Kata ‘naskah’ pada konteks ini dimaksudkan sebagai karya tulis produk masa lampau. Kata ‘naskah’ diikuti oleh atribut lama atau klasik. Dalam pembicaraan disini, kata ‘naskah’ dalam bahasa Arab disebut ‘makhtutat’ (مخطوطات (dan dalam bahasa Inggris disebut ‘manuscript’. Naskah lama biasanya bertuliskan tangan di atas bahan seperti daun lontar, pelepah pohon kurma, kulit, kertas, dan lain sebagainya dengan masih menggunakan bahasa-bahasa kuno.
Sebagai peninggalan masa lampau, naskah mampu memberikan informasi mengenai berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau, seperti gambaran kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya mereka. Berdasarkan informasi dari katalog tempat-tempat penyimpanan naskah lama dapat diketahui tentang kandungan yang tersimpan pada naskah-naskah Indonesia terdapat antara lain, berupa ajaran agama, sejarah, hukum, adat istiadat, filsafat, politik, sastra, astronomi, ajaran sosial, mantera, doa, obat-obatan mistik, bahasa, bangunan dan tumbuh-tumbuhan. (Katalogus Ricklef dan Voorhoeve, 1977)
Sebagai karya masa lampau yang telah melewati ratusan tahun, naskah-naskah lama Indonesia sudah mengalami berkali-kali penyalinan. Dikarenakan proses penyalinan pada tradisi di Indonesia memberi kebebasan yang besar pada penyalinannya (lihat Soeratno, 1988), maka dapat dijumpai pada saat ini satu teks muncul dalam beberapa naskah salinannya. Munculnya suatu teks dalam sejumlah naskah dalam bentuk eksemplar yang bermacam-macam melahirkan beranak-pinaknya teks menjadi sejumlah teks yang baru. Oleh karena teks-teks dalam salinan masih memperlihatkan asal keturunan dari teks yang diturunkan, maka masih dapat dilacak hubungan kekerabatannya.
Peran naskah dalam kehidupan manusia
Sejarah kehidupan manusia begitu panjang terentang, sehingga banyak mengalami perubahan dan perkembangan. Tentu saja keadaan ini akan menyimpan perubahan dari berbagai peninggalan yang tak ternilai harganya. Hal ini hanya bisa diketahui oleh generasi selanjutnya, termasuk mengungkap kembali khazanah pada teks dan naskah klasik melalui kajian dan penelitian filologi. Naskah sebagai perekam buah pikiran, pandangan hidup dan berbagai informasi, karya yang berupa tulisan memiliki peran yang penting dalam masyarakat. Bagi masyarakat masa lampau, karya-karya tulisan dipandang mempunyai arti yang penting. Berbagai data dapat dilihat, baik melalui pernyataan yang terungkap pada naskah-naskah sendiri maupun yang terlihat pada pemakaiannya dalam masyarakat. Peran dan fungsi untuk beberapa naskah lama masih bertahan hidup bahkan berkembang pada kehidupan masyarakat masa kini. Misalnya pada teks naskah karya Syekh Yusuf ‘Zubdat Al-Asrar’, naskah itu ditulis pada tahun 1676M atau sekitar 4 abad lampau. Setelah dikaji dengan metodologi filo FILOLOGI . Prof. Dr. Nabilah Lubis, MA logi, ternyata masih relevan dengan kehidupan zaman sekarang, karena isinya mengenai akhlak yaitu berakhlak dengan akhlak Allah Subhânahu wa ta’âla dan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, mendekatkan diri kepada Allah, beramal sholeh, tasawuf dan lain sebagainya.
Sebagaimana arkeologi, antropologi maupun sosiologi, ilmu kajian naskah lama atau filologi juga memiliki peranan besar dalam mengungkap peninggalan dan karya-karya klasik, mulai dari abad ke-3 SM hingga ke zaman modern sekarang. Bagi umat Islam, filologi yang berarti Tahqiq ini, dimulai dengan Al-Qur’an. Dengan adanya usaha seperti filologi ini, Al-Qur’an dan Hadis dapat diwariskan pada kita hingga saat ini, begitu pula karya-karya para ulama terdahulu.
Pelestarian naskah klasik berarti usaha keras untuk menyelamatkan naskah-naskah karya tertulis klasik agar tetap ada dan terpelihara walau telah berusia ratusan tahun dan dapat disimpan, dilihat, dibaca, dimiliki serta diwariskan untuk dijadikan bahan dan sumber ilmu pengetahuan, serta sebagai rujukan ilmiah bagi perkembangan penelitian selanjutnya. Bahkan Naskah dapat menjadi sumber pengajaran dan rujukan penting pada literatur.
