dari para Nabi terdahulu, dan Al-Qur’an pun adalah pamungkas dari pesan-pesan dan kitab-kitab Ilahi sebelumnya. Jadi, pesan-pesan Ilahi yang terdapat di dalamnya bersifat universal, komprehensif, meta-historis, serta tidak dapat dipelajari dan diimplemetasikan dengan cara lain, melainkan dibutuhkan ketelitian intelektual.
Para Sahabat, Tabiin, dan Pengikut Tabiin telah mengerahkan segala daya dan upaya untuk berkontribusi dalam bidang intelektual setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Saat ilmu-ilmu ushul berfokus meneliti dan membedah metodologi yang dipakai generasi salaf saleh tersebut dalam karya mereka, maka disiplin ilmu Islam lainnya seperti Fikih (yurisprudensi Islam), Kalam (Teologi Islam), Hadis, dan Tafsir adalah hasil dari penerapan metodologi tersebut. Sedangkan ilmu lainnya seperti Sirah Nabawi (sejarah kehidupan Nabi), Maghazi (kisah peperangan Nabi), dan Tarikh (Sejarah Islam), memaparkan sumber-sumber autentik maupun yang tidak atas disiplin-disiplin ilmu di atas.
Nampaknya aktivitas-aktivitas intelektual seperti ini perlahan-lahan mulai terkikis seiring berjalannya waktu. Mencoba mempertahankan nilai-nilai luhur keislaman dalam bentuk aslinya, mengembangkan teori-teori penafsiran dan praktik-praktik transformasi baru yang sesuai dengan perkembangan keadaan sosial, politik, ekonomi, moral, hukum, dan militer tidaklah selalu mudah dan memungkinkan. Perubahan keadaan sosial sangatlah dinamis, karena gerak dinamis—yang tidak inersia—adalah sumber dari segala sesuatu dan kehidupan. Bagi sebagian muslim memandang bahwa kehidupan yang kaku dan harus sama persis dengan apa yang ada di zaman Nabi adalah sebuah masalah. Sedangkan masalah lain adalah tentang anggapan bahwa makna yang ada di permukan Al-Qur’an dan Hadis saja sudah cukup menjadi solusi atas problematika sosial saat ini.
Struktur sosial yang beku ini berlangsung pada masa Tadwin (masa emas dimulainya kodifikasi literatur Islam) telah mempengaruhi sudut pandang Muslim terhadap Al-Qur’an, Hadis, dan metodologi ilmu pengetahuan. Prinsip-prinsip seperti “keuniversalan Al-Qur’an”, atau anggapan bahwa “melaksanakan berdasarkan teks jauh lebih baik daripada tidak melaksanakannya sama sekali”, “sebab tertentu yang menjadi asbabun nuzul (alasan atau kisah tertentu yang melatarbelakangi turunnya sebuah ayat) tidak serta merta menafikan validitas suatu ayat untuk dipakai secara universal”, dan “ijtihad tidak bisa dilakukan jika ada teks agama yang jelas dan eksplisit”, telah memprakarsai terhimpunnya kaidah dasar yang bertanggung jawab atas terbentuknya ilmu pengetahuan selama berabad-abad. Seyogianya topik ini menjadi pembahasan terpisah pada artikel lain karena urgensinya.
Ayat-ayat Al-Qur’an tidak mungkin terlepas dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi antara tahun 610 dan 632 Masehi di Makkah dan Madinah. Syarat pertama untuk memahami dan mempelajari maksud wahyu Ilahi dengan akurat adalah dengan mengetahui secara saksama apa yang telah dipahami dan dipraktikkan oleh penerima pertama wahyu Al-Qur’an tersebut selama masa turunnya. Mencoba memahami—apa yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an (tujuan penyampaian wahyu)—tanpa tahu maksud—apa yang Al-Qur’an sampaikan—tidak akan mengantarkan kita kepada hasil dan jawaban yang akurat. Sebaliknya, langkah seperti ini akan memicu terjadinya marabahaya besar, yakni menjadikan firman Tuhan agar sesuai dengan kepentingan individu dan menjadikan Al-Qur’an agar berkata sesuai dengan hasrat dan keinginan orang yang membacanya, atau dengan kata lain, memahami dan mempraktikkan Al-Qur’an sesuai hawa nafsu semata.
Banyak sekali narasi dalam Al-Qur’an yang menyuguhkan peristiwa yang terkait pada masa itu dengan perspektif kreatif dan pendekatan dialog yang produktif, jika kita benar-benar menjelajahinya. Walaupun tidak hanya terbatas pada hal ini saja, berikut adalah beberapa contoh narasi-narasi tersebut: peristiwa Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, Perjanjian Hudaibiyah, Penaklukan Kota Makkah, Perang Tabuk, Perang Mu’tah, cara memperlakukan tawanan perang dalam Islam, serta tata cara salat di tengah peperangan. Contoh lainnya adalah ayat yang menerangkan tentang perselisihan yang terjadi antara Khawla binti Tsa’labah dan suaminya Aus bin Shamit, serta bagaimana Allah menyelesaikan perselisihan tersebut dengan cara yang amat tepat. Narasi lain juga mengisahkan tentang perceraian antara sayidina Zaid bin Haritsah dan sayidah Zainab yang kemudian menikah dengan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam; kisah Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil, yang mendapat siksa pedih di akhirat karena penganiayaan yang mereka lakukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam; kisah pemakaman jenazah pemuka kaum munafik Madinah, Abdullah bin Ubay bin Salul, dan puluhan atau bahkan ratusan narasi-narasi lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu dalam artikel ini. Pada akhirnya, semua narasi tersebut membuktikan bahwa telah terjadi hubungan korelatif antara Tuhan dan masyarakat di kala itu. Dan dengan bukti-bukti yang kuat inilah sangat mustahil untuk menganggap bahwa Al-Qur’an terlepas dari fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada kurun waktu turunnya wahyu tersebut.
Pembahasan Jihad
Hal yang sama juga berlaku pada ayat-ayat yang membahas tentang konsep jihad, qatl (pembunuhan), qitâl (peperangan), ataupun ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad militer secara umum. Ayat-ayat tersebut di satu sisi berdiri terpisah dari ayat-ayat lain tentang jihad, dan di sisi lain berkaitan dengan peristiwa tertentu yang mengajarkan dengan jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut. Dengan kata lain, Al-Qur’an sejatinya memberikan solusi konkrit atas persoalan yang nyata. Misalnya, jika dilihat dari perspektif yang ingin kami gambarkan, dapat dipahami bahwa ayat-ayat berikut: “Dan (ketika dalam kondisi perang) bunuhlah mereka di mana pun kaujumpai, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan” (QS. Al-Baqarah: 191) dan ayat: “(tetapi jika mereka terus melakukan kerusakan) Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah” (QS. Al-Baqarah: 193), sejatinya adalah jalan petunjuk yang Tuhan sampaikan kepada umat muslim kala itu untuk menghadapi kaum musyrik Makkah. Namun, sangat disayangkan banyak orang yang salah memahami ayat-ayat ini dan menggeneralisasi ajakan perang yang terkandung di dalamnya, sehingga ayat-ayat tersebut pun ditafsirkan secara diskriminatif dan dijadikan bukti bagi anggapan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan.
Ayat-ayat dari surat Al-Baqarah di atas tidak diturunkan secara terpisah dan di waktu yang berbeda-beda. Namun, ia diturunkan bersamaan dengan 6 ayat lainnya sebelum peristiwa Umratul Qadha’ (umrah pengganti) yang dilaksanakan setahun setelah Perjanjian Hudaibiyah berlalu. Alasan diturunkannya ayat tersebut adalah untuk mengajarkan pada umat Muslim bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap kaum Musyrik Makkah—yang setahun sebelumnya telah melanggar peraturan bulan-bulan Haram—jikalau mereka akan melanggar perjanjian sekali lagi dan mengobarkan api perang kepada kaum muslimin. Oleh karenanya, agar penafsiran ayat-ayat tersebut dapat dilakukan secara akurat, maka terlebih dahulu dibutuhkan pemahaman tentang “apa yang Tuhan sampaikan” sebelum memahami “apa yang ingin Tuhan sampaikan (tujuan penyampaian ayat)” ketika mempelajari 6 ayat terkait beserta sebab turunnya (asbabun nuzul) secara keseluruhan.
Para ulama seharusnya saling bergandengan tangan dalam mempertimbangkan penyebab turunnya wahyu, menganalisis kaitan yang terjalin antara satu ayat dengan ayat lainnya, dan melihat Al-Qur’an secara keseluruhan sambil memperhatikan aspek kondisi sosial, ekonomi, militer, adat istiadat, dan keberagaamaan yang ada di masa itu. Hal-hal tersebut merupakan informasi kontekstual yang sangat penting demi tercapainya penafsiran yang akurat. Bila kita mempertimbangkan faktor-faktor di atas, maka akan jelaslah bahwa Islam pada hakikatnya bukanlah agama perang atau agama yang mengajarkan kekerasan seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis. Pendekatan ini juga akan membantah argumen yang menganggap bahwa dalam Islam, perang adalah jalan utama sedangkan kedamaian adalah jalan kedua seperti yang dikatakan oleh mereka yang “mengaku-aku sebagai ulama”. Hal ini merupakan argumen-argumen yang benar-benar bermasalah, radikal, serta cacat secara etik.
Sangat disesalkan, nyatanya masih ada sekelompok orang yang menamai dirinya muslim namun menarik kesimpulan berdasarkan argumen cacat di atas. ISIS, Boko Haram, Al-Qaeda dan afiliasi terkait adalah contoh-contoh kelompok garis keras yang mengeksploitasi ayat-ayat Al-Qur’an, memisahkan ayat-ayat dari konteks yang sesungguhnya, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hanya berdasarkan hawa nafsu semata agar melegitimasi langkah berbahaya yang mereka tempuh. Berawal dari pandangan politik, lalu perlahan-lahan berubah menjadi dogma kepercayan, dan akhirnya menjelma menjadi hukum syariah versi mereka sendiri. Sayangnya, saat melakukan berbagai kejahatan, tak terlintas sedikitpun di sanubari mereka akan ayat-ayat lain Al-Qur’an yang menyatakan bahwa permusuhan hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang melakukan penindasan dan bukan kepada yang lainnya (Al-Baqarah:193), bahwa kepercayaan adalah pilihan pribadi dan yang diwajibkan atas muslim hanyalah nasihat yang baik (Al-Kahfi: 29 dan Al-Hujurat: 14), tentang tidak adanya paksaan dalam memilih agama (Al-Baqarah: 256), dan jangan sampai kebencian menghalangi seorang muslim untuk berbuat baik kepada nonmuslim yang tidak menunjukkan permusuhan (Al-Mumtahanah: 8 dan Al-Maidah: 2). Mereka mengabaikan dan menentang praktik-praktik yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang luhur dan agung seperti Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, amnesti yang terjadi saat Fathu Makkah (penaklukkan kota Makkah), dan aturan tentang larangan membunuh perempuan, balita, lansia, dan orang-orang suci dari agama lain pada saat perang berlangsung.
Ketika kita berusaha memahami arti Al-Qur’an yang sesungguhnya, penting rasanya menggarisbawahi perbedaan antara fakta dan norma, serta politik praktis dan idealisme. Fakta atau politik praktis adalah konsep yang ditawarkan ayat Al-Qur’an dengan menyuguhkan solusi konkrit untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi selama wahyu diturunkan. Sedangkan idealisme adalah nilai-nilai dan pinsip-prinsip yang didapatkan melalui studi holistik terhadap Al-Qur’an, yang di dalamnya termasuk ayat-ayat jihad. Misalnya, ayat 191 Surat Al-Baqarah menegaskan: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kaujumpai, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan”. “Mereka” yang dimaksud dalam ayat ini adalah para musyrikin Makkah yang sangat agresif melakukan penyerangan pada saat itu. Jadi, tindakan agresif mereka adalah fakta politik praktis saat wahyu diturunkan. Sedangkan “fitnah atau tindakan menyiksa seseorang karena kepercayaannya adalah lebih kejam daripada pembunuhan” mengindikasikan idealisme yang disuguhkan dari ayat ini, dan menuntut bahwa kepercayaan harus didasari oleh kebebasan memilih dan kesadaran diri.
