Kita adalah manusia… dan segala sesuatu yang kita alami akan berpengaruh pada diri kita. Walaupun jiwa kita begitu luhur namun tetap saja terpengaruh pada apa yang didengar dan dilihatnya kadang kala dada terasa sempit, badan terasa sesak. Terkadang rasa sesak dalam jiwa kita ini mengubah dunia nan luas dengan segala kelapangannya menjadi sesempit cawan. Seakan nafas tak mampu lagi dihirup.
Kalbu seorang mukmin tak hanya akan memedulikan permasalahannya sendiri, melainkan pada tingkatan tertentu juga akan ikut peduli terhadap permasalahan-permasalahan sanak kerabatnya, pasangannya, sahabatnya, serta saudara-saudara seimannya. Seperti yang diisyaratkan oleh Ustadz Badiuzzaman Said Nursi bahwa daerah yang paling menjadi perhatian khusus seseorang ialah wilayah yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Maksudnya adalah setiap orang akan mencari jalan menuju keselamatan akhirat dirinya terlebih dahulu. Mempererat ikatan hati dengan Sang Haqq, meraih ke-istiqomahan sebagai seorang hamba dan dengannya berusaha untuk menyelamatkan imannya. Hanya saja hal ini semestinya tidak boleh disalah artikan. Oleh karena dengan keadaan ini bukan berarti kita tidak perlu peduli terhadap permasalahan orang lain karena pada kesempatan lain Ustad Said Nursi juga mengingatkan: “Mereka bertanya, ‘Mengapa kau mengganggu ini dan itu?’ Aku tidak menyadarinya. Di hadapanku ada kobaran api yang sangat dahsyat. Api itu menjulurkan lidahnya sampai ke langit. Anak-anakku terbakar di dalamnya, imanku tersulut dan terbakar pula. Aku berlari hendak memadamkan api itu, menyelamatkan imanku. Namun di tengah perjalanan, ada yang mencoba menghalangiku, kakiku pun tersandung dengannya, namun apalah artinya semua itu? Jika dibandingkan dengan kobaran api yang luar biasa itu, apakah hal sepele semacam ini bisa dianggap sebagai suatu kenikmatan? Betapa sempitnya pikiran dan betapa dangkal pendapat macam itu!! … Apakah mereka mengira aku ini seorang egois yang hanya ingin menyelamatkan nafsunya sendiri saja? Aku, telah mengorbankan duniaku bahkan akhiratku demi menyelamatkan iman seluruh masyarakat. Selama delapan puluh tahun lebih kehidupanku, tak kukenal sedikitpun kenikmatan dunia…”
Sudah barang tentu pemikiran mulia seperti ini adalah urusan hati nurani yang juga telah mampu merasakan ketinggian perasaan. Sebab dari adanya ikrar agung seperti ini, yaitu karena adanya rasa peduli inilah mungkin yang akan menjadi perbaikan dan keselamatan seluruh bangsa, seluruh umat bahkan seluruh manusia. Akan tetapi, perasaan dan pemikiran yang diterima di hadirat-Nya ini tidak seharusnya hanya ada dan terbatas pada diri orang-orang besar saja. Setiap hati yang beriman sudah seharusnya berusaha ikut merasakan dan menanggung beban keperihan semacam ini dengan sepenuh hati nuraninya sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Ketika seorang pendakwah menyampaikan hal ini maka sepatutnya ia menekankan bahwa, “Untuk mampu merasakan perasaan yang mulia semacam itu memang sedikit bergantung pada tingkatan keimanan seseorang. Ada orang yang dikaruniai hati yang begitu baik oleh Allah sehingga selalu berada dalam rasa keikhlasan dan altruisme, amat tulus dan mampu benar benar menanggung beban derita orang lain, juga dalam menjalani kehidupan untuk menghidupkan orang lain.” Namun bagi sebagian orang lain, ada yang belum bisa mencapai hal ini. Mereka yang ingin juga mampu merasakan perasaan mulia yang secara makna setara dengan tingkatan ibadah ini, hendaknya memohonkan dalam doanya kepada Rabb, Sang Penguasa Alam. Bila perlu, hendaklah memintanya dengan bermunajat, memanjatkan doa-doa kepada Allah di saat sedang sendiri dan hanya berteman sepinya malam. Di samping itu jika ingin merasakan perasaan ini maka seorang muslim harus peduli terhadap sekitarnya, sedikit banyak mengikuti perkembangann apa yang terjadi di sekelilingnya.” Dengan begitu ia dapat mengetahui permasalahanpermasalahan tersebut dari awal, merasakan keperihan penderitaan itu dalam hatinya, dan kemudian berbagi penderitaan ini dengan sahabat yang sepemahaman dengannya, lalu mereka akan bersama-sama berpikir mencari jalan keluar dan penawar lara bagi hal tersebut.