Metode filologi
Yang dimaksud dengan metode filologi adalah alat, metode untuk menjernihkan teks dari kesalahan tulisan, ulangan kata atau kekacauan lainnya, diadakan kritik teks sehingga teks menjadi seperti yang diharapkan oleh pengarang bukan penyalin. Karena dalam proses penyalinan seringkali terjadi banyak kesalahan yang kadang-kadang merusak penampilan teks, maka kondisi seperti ini dapat dikoreksi dengan filologi.
Dari aspek sejarah, naskah-naskah lama sebagai produk masa lampau banyak menyimpan informasi tentang data historis masa lampau. Terdapat banyak informasi berita sejarah pada sejumlah besar naskah dengan bahasa daerah. Naskah yang jumlahnya besar ini banyak mendapat perhatian, terutama dalam rangka mencari dan menemukan data sejarah. Bagi masyarakat yang melihatnya sebagai data sejarah bagi penelitiannya, karya naskah itu menjadi sumber data yang dipandang penting (Kartadirjo, 1977). Hal itu juga disebabkan langkanya berita sejarah dari sumber asli Indonesia. Contoh, naskah yang menyimpan teks sejarah melayu dan hikayat raja-raja Pasai dipakai untuk menyusun sejarah masyarakat melayu dan sejarah Pasai, babad tanah jawi dan karya-karya-karya babad yang lain digunakan untuk menyusun sejarah masyarakat Jawa. Demikian pula babad Cirebon, hikayat susuhunan Gunung Jati menjadi sumber data untuk menyusun sejarah Jawa bagian barat. Hikayat Banjar dipakai untuk menyusun sejarah Banjar.
Aspek sejarah ini berkaitan pula dengan aspek sosial politik, sebagaimana yang dapat diangkat dari naskah-naskah yang mengemukakan geneologi para raja. Naskah yang mengemukakan cerita-cerita raja-raja Banjar dan kotawaringin menampilkan kebesaran raja dengan mengumpulkan unsur ‘kesempurnaan’ pada para tokoh nenek moyang raja-rajanya (Soeratno,1991).
Filologi di Kalangan Akademisi Indonesia
Filologi sebagai salah satu alat dan metode untuk mengkaji naskah-naskah lama tersebut menjadi sangat relevan untuk dikembangkan dalam sebuah kajian keilmuan Islam di indonesia, terutama di lingkungan lembaga-lembaga penelitian keagamaan semacam puslitbang lektur keagamaan badan litbang dan diklat kementerian agama, atau di kalangan perguruan tinggi agama semisal Universitas Islam Negeri, Institut Islam Negeri, dan Perguruan Tinggi lainnya, demi penguatan kampus sebagai Research Institution.
Sayangnya Kajian Naskah baru diperkenalkan sebagai mata kuliah di beberapa Universitas Islam Negeri namun tanpa mata kuliah penunjang lainnya seperti: Telaah naskah, Pengkajian naskah, dan juga pembicaraan tentang kodikologi (ilmu tentang naskah; kodeks), paleografi (ilmu tentang tulisan lama), serta Metode penelitian filologi. Namun kelas filologi di tingkat pascasarjana UI pada awal tahun 1990-an sudah tergolong ‘sangat maju’, dan telah menghasilkan sarjana-sarjana pengkaji naskah, serta karya-karya filologis bermutu, sejak tahun 1970-an.
Walaupun telah ada beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian filologi namun sayangnya penelitian tersebut baru bisa melakukan suntingan teks, masih terlalu ‘setia’ dengan kaidah filologi ‘murni’, yakni sebatas menyunting teks dan mengungkapkan kandungan isinya, tanpa ada upaya kontekstualisasi lebih jauh. Catatan lain adalah bahwa teks yang disunting oleh para sarjana Indonesia biasanya bukan dari kalangan ulama nusantara, yang sesungguhnya juga belum banyak dikaji.
Sepertinya, kajian filologi belum benar-benar memikat para akademisi padahal dari beberapa penelitian filologi yang pernah dilakukan misalnya, banyak diantara naskah-naskah tersebut sangat terkait dengan diskursus ke-Islaman, dan dapat menjadi rujukan utama dalam literatur keagamaan.
Tentu saja, sebelum tahun 1990-an, pernah ada kajian terhadap karya Islam. Kita setidaknya bisa menyebut Peunoh Daly (1982), yang menulis disertasi berjudul ‘Hukum Nikah, Talak Rujuk, Hadanah dan Nafkah Kerabat dalam naskah Mir’at al-Tullab karya Abdur Rauf Singkel: Suatu Studi Perbandingan Hukum Islam Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, atau Salman Harun (1988) dengan disertasinya yang berjudul ‘Hakikat Tafsir Tarjuman al-Mustafid karya Syekh Abdurrauf Singkel. Kedua korpus utama disertasi tersebut adalah naskah keagamaan hasill karya tulis ulama Melayu Nusantara terkemuka, yakni Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Sinkili, atau yang dalam disertasi di atas disebut Abdurrauf Singkel. Akan tetapi, kedua sarjana ini masih belum memanfaatkan metode atau pendekatan filologi dalam mengkaji naskah-naskahnya. Kendati bukan satu-satunya model pendekatan, sejauh menyangkut kajian teks dalam naskah tulisan tangan, filologi merupakan salah satu pendekatan yang paling tepat karena mengedepankan soal orisinalitas, disamping pemaknaan teksnya.
