Seorang mukmin hidup dengan kesadaran bahwa ia dimuliakan dan ditinggikan kedudukannya oleh Sang Maha Pencipta, Rabb alam semesta yang Rahim-Nya berupa nikmat tak terhitung dan tak berbatas. Mari kita coba untuk memahami bahwa dari ketiadaan, kita diciptakan menjadi mahluk ciptaan, bukan menjadi sebuah mahluk tak bernyawa atau bukan pula menjadi sejenis nabati ilalang rerumputan… tak pula men jadi seekor hewan yang selalu berada dalam perintah majikan… namun justru diciptakan-Nya kita menjadi mahluk yang bermartabat, yang dimuliakan dengan kehidupan dan semua buahnya, yang seluruh alam menjadi pembantu taat baginya, betapa luar biasa besarnya nikmat diciptakan sebagai insan manusia. Bersamaan dengan ini, memahami mahluk dan tujuan penciptaan mahluk, sebagaimana mengenal Rabb Tuhan kita, adalah juga pencapaian akan sebuah kesadaran yang tak ada duanya. Oleh karena dengan hal inilah kehidupan kita akan bermakna, dan semua hal, semua peristiwa yang terjadi di hadapan kita akan dapat kita jadikan sumber untuk mengungkapkan keberadaan kita.
Kalbu yang beriman tahu persis bahwa semua ibadah yang diperintahkan Allah Subhānahu Wa Ta’āla padanya adalah sesuatu yang paling baik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri. Bahkan ia tahu pula bahwasanya Allah Subhānahu Wa Ta’āla tak akan pernah meminta sesuatu yang akan membahayakan dirinya. Sesuatu yang tampak menemui kesulitan atau bagaikan kehilangan, sebenarnya ibarat sebuah benih yang dijatuhkan ke tanah, merekah lalu berbuah, akan memberikan hasil berupa kenikmatan-kenikmatan akhirat. Maka pada cara ini, tidaklah sulit merenda pemahaman pada poros kehidupan yang berada di sekitarnya. Oleh karena pada banyak ayat di Al-Qur’an selalu disebutkan bahwa apapun yang ada di langit dan bumi selalu menyuguhkan khidmatnya masing-masing.
Allah yang Maha Berkuasa memerintahkan beberapa bentuk ibadah pada mahluk berharga yang diciptakan-Nya sebagai wasilah baginya agar dapat meraih derajat sebagai sahabat-Nya. Tak ada mahluk lain yang mendapatkan kesempatan atas kenikmatan seperti ini. Malam-malam suci yang ada pada tiga bulan berkah Rajab, Syakban dan Ramadan adalah pada derajat pertama kedekatan pada-Nya… Lalu dilanjutkan dengan semua keagungan bulan Ramadan dan lailatulkadar… diikuti dengan hadirnya atmosfer luar biasa hari raya Idulfitri yang bernuansa alam abadi… Setelah ini pun tak pula bisa tanah dan debu kesucian Ramadan langsung saja kita kibaskan. Saat menggenapkan dengan enam hari puasa Syawal pun, maka kita seperti diajak terus membiasakan puasa Senin-Kamis agar menolong seorang hamba tetap berada dalam kemudahan meneruskan kebiasaan ini. Baru saja semua itu berlalu, hari-hari begitu cepat berganti lalu diikuti langsung dengan datangnya masa-masa tenang menuju hari raya Iduladha. Kita pun berada pada kesadaran akan datangnya sepuluh hari pertama bulan Zulhijjah yang begitu mulia. Kembali menawarkan keseriusan pada dimensi kehambaan kita. Kemudian saat semua itu selesai, sampailah kita pada sebuah hari yang tak ada bandingannya. Yakni hari Arafah, sebuah hari ketika para jamaah haji telah menjadikannya seperti kondisi padang mahsyar, para pemuda maupun orang tua, laki-laki maupun perempuan, yang putih serta yang hitam, miskin ataupun kaya, semua yang diperkenankannya hadir di sana menengadahkan tangannya ke langit, air mata mengalir deras, kalbu-kalbu merintih, bibir bergetar, rambut kusut masai, dan seluruh tubuh berbalut debu, seraya memanjatkan doa-doa pada Rabb alam semesta… Entah doa siapakah yang akan berbaur dengan doa-doa kita, berharap mungkin sebentuk doa-doa yang dipanjatkan bersamaan pada Sang Rabbul ‘Alamiin ini akan terkabul…
Ya, setelah semua ini, hari raya kurban datang seperti seorang sultan yang menempatkan takhtanya di hati orang-orang beriman. Setiap muslim yang memiliki kemampuan menunjukkan niat sucinya dengan sebentuk semangat pada Allah ta’āla. Ketika sebuah kurban coba disampaikan keribaan-Nya yang mulia, maka sesungguhnya yang ‘kan sampai adalah takwa yang diembankan padanya.
Dari dalam hati, seakan kita memandang masalah ini sebagai perantara-perantara penting atas perintah yang diberikan Allah, ibadah apapun yang diinginkan-Nya dari kita, rasa hormat, dan pengampunan, bagi kita semua, siang dan malamnya itu adalah bentuk rangkuman ihsan dan pertolongan dari-Nya, yang membuat kita dimampukan untuk meraih kedekatan pada-Nya, menyadari identitas kita yang sesungguhnya, menjadi seorang hamba yang dicintai ketika berhasil menunaikan semua kewajiban yang diinginkan dari kita. Maka kurban adalah sebuah ibadah yang namanya sangat sesuai dengan bentuk ibadahnya. Sebuah penampilan yang menunjukkan bagaimana dan apa saja yang harus dikorbankan, sebuah penyerahan diri sepenuhnya pada Sang Pencipta dan pengikatan diri pada perintah-perintah-Nya. Ketika Nabi Ibrahim alaihi salam diberikan ujian khusus seperti ini, maka pengorbanan yang diinginkan dari Beliau sangatlah besar. Mungkin dikarenakan pentingnya hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mendapatkan kelapangan tetapi tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat kami.”1 Dengan kasih sayang yang besar, Sang Maha Pencipta memerintahkan pada Nabi Ibrahim melalui putranya dan pada kita dengan apa saja, yang cukup berat bagi kita. Maka hal ini pun telah menjadikan kita sebagai suruhan-Nya. Berdasarkan kelemahan kita, maka Ia pun mewajibkan hal yang Ia tahu kita tak’kan kesulitan dalam pelaksanaannya. Maka dapat dikatakan bahwa Allah Subhānahu Wa Ta’āla telah memudahkan jalan untuk kita mendekatkan diri pada-Nya. Mungkin, hanya dengan sebuah iradah sederhana sekalipun akan dapat menjadi berbagai macam wasilah sehingga kita dikaruniai cara untuk mendekat pada-Nya.
Aku meminta dan memohon pada Sang Rabb yang Maha Rahîm, di hari Arafah dimana Rahmat-Nya akan tercurah deras dan pada kemilau langit di berbagai sudut lainnya, semoga dengan kemuliaan doa-doa dari wajah-wajah yang terpanggang, Hari Raya ini akan menjadi wasilah kedekatan kita pada-Nya. Dengan perantaraan semua ini, semoga dosa-dosa kita dihapuskan, keburukan-keburukan kita digantikan menjadi kebaikan, dan semoga kita dimuliakan dengan kesadaran seorang hamba.
Penulis : Dr. Ali Ünsal
Dr. Ali Ünsal adalah akademisi, penulis, dan peneliti yang menyelesaikan Ph.D.-nya di bidang Islamic Theology dari Selcuk University, Konya,Turki. Beberapa karya tulis beliau adalah: Para Malaikat, Khawarij dan Neo-Khawarij dari Dahulu hingga Sekarang, Surga dan Neraka, dan Yang Kutakutkan dari Ummat-ku.
Referensi :
- HR. Ahmad dalam Musnad-nya no. 8273, Ad-Daruquthni dalam Sunannya no. 4762 dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 7565. Imam At-Tirmidzi, Ibnu ‘Abdl-Barr, Al-Baihaqi dan Ibnu Hajar merajihkan hadis tersebut mauquf. (As-Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi no. 19485, Bulughul maram).
Discussion about this post