Ketika sudah tidak ada yang dapat mereka perbuat lagi, maka mereka akan bermunajat pada Yang Maha Kuasa atas segalanya. Seperti yang dilakukan Bani Israil ketika dihadapkan pada cobaan besar. “Berkata Musa: ‘Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertakwalah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. Lalu mereka berkata: “Kepada Allah-lah kami bertawakkal! Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim, dan selamatkanlah kami dengan Rahmat-Mu dari (tipu daya) orang-orang kafir.” Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 84-87)
Duhai Para Sahabat dalam kebajikan, lihatlah bagaimana penjelasan mengenai seberapa pentingnya merasakan penderitaan orang lain dan bagaimana seharusnya kita mampu merasakan penderitaan itu dalam hati. “Kita tidak mampu sepenuhnya merasakan permasalahan yang menimpa ummat Islam. Di satu sisi dunia ini tengah membara dalam kobaran api. Namun seolah kebakaran itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kita hingga kita dengan egois berkata: ‘Dimana api memercik, maka tempat itulah yang akan terbakar.’ Semoga pemikiran seperti ini akan jatuh tenggelam ke dasar jurang paling dalam. Sebagai seorang mukmin sejati seharusnya kita berkata: “Tak peduli kemana api itu menjalar dan membakar, api itu telah juga membakarku. Jika api itu berkobar di dekatku, maka ia membakarku jauh lebih dekat lagi, begitu pun jika ia berkobar di tempat jauh, ia tetap membakarku. Api yang berkobar di Pakistan juga membakarku, api yang berkobar di Aceh pun membakarku, begitupun api yang berkobar di Syam, di Anatolia Tenggara maupun di barat Anatolia, dimanapun api itu berkobar, kalian harus tahu bahwa dadaku sesak dikarenakan nyala api yang berkobar-kobar itu. Inilah desahan suara hati, inilah napas seorang mukmin. Sementara yang lain hanyalah sebuah bisikan dari rasa egomu.”
Setiap masa pasti memiliki deritanya sendiri. Namun bagi yang merintih hanya karena Allah, mereka memiliki derita dan lara yang sama. Lihatlah bagaimana M. Akif Ersoy seorang penyair yang menyuarakan dan menenangkan derita zaman dengan semangat yang menyala-nyala:
Takkan pernah bertepuk tanganku untuk kedzaliman,
Takkan pernah ada cintaku pada yang dzalim;
Tak kukutuk masa lalu hanya demi nafsu mereka yang datang.
Jika ada yang menyerang leluhurku, akan kucekal batang lehernya!
Tapi kau tak bisa mencekalnya!
Setidaknya akan ku enyahkan jauh-jauh dariku.
Tak sudi aku menjadi budak orang-orang tak beradab;
Apalagi jika harus menyembah mereka yang tak adil,
walau mati adalah tawarannya.
Ku telah jatuh cinta pada kemerdekaan sejak terlahir ke dunia,
Aku bukan budak para penjajah!
Boleh saja aku bertutur halus,
tapi siapa bilang aku seekor kambing penurut?