Konsep yang Dikenalkan oleh Al-Qur’an
Pada masa ketika turunnya wahyu, Al-Qur’an tidak hanya memakai konsep yang sudah terlebih dahulu terbentuk dalam masyarakat kontemporer Arab kala itu, namun ia juga mengenalkan konsepnya sendiri. Konsep jihad adalah salah satu konsep baru yang dibawa Al-Qur’an ke tanah Arab. Konsep-konsep lain seperti zihar, nikah, talak (konsep-konsep tentang pernikahan dan perceraian) yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah contoh-contoh konsep yang sudah terlebih dahulu berlaku di masa sebelum Islam. Walaupun baru dikenalkan oleh Al-Qur’an, namun konsep jihad ternyata telah mengalami perubahan semantik dan variatif selama 15 abad sejak zaman diturunkannya wahyu. Khususnya setelah merebaknya gerakan memerdekakan diri dari kolonialisme yang terjadi di negara-negara mayoritas Muslim yang terjajah. Perubahan semantik kata jihad ini nampaknya sudah bergeser jauh dari konsep yang dimaksudkan Al-Qur’an. Hal ini terjadi akibat menyebarnya karya-karya orientalis, media massa yang gencar menyerukan gerakan anti-Islam, serta berbagai persekusi yang dialami oleh Muslim minoritas di berbagai daerah. Lemahnya negara-negara mayoritas Islam, rezim yang otoriter, politik petrodolar, krisis ekonomi, dan banyaknya generasi muda yang tak mudah untuk dikontrol karena keadaan-keadaan sulit ini juga merupakan faktor utama yang mengakibatkan penyalahgunaan konsep jihad itu sendiri. Hal-hal inilah yang akhirnya dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan muslim radikal ekstremis untuk melegitimasi aksi mereka. Konsep-konsep ini ibarat organisme hidup. Makna yang terkandung di dalamnya terkadang menyusut, berkembang, berubah, atau bahkan bertransformasi berdasarkan realita yang terjadi. Dewasa ini, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengembalikan konsep ini pada keadaannya semula dengan menempatkannya kembali di atas fondasi Al-Qur’an, baik secara teoretis maupun praktis.
Karena itu, menurut hemat penulis, seruan yang menggaungkan bahwa “Islam adalah agama perang’’ atau slogan—ya, saya menyebutnya slogan—“Islam adalah agama kedamaian” menjadi tidak cukup akurat. Bahkan, upaya penyederhanaan dan penjelasan klise tentang konsep ini akan membentuk dinding penghalang intelektual yang sangat besar, yang menghalangi pemahaman tentang konsep Islam sebagai agama secara keseluruhan. Dan nampaknya, ayat-ayat jihad yang terdapat di dalam Al-Qur’an sudah terkena imbas dari penyederhanaan ini. Para nashshiyyun atau tekstualis Islam saat merespons politik praktis yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, memandang Al-Qur’an semata hanya sebagai kitab undang-undang. Jika sudut pandang ini diterapkan oleh kebanyakan orang, maka akibat yang timbul adalah menjadikan Al-Qur’an berbicara sesuai dengan hasrat yang mereka inginkan. Oleh karena itu, kita perlu menggarisbawahi perbedaan antara Islam Ideal yang berlangsung selama masa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam masih hidup, Islam Cendekia yang berlangsung saat berkembangnya aktivitas-aktivitas akademik di tahun-tahun berikutnya, dan Islam Historikal yang berlangsung di antero jagad dan dialami oleh para muslimin selama 15 abad ini. Dan syarat minimum yang harus diterapkan agar perbedaan ini bisa dipahami adalah dengan mempelajari Al-Qur’an dengan konteks beserta kondisi yang melatarbelakangi turunnya wahyu Al-Qur’an, serta memahami dengan saksama “apa yang Al-Qur’an benar-benar katakan” sebelum mempelajari lebih dalam tentang “apa yang ingin disampaikan Al-Qur’an (tujuan wahyu)”. Memahami makna tersurat dan tersirat Al-Qur’an beserta sebab turunnya wahyu, pendekatan yang holistik terhadap studi Al-Quran, dan pengetahuan yang kontekstual adalah kata kunci referensi di dalam disiplin ilmu ini.
Discussion about this post