Kembali pada jati diri bermakna kembalinya seseorang pada karakter, budaya, dan akar jiwanya sendiri. Hal ini hanya akan mungkin terjadi apabila seseorang atau masyarakat ada dengan pemikiran dan kehendaknya sendiri, berjalan di atas kakinya sendiri, bekerja dengan tangannya sendiri, tumbuh-berkembang dengan materi budayanya sendiri, menjauh dari taklid1 yang menghantam kepribadian bangsanya; serta adanya sikap bahu-membahu untuk saling bantu-membantu dengan penuh kepekaan atas hal-hal yang selama berabad-abad telah bersatu-padu melekat dengan keakuan kita, seperti halnya adat istiadat dan kekhasan bangsa.
Kembali pada jati diri jangan sampai disalahpahami sebagai perilaku rasis, bergerak hanya berdasarkan hubungan darah, atau menutup diri dari dunia luar untuk tetap tinggal dan bersembunyi dalam tempurungnya sendiri. Ia bukanlah keterpautan hati pada hal-hal yang telah menjadi usang seperti roda zaman yang berputar lalu musnah dan tak memiliki nilai fisik-spiritual apa pun, tak pula keterikatan pada nilai-nilai asing yang pada prinsipnya bukan milik kita tetapi coba dimasukkan ke dalam diri kita, keyakinan keliru dan hal-hal kedaluarsa yang menghalangi kita dari mencapai kesempurnaan pikiran dan jiwa. Kembali pada jati diri berarti melihat masa lalu dengan masa sekarang, masa sekarang dengan masa depan secara bersama-sama dan membuang yang akan dapat disaring dari kumpulan budaya bersama asal usulnya yang telah ada selama berabad-abad, lalu menjaga sepenuhnya apa yang masih tersisa.
Pada makna ini, sebagaimana kembali pada jati diri merupakan syarat penting bagi keberadaan dan keabadian kita sebagai sebuah bangsa, maka ia juga adalah jalan satu-satunya untuk bisa selamat dari serangan nilai-nilai asing dan agar tidak mengalami kerusakan akibat pemikiran asing beserta asimilasinya yang sering kali melingkupi kecerdasan jiwa bangsa kita bagai gumpalan asap pekat. Masyarakat yang bersepakat untuk berderap dalam gerakan kembali pada jati diri, di saat yang sama akan kembali mendapatkan karakternya yang sempat hilang, begitu pula akan sependapat untuk kembali berpikir seperti dirinya, berbicara seperti dirinya, dan menarik napas seperti dirinya lagi.
Betapa amat menyakitkan bahwa bertahun-tahun lamanya di negara ini, sekawanan orang linglung yang mencoba keluar dari dirinya sendiri masih saja selalu berusaha untuk menghirup napas milik orang lain, senantiasa hidup hanya dengan keberadaan napas buatan. Tak sekali pun mereka pernah mencoba untuk menarik napas miliknya dirinya, sehingga tak jua dapat merasakan kelezatan mendalam dari sebuah keaslian. Oleh karenanya, jembatan ideal bersama di antara mereka dan masyarakat tak pernah berhasil dibangun. Jalan-jalan untuk sampai pada cita-cita ini tidak juga dapat ditentukan. Iman, perasaan, dan semangat yang dapat menghidupkan jiwa-jiwa yang beku dan kaku tidak pula dapat ditiupkan. Dengan demikian, di satu sisi ada orang-orang tercerahkan (!) dan di sisi lain ada sekumpulan masyarakat awam, masing-masing berada dalam pemikiran dan pemahamannya sendiri-sendiri atau berada dalam gumam dan pembangkangannya; membusuk lalu mati. Sebagai hasilnya, sebagaimana kita tidak dapat menjaga dan melindungi diri dalam dunia kalbu, jiwa, perasaan, dan pemikiran milik kita sendiri; kita juga tak mungkin, sama sekali tidak akan bisa mengambil manfaat dari sebuah bangsa yang ia sendiri tengah berada dalam garis taklidnya pula.
Ya, mungkin untuk dapat menentukan batas keakuan kita, untuk mengetengahkan kekhususan-kekhususan jati diri kita tanpa kurang suatu apapun pada level tertentu, pengetahuan atas diri orang lain juga dibutuhkan. Namun andai saja kita dapat melakukan hal ini tanpa perlu masuk ke dalam berbagai paradoks dan tanpa menyakiti jati diri kita sendiri. Kita akui bahwa kesadaran akan agama, bahasa, dan sejarah yang telah hilang sampai batas tertentu terkait dengan pengetahuan kita akan pemikiran agama, falsafah, dan sejarah musuh-musuh kita; tetapi saya ingin bertanya, apa hubungan antara “mengetahui lalu mengevaluasi” dengan “meniru-niru tanpa ada kesadaran”…?!
Di saat sekelompok orang sedari dulu bertaklid pada Barat dengan segala sesuatunya tanpa melakukan pertimbangan terlebih dahulu atas salah-benarnya, di sisi lain ada kelompok lain yang selalu berusaha mencari-cari kesalahannya. Sebenarnya dua kelompok ini melakukan praduga dan bersikap salah. Barat tidak untuk ditaklidi seperti ini, tidak pula boleh disungkurkan begitu dalamnya hingga ke perut Bumi. Barat perlu diambil sisi-sisi positif yang ada padanya, begitu pula sisi-sisi negatifnya perlu dibuang jauh-jauh. Namun demikian, Barat tidak dapat ditaklidi, tidak pula dapat ditunjukkan kepekaan pada titik-titik yang perlu untuk tetap ditutup pintunya dan digariskan batas terhadap kebohongan-kebohongannya.
Hingga kini biarkan orang-orang yang mengagumi Barat tanpa batas dan syarat, andai mereka dapat menirunya dalam makna hakiki yang sebenarnya, siapa tahu mungkin dapat benar-benar menjadi seperti orang Barat dalam level tertentu! Namun, sekali-kali tidak mereka, tidak kita, tidak pula dunia asing yang kita terikat di dalamnya dapat memahami sebuah permasalahan yang sederhana dari segala yang sederhana ini. Oleh karenanya, kita pun kembali dikalahkan oleh musuh-musuh kita berulang-ulang, untuk yang kesekian kalinya.
Setidaknya bisakah kali ini, mereka yang berada dalam posisi menyiapkan bangsanya kembali pada jati diri dapat mendukung agama dan bahasanya, yang sangat dibutuhkannya lebih daripada air dan udara, serta dapat mengabadikan kalbunya dengan kesadaraan atas sejarahnya!
Maka ilmu yang tidak diajarkan berdasarkan asas dan prinsipnya sendiri serta tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, sebagaimana tidak dapat mencerahkan dan menjadi penunjuk jalan, ia juga tidak akan pernah dapat memberi apa yang diharapkan darinya seperti halnya agama dan budaya keagamaan yang mengalami kemalangan yang sama. Agar agama dapat menjalankan fungsinya dengan sempurnya, maka penghalang-penghalang antara dirinya dan pemikiran harus dihilangkan, serta dibukakannya sumbatan-sumbatan pada jalan-jalan menuju ruang-ruang pelaksanaan praktiknya. Ketika hal ini tidak dilakukan, maka pikiran dan jiwa tidak akan berpadu, dialog antara hati dan kepala takkan dapat diwujudkan, sehingga dengannya agama tidak akan dapat menjalankan fungsinya secara sempurna dan sekelompok orang-orang malang akan menyampaikan hal ini sebagai ketidakcukupan agama.
Bahasa juga perlu dievaluasi dan dikuatkan dengan kewibawaan yang ada pada perkembangan sejarah serta perlu dijadikan sebagai sebuah lisan yang ditulis dan dibaca dengan penuh semangat di antara bahasa-bahasa lain di dunia. Bahasa merupakan salah satu unsur penting yang merepresentasikan kepribadian manusia. Kesalahan dan kekurangan yang ada padanya dapat menyebabkan kelumpuhan bagi kehidupan budayanya dan dalam takaran tertentu, menjadikan masyarakatnya terbelakang.
Apabila bahasa sebuah bangsa tidak cukup berkembang dan kuat hingga dapat menjadi penjaga gerbang budaya bangsa tersebut, maka kemungkinan bangsa tersebut akan dijajah oleh budaya lain dan takkan dapat terelakkan, seiring berjalannya waktu akan benar-benar kehilangan jati dirinya. Anggap saja sebagian besar dari orang-orang yang berada dalam posisi menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan bagi masyarakat kita, dikarenakan lebih menguasai bahasa Inggris, maka dalam benak mereka hanya akan terdapat pemikiran-pemikiraan yang datang dan difilter dari karya-karya yang tertulis dalam bahasa tersebut. Hal ini pun lantas akan mendorong mereka memiliki perasaan, pemikiran, dan pemahaman seperti orang-orang Inggris dan Amerika, sehingga dengannya akan muncul jurang yang tidak mungkin terlampaui antara masyarakat awam dengan orang-orang yang tercerahkan ilmu pengetahuan lantas kumpulan orang-orang malang (yang lama maupun baru) pun menjadi bingung terbengkalai.
Kesadaran sejarah adalah ibarat jembatan yang menghubungkan masa depan dengan masa lalu. Adalah sangat sulit untuk memastikan ke mana sebuah bangsa yang sedang membangun tetapi tidak mampu menjaga jembatan ini akan berlayar dan di mana mereka akan melabuhkan perahunya saat sampai di pantai seberang. Sebagaimana hingga kini kita tidak pernah mendengar keberlangsungan sebuah bangsa yang tidak mampu menjaga kesadaran sejarahnya, kita pun tidak dapat memastikan keberlangsungan orang-orang tersesat yang terus-menerus menyenandungkan keburukan-keburukan milik orang lain.
Oleh karenanya, dengan prinsip landas benua, sebuah bangsa secara keseluruhan haruslah mampu menjaga dan melindungi jiwa kebangsaan dan garis batas pantainya; dengan pemahaman dan kehati-hatian “meminta kata sandi” untuk semua jenis pemahaman asing yang mencoba menyusup ke dalam atmosfer wawasan kebangsaan diri kita dalam pemikiran agar langitnya tidak dilanggar oleh siapa pun, serta menjaga benteng-benteng budaya bangsanya.
Apapun kondisinya, mata dan hati kita harus senantiasa berada pada pengawasan atas negara ini. Bersamaan dengan ini semua, generasi masa kini juga harus mengetahui apa yang dimaksud dengan “masa lalu” maupun “masa depan” dan dengan pemahaman ini, mereka harus dapat merenda masa depannya berdasarkan pola rajutan dari masa lalu dalam kepekaan dan keindahan sebuah sulaman agar mereka tidak kembali terperosok dalam erosi sosial yang menimpa kita hingga saat ini sebagai sebuah bangsa. Jangan sampai di saat tengah berusaha mengganti sesuatu yang telah hilang, mereka malah justru masuk ke dalam lingkaran keburukan disebabkan kehilangan-kehilangan yang baru, dan jangan pula kembali dimunculkan undangan menuju kematian lewat berbagai degenerasi di titik yang sama, yang diakibatkan oleh adanya pertarungan kehidupan.
Keterangan:
Taklid adalah keyakinan atau kepercayaan kepada suatu paham (pendapat) ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasar atau alasannya; peniruan.
Discussion about this post