Mungkin leherku bisa terpenggal,
tapi takkan tahan jika kau tarik.
Jika kujumpai luka yang menganga maka
tersengatlah aku hingga ke dalam sukma,
Aku rela dicambuk, ditembak,
untuk meredakan luka itu!
Tak bisa kuacuhkan atau berkata,
pergi dan biarlah saja.
Aku tetap akan peduli.
Biarlah kutelan, ditelan pahitnya,
tetapi kebenaran tetap kan kugenggam dan kujunjung!
Aku adalah musuh para dzalim
dan teramat mencintai mereka yang terdzalimi…
Inikah makna dari menghormati masa lalu bagimu?
Suatu Ketika Ketidakpedulian akan Memukul
Telak Pemiliknya Saat ini, dalam kehidupan umat manusia sayangnya masih banyak terjadi kezaliman maupun orang-orang yang teraniaya karena kezaliman itu. Seringkali kita merasa bahwa kezaliman itu sudah amat keterlaluan dan berfikir: “Ini sudah berlebihan, karena perbuatannya itu mereka bisa mendatangkan kemurkaan Allah dan menerima balasannya.” Tak satupun hari yang kita lewati tanpa terdengar kabar tentang mereka yang tak berdaya karena bencana alam ataupun karena ulah tangan manusia lain. Mereka amat membutuhkan pertolongan dan uluran tangan. Bagi manusia yang mengaku memiliki hati nurani tak mungkin hanya berdiam diri selagi di sekitarnya penuh akan persoalan. Pastilah ada yang dapat ia perbuat dan memang sudah seharusnya ia harus mengerahkan seluruh kemampuannya. Ialah orang yang siap membantu mereka menjadi tempat mencurahkan isi hati, entah itu dekat ataupun jauh, entah itu kawan seiman, kawan sebangsa, atau siapapun yang membutuhkan bantuan di ujung dunia sana…Ialah yang ikut merasakan penderitaan yang mereka rasakan, dan yang berusaha sekuat tenaga untuk mengulurkan tangan untuk mereka. Tak bisa dengan seenaknya ia berkata, “Ah, kau ini sudahlah…” pada siapapun, karena ia tahu betul bahwa tidak peduli sama artinya dengan memotong dahan tempat ia bertengger dan bahwa cepat atau lambat suatu saat nanti balasan atas ketidak peduliannya itu akan menjerat dirinya sendiri. Seperti yang dikisahkan pada hikayah yang penuh hikmah ini…
Ketika seekor tikus kecil mengintip dari balik tembok dapur yang retak, dilihatnya si petani dan istrinya tengah sibuk membuka suatu bungkusan. Tikus kecil itu berpikir, “Apakah gerangan yang ada di dalamnya?” Bukan main terkejutnya ia ketika melihat isi bungkusan itu ternyata adalah sebuah perangkap tikus. Si tikus kecil berlari kalang kabut ke tempat ayah dan ibunya sembari berteriak, “Ada perangkap tikus di rumah… ada perangkap tikus di rumah!” Mendengar teriakan dan ketakutan tikus kecil, ayah tikus dan ibu tikus segera berlari ke arah tembok yang retak tadi untuk melihat sendiri apa yang terjadi di dapur. Benar saja si pemilik rumah ternyata telah memasang perangkap tikus. “Kita harus memberitahu kabar ini ke semua hewan di kebun,” kata ayah tikus. “Barangkali mereka bisa membantu kita. Bagaimana menurut kalian?” tanya ayah tikus.
Ayah tikus, ibu tikus, dan tikus kecil segera berlari ke kebun untuk mengabari hewan yang lain. “Ada perangkap tikus di rumah!” teriak mereka. Si ayam acuh tak acuh dan dengan angkuhnya berkata, “Itu urusan kalian, bukan urusanku.” Merasa tidak mendapat dukungan dari si ayam, keluarga tikus lalu berlari pontang-panting menghampiri kambing. “Ada perangkap tikus di rumah!” kata keluarga tikus. Kambing menanggapinya dengan penuh pengertian, tetapi ia berkata, “Aku ikut sedih, tapi sayangnya tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain berdoa.”
Keluarga tikus kali ini menyambangi kandang si sapi. Awalnya si sapi pura-pura tidak mendengar lalu ia berbalik ke mereka dan berkata, “Aku turut sedih, tapi itu tidak ada hubungannya denganku.”
Tidak ada lagi yang tersisa untuk mereka mintai pertolongan. Mereka kembali ke dalam rumah dengan kepala tertunduk penuh putus asa. Mereka sadar suatu hari satu per satu dari mereka akan terjebak dalam perangkap yang dipasang petani itu. Tidak ada harapan lagi bagi mereka. Kini tinggal kesunyian yang memenuhi isi rumah. Tikus kecil dan keluarganya jatuh sakit cukup parah karena dua hari menahan lapar. Tiba-tiba terdengar bunyi berisik yang memecah keheningan malam. Suara berisik itu datang dari arah perangkap tikus dipasang. Mengira ada tikus yang tertangkap, istri si petani melompat dari kasurnya, buru-buru ia berlari ke dapur. Karena gelap, istri petani tidak menyadari bahwa yang terperangkap adalah ekor seekor ular berbisa. Tepat saat istri si petani hendak menyalakan lampu, ular yang terjebak perangkat itu menggigit kakinya.
Si petani tergopoh-gopoh membawa istrinya ke dokter. Dokter pun lalu mengeluarkan bisanya, membalut lukanya dan mengizinkan si istri petani untuk pulang dengan catatan mereka harus menjaga asupan makan dan kecukupan istirahat si istri. Suhu tubuh wanita malang itu tinggi sekali hingga ia terusmenerus menggigil mengeluarkan keringat dingin. Semua orang tahu bahwa dalam kondisi seperti ini mengkonsumsi kuah kaldu ayam yang segar sangat baik. Si petani langsung mengambil parangnya, berlari ke kebun, dan memotong si ayam. Setelah meminum sup kaldu ayam nan segar itu, kondisi si istri perlahan mulai membaik.
Sanak kerabat yang mendengar kabar jatuh sakitnya wanita itu, datang menjenguknya ke rumah. Ternyata di rumah sedang tidak ada sesuatu yang bisa disuguhkan. Alhasil, si petani pun memotong kambing yang ada di kebunnya.
Kondisi kesehatan si istri ternyata kian memburuk dari hari ke hari. Sudah jelas bahwa ular yang menggigitnya itu memang sangat berbisa. Beberapa hari kemudian wanita itu meninggal dunia. Orang-orang datang berbondong-bondong demi melayat jenazah si istri. Sudah barang tentu, perlu disiapkan makanan. Si petani pun memanggil seorang penyembelih hewan untuk menyembelih sapinya. Keluarga tikus hanya bisa menyaksikan semua kejadian itu dari balik tembok retak seraya menahan kesedihan mereka. Ya, manusia patut peduli pada siapapun yang berbagi kehidupan dengannya dan pada apapun di sekitarnya. Kepedulian ini memiliki tanggung jawab sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Ketika tiba saatnya masalah menghampiri, mereka yang menjalankan tanggung jawab dengan baik dan yang peduli akan permasalahan orang lain akan mudah menemukan rekanan untuk sekadar berkeluh kesah atas persoalan mereka. Jikalau tidak ada orang yang ia temukan sekalipun, dikarenakan pengorbanan yang telah ia lakukan, ia selalu dan akan selalu memiliki Sahabat. Satu Sahabat yang selalu ada di sampingnya, yang senantiasa mendukung dan membantunya. Melalui wasilah ini, aku berdoa dan berharap kepada Rabb Yang Maha Kuasa agar memberi balasan pahala yang berlipat untuk orang-orang yang terdzalimi dan teraniaya…
Penulis : Dr. Ali Unsal
Discussion about this post