Kita telah berusaha mencapai ibadah dan mencoba untuk membaca semesta agar dapat menemukan tatanan yang ada pada alam semesta, fungsi-fungsinya yang berlaku dan hubungan di antaranya melalui berbagai penelitian ilmiah. Tapi kita tidak bisa menafsirkannya dengan cara yang kita harapkan. Hanya ada satu jalan yang benar dalam memandang dunia secara keseluruhan, yaitu memandang dunia sebagia sesuatu yang benar-benar universal. Pandangan itulah yang dapat dipahami dalam kitab alam semesta dan juga diajarkan kepada kita dalam Al-Qur’an.
Menurut Al-Qur’an diperbolehkan memandang dunia sebagai pluralitas dalam persatuan; pada dasarnya Al-Qur’an tidak melihat dunia sebagai sebuah arena persaingan yang antagonis dan memiliki konflik di antara entitas-entitasnya yang berdekatan.
Al-Qur’an melihat dunia sebagai sesuatu yang benar-benar harmonis dan seimbang, dengan semua elemennya yang saling berkaitan secara utuh, saling tolong-menolong dan berkasih sayang. Sebaliknya, pandangan dunia ilmiah materialis didasarkan pada fragmentasi radikal. Ia melihat alam sebagai satu himpunan mekanisme yang berbeda dan terpisah tanpa nilai dan makna yang melekat padanya. Ia mengisolasi obyek studi dari keterhubungannya dengan dunia secara keseluruhan dan mengkajinya dalam konteks yang berubah-ubah sesukanya. Hal ini bertentangan dengan intuisi dan pengalaman kemanusiaan, karena kita melihat dan merasakan diri kