Anti Beku Alami dari Kutu
Beberapa hewan seperti kutu dan ikan memiliki protein anti beku yang melindungi mereka dari kondisi dingin yang ekstrim. Protein anti beku biasanya mencegah kerusakan akibat dingin dengan membatasi pembentukan kristal es yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Namun, mamalia berdarah panas termasuk manusia, tidak memiliki protein tersebut dan dapat menderita cedera parah akibat dingin, seperti radang dingin (frostbite). Dalam sebuah penelitian terbaru, para ilmuwan menguji apakah protein anti beku dari spesies lain dapat melindungi mamalia dari cedera dingin yang demikian. Mereka memasukkan secara genetik suatu protein anti beku dari kutu berkaki hitam ke seekor tikus hidup. Ketika ekor tikus yang terkena dingin selama tujuh hari, 60% tikus transgenik menunjukkan tidak ada gejala radang dingin, berbanding hanya 11 % dari hasil pengamatan. Selain itu, respon inflamasi dari sistem kekebalan pada tikus transgenik secara dramatis lebih rendah. Penelitian ini adalah yang pertama kali menunjukkan suatu kemampuan protein untuk meningkatkan ketahanan terhadap radang dingin pada mamalia dewasa. Meskipun potensi protein anti beku untuk penerapan terhadap manusia masih jauh, studi ini menyoroti dua hal ke arah masa depan. Pertama, protein anti beku berpotensi dimanfaatkan untuk memperpanjang masa hidup organ sebelum transplantasi. Kedua, protein anti beku dapat memberikan perlindungan pada sel bagi mereka dengan penyakit autoimun tertentu, seperti skleroderma yang ditandai dengan sensitivitas dingin
Ponsel Pintar sebagai Perangkat Peringatan Gempa
Ponsel di dalam saku kita yang dapat berfungsi sebagai kamera, kalkulator, senter dan sekarang dapat berfungsi sebagai sensor gempa bumi. Selama gempa bumi terjadi, dalam bahkan sepersekian detik dapat menjadikan perbedaan antara hidup dan mati. Jepang memiliki sistem peringatan dini yang paling maju, yang menyelamatkan banyak nyawa saat gempa dengan kekuatan skala 9.0 di Tohoku tahun 2011. Namun sistem tersebut mahal dan tidak praktis pada tingkat perorangan. Sebuah studi baru menyatakan bahwa ponsel pintar dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi gempa bumi melalui GPS (Global Positioning System) pada ponsel. Meskipun GPS pada ponsel pintar menggunakan metode posisi yang relatif kasar dibandingkan dengan banyak instrumen yang sensitif, namun ponsel pintar dapat mendeteksi sekecil enam inci perpindahan (displacement), yang cukup dapat mendeteksi gempa bumi. Para ilmuwan pertama kali menguji keakuratan sistem GPS dengan cara menggoyangkan ponsel dan membandingkan perpindahan yang direkam dengan instrumen ilmiah sensitif. Setelah melakukan banyak analisis dengan konteks berbeda, mereka menyimpulkan bahwa ponsel pintar dapat diandalkan untuk mendeteksi gempa bumi dengan kekuatan 7.0 ke atas. Masalah yang jelas dengan pendekatan ini adalah bahwa ponsel pintar selalu bergerak mengikuti kita saat jalan, berkendara, atau kita sering mengayunkan dan bermain dengan ponsel kita; lalu bagaimana sebuah ponsel pintar dapat membedakan antara gempa bumi nyata dengan gerakan rutin? Para ilmuwan kemudian memiliki solusi yang disebut “pemicu (trigger)” di mana alarm gempa hanya akan diaktifkan jika sebuah ponsel dan empat tetangga terdekatnya mencatat jumlah perpindahan yang sama. Para ahli memang masih skeptis apakah sistem ini dapat bekerja dengan baik pada situasi kejadian nyata. Namun, keuntungan deteksi gempa bumi bersumber pada adanya kerumunan ini juga diakui; yang Anda butuhkan hanya sebuah aplikasi pada ponsel pintar.
Minson ES dkk. Science Advances, April 2015.
Pengasaman Laut Terkait dengan Kepunahan Terbesar
Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa pengasaman laut disebabkan oleh aktivitas gunung berapi ekstrim yang memicu kepunahan terbesar sepanjang masa. Peristiwa kepunahan ini terjadi sekitar 252 juta tahun lalu dan selama 60.000 tahun, yang menghilangkan lebih 90% spesies laut dan 60% hewan darat. Para peneliti menganalisis batuan kuno dari padang pasir Uni Emirat Arab, yang terbentuk di dasar laut sekitar 250 juta tahun lalu. Mereka secara khusus meneliti rasio boron dan karbon isotop. Pengukuran kimia ini mengungkapkan bahwa laut berubah dari basa ke sangat asam selama beberapa ribu tahun, yang sangat cepat bagi ukuran geologi. Para ilmuwan mendapatkan bahwa getaran besar erupsi gunung berapi melepaskan karbon dioksida dengan jumlah sangat besar ke atmosfer dan mengasamkan laut. Hal ini sangat memungkinkan terjadi kondisi fatal bagi kehidupan laut; bila dikombinasikan dengan kehancuran rantai makanan, kehidupan laut yang paling punah. Jumlah karbon yang bertambah ke atmosfer selama kepunahan masal tersebut diperkirakan lebih besar daripada cadangan bahan bakar fosil saat ini. Namun hal yang mengkhawatirkan adalah tingkat karbon yang dilepaskan saat itu adalah sangat mirip dengan emisi di jaman modern saat ini. Lautan saat ini cepat mengasam karena peningkatan emisi CO2 oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil; pH rata-rata telah turun 0,1 unit sejak awal Revolusi Industri. Ahli kelautan memperingatkan bahwa peningkatan dramatis tingkat keasaman laut mempengaruhi semua kehidupan laut, khususnya perikanan kerang di seluruh dunia. Kita hanya bisa berharap agar masa depan tidak menyerupai masa lalu.
Discussion about this post