Perkembangan yang lebih menggembirakan berkaitan dengan kajian filologi di PTAI tampaknya mulai muncul sejak awal tahun 2000-an, terutama setelah Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian, saat itu Departemen Agama RI merencanakan Program ‘Inventarisasi, Pelestarian, Penelitian, dan Pemanfaatan Naskah-naskah Keagamaan Nusantara’ mulai tahun 2003.
Lebih diuntungkan lagi dengan adanya jaringannya yang luas di berbagai PTAI se-Indonesia, ditambah balai-balai di Makassar, Semarang, dan Jakarta yang memang memiliki visi untuk mengkaji khazanah keagamaan, ini segera menyelenggarakan berbagai macam workshop, pelatihan, penelitian naskah-naskah keagamaan yang mau tidak mau melibatkan para dosen dan peneliti di PTAI terkait, meski awalnya mereka tidak memiliki latar belakang, dan bahkan tidak memiliki minat serta ketertarikan, terhadap bidang kajian filologi.
Penelitian Naskah Keagamaan
Harus diakui, penelitian filologi atas naskah-naskah keagamaan masih belum banyak. Padahal jika melihat beberapa hasil penelitian filologi yang dalam hal ini masih banyak dilakukan oleh para sarjana Barat tampak bahwa filologi memegang peranan yang sangat signifikan dalam upaya pemetaan atau rekonstruksi atas berbagai peristiwa di masa lampau. Dalam konteks keagamaan misalnya, beberapa karya baik berupa publikasi buku maupun tesis dan disertasi yang bersumber pada penelitian naskah, belakangan menjadi rujukan penting dalam literatur keagamaan. Sekedar contoh dari wilayah Melayu Aceh, sebut saja De Geschriftenc van Hamzah Pansoeri, oleh Johan Doorenbosch (1933), Samms’i Din van Pasai; Bijdragen tot de kennis der Soematraanche Mystiek oleh C.A.O van Nieuwenhuijhe (1945). The Maleiesche Geschriften van Nurudin al-Raniri oleh P. Voorhoeve (1955). The Mysticism of Hamzah Fansuri oleh Naquib al-Attas (1970). The Poem of Hamzah Fansuri oleh G.W.J, Drewes & L.F. Brakel (ed) (1986), dan lain-lain.
Kemudian, beberapa karya yang ditulis oleh sarjana lokal juga memberikan kontribusi penting bagi khazanah keilmuan Islam, seperti Asrar al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa al-Rahman oleh Tudjiman (1961), Syamsuddin as-Sumatrani Tokoh Wujudiyyah oleh T. Iskandar (1965), Ruba’i Hamzah Fansuri, Sastra Sufi Abad XVII oleh A. Hasyimi (1976), Ratib Samman dan Hikayat Syekh Muhammad Samman; Suntingan Teks dan Kajian Isi Teks oleh Ahmad Purwadaksi (1992, tidak terbit), Zubhat al-Asrar fi Thaqiq Ba’d Masyarib al-Akhyar karya Syekh Yusuf al-Taj: Suatu Kajian Filologi oleh Nabila Lubis (1992), terbit sebagai Syekh Yusuf al-Taj: Menyingkap Intisari segala Rahasia (1996). Tanbih al-Maasyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi: Tanggapan as-Sinkili terhadap Doktrin Wujudiyyah di Aceh Abad XVII. Suntingan Teks dan Analisis isi oleh Oman Fathurrahman (1998), yang terbit sebagai Menyoal Wahdatul Wujud. Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad XVII (1999), dan beberapa karya lainnya.
Melimpahnya teks-teks keagamaan terutama dengan unsur tasawuf ini memang tidak terlalu mengherankan terutama jika mengingat bahwa kebudayaan yang memiliki bangsa Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan merupakan hasil dari proses akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam yang oleh Edi Sedyawati disebut sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia (lihat Sedyawati, “Menyingkap Warisan Budaya” dalam Media Indonesia, 25 Maret 2000).
Penelitian atas naskah-naskah tersebut tentu saja penting dilakukan, dan jangan lupa, mereka yang menguasai bahasa Arab mempunyai kesempatan lebih untuk melakukannya. Dalam konteks inilah sebenarnya para peneliti Islam dapat mengembangkan sayap penelitiannya di bidang pernaskahan untuk memperkaya khazanah mereka.
Penulis : Prof. Dr. Nabilah Lubis
Discussion about this post