Alkisah pada suatu masa, seorang pemanggul air dari India setiap hari berletih-letih menapaki jalan setapak merah yang menghubungkan sebuah sumber air menuju ke rumah tuannya. Setiap hari ia membawa dua kendi air dengan pikulan kayu yang menggantung di pundaknya. Sebuah kendi miliknya tampak bagus dan terisi penuh air sementara terdapat sebuah retakan di kendi lainnya hingga jika air diisinya penuh pada kendi tua itu hanya akan tersisa separuhnya saat ia sampai ke rumah sang majikan untuk mengumpulkan air tersebut. Walhasil setiap harinya hanya satu setengah kendi air yang bisa dikumpulkan oleh lelaki tua tersebut. Waktu berganti hari, bulan berganti bulan, setelah dua tahun terlewati, saat kendi baru merasa amat bangga dengan hasil kerja kerasnya, justru kendi tua merasa malu hingga ia ingin meminta maaf pada lelaki pemanggul air tersebut. Dengan terbata-bata ia memohon maaf pada pemiliknya dan mengadukan perasaannya yang gundah karena tak mampu memenuhi tugas yang diberikan padanya. Ketika temannya si kendi tanpa retak teramat bangga bisa mengangkut air penuh setiap hari, dirinya yang retak hanya bisa mengantarkan separuh dari air tersebut. Pemilik kendi tersebut seorang laki-laki bijaksana, ia hanya tersenyum melihat kegelisahan yang dialami oleh kendi retak tadi hingga dipanggulnya kembali kedua kendi itu dan dibawanya menyusuri jalanan yang biasa mereka lewati setiap hari. Bedanya hari itu kedua kendi tidak dimintanya membawa beban air di dalamnya, namun sebaliknya diajaknya untuk melihat apa yang ada di sepanjang jalan setapak yang amat mereka kenali itu.
Di bagian kiri jalan tersusun deretan batu kerikil sementara di bagian kanan jalan selain barisan batu tampak pula bunga-bunga aneka rupa, berwarna warni menyembul di balik rimbunan rumput hijau yang subur. “Lihatlah, betapa tetesan air yang keluar dari retakan kendimu justru menjadi keberkahan bagi tetumbuhan di bagian yang kau lewati. Pada awalnya memang aku sempat berfikir untuk membuang dan menggantikanmu dengan sebuah kendi baru namun saat kulihat kuncup-kuncup indah justru hadir karena keadaanmu itu maka aku terus menyimpan dan menggunakanmu wahai kendi retak. Walaupun aku harus bekerja lebih banyak setiap hari namun aku bahagia karena tau akan ada keindahan yang menantiku setiap hari. Terlebih lagi dengan hadirnya bunga-bunga indah tersebut aku bisa membawa buket bunga cantik setiap minggunya bagi majikanku sehingga ia bertambah senang dengan hasil pekerjaanku, bukan hanya penampungan airnya terisi, rumahnya pun menjadi indah dihiasi bunga-bunga yang kupetik. Yakinlah bahwa bukan kesempurnaan diri yang akan membanggakan kita namun kemanfaatan bagi apapun yang ada di sekitar kitalah yang akan memberikan kebahagiaan dan makna sejati.”
Kisah kendi retak menjadi simbol bagi pergulatan kisah hidup manusia dalam kehidupan ini di mana ada manusia yang sibuk pada kesempurnaan dan merasa puas pada pemenuhan tugas individual tanpa peduli apa yang menjadi kebutuhan orang-orang di sekitarnya, apa yang akan menjadi manfaat bagi orang lain dan apa yang seharusnya dilakukan bagi lingkungannya. Manusia seperti ini tak mempertanyakan mengapa ia ada, kenapa ia diciptakan dan mengapa pula makhluk lain seolah melayaninya. Bukankah sapi tak wajib menyuguhkan susu, tumbuhan tak seharusnya selalu mengantarkan buah-buahannya bagi kita, jika kita sebagai manusia pun tak menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita. Tak disadarinya bahwa konsekuensi dari jabatan khalifah di muka bumi yang disandangnya memiliki konsekuensi pula bahwa ia seharusnya hidup untuk melayani sekitarnya, berkhidmah bagi kemanusiaan dan semesta. Sementara manusia lain berkutat pada kondisi sulit. Bersedia menerima perlakuan buruk hanya agar orang lain mendapatkan hal yang lebih baik. Berjibaku dengan peluh dan air mata, meninggalkan tanah air dan bangsanya adalah agar generasi selepas dirinya tak harus meneteskan haru kepedihan yang sama. Dianggap buruk atau aneh dalam kondisi fisiknya walau sebenarnya ia meniupkan semerbak harum bagi sekitarnya. Inilah insan ksatria yang tak butuh perisai dan baju besi namun cukup dengan kerja nyata dan derap langkah dalam semangat memburu Ridho-Nya.
Manusia berhati ksatria seperti ini akan duduk, berdiri, bangun maupun tidur dengan beban akan tanggung jawabnya pada generasi ke depan, akan keinginan hidup untuk menghidupi. Bahkan di setiap tarikan nafasnya ia pikirkan apakah ia mengambil hak orang lain atau tidak, dalam setiap kedipan mata direnungkannya apakah ia masih bermanfaat bagi orang banyak saat nikmat pandangan masih digenggamnya. Mengepal tangannya, mengeras hatinya saat masa menampakkan keburukan anak zaman. Menangis kalbunya jika para pemuda melewati putaran waktu dengan kesia-siaan, bahkan dalam kerusakan. Inilah yang kemudian membedakan makna sempurna dan retak pada kisah kendi di atas. Saat kondisi kita sempurna tanpa cacat, kita justru menjadi tidak sempurna jika tak mengemban rasa tanggung jawab pada tugas utama kita sebagai manusia bukan sebagai individu. Rupa retak, justru bisa menjadi kebaikan bagi semesta jika kondisi itu justru membuat kita menyadari keadaan diri, berempati dengan sekitar kita sambil terus mencari jalan memperbaiki kemampuan agar yang berada di sekitar kita pun akan termanfaati dan bukannya hanya menyibukkan diri untuk kemanfaat sendiri lalu terus menggulung angan-angan tinggi atas sebuah kesuksesan palsu. Jika pun harus berpindah tempat bukan untuk mencari keuntungan materi atau titel duniawi namun menjelajah dan berhijrah dengan semangat menebarkan cinta, menyebarkan sebanyak-banyak benih kebaikan agar warna semesta segera menemui musim seminya. Terlebih … agar para penghuni langit membanggakannya walau penghuni bumi tak mengenalinya.
Setiap manusia tak sempurna agar ia mengenal Sang Maha Sempurna, setiap manusia adalah hamba hingga ia tahu diri akan kehambaannya lalu bersigap teguh saat melantunkan taubatnya atas kekurangan. Layaknya kendi retak yang tahu kekurangan dirinya lalu meminta maaf karena merasa tak semaksimalnya mengemban amanat, maka tiap insan yang rajin menghisab dirinya akan faham betul mengapa perintah memperbanyak istighfar menjadi akhlak panutan dari Sang Nabi Mulia. Alih-alih takut dan khawatir dengan kekurangan kita justru kekurangan ini menjadi jalan untuk menata kalbu. Meyakini bahwa semua entitas, segala penciptaan pasti memiliki hikmah, lalu bersabar menetapi atas semua ketentuan-Nya. Semoga setelah semua ketetapan dari Sang Maha Berkehendak ini diterima dan justru dicarikan cara agar menjadi kebaikan yang lebih, siapa tau kita pun dapat menyuguhkan dan menikmati pesona bunga-bunga indah kehidupan. Jika tidak di sini… semoga di alam baka kelak, dengan takaran waktu tak berhingga.
Penulis : Astri Katrini Alafta
Discussion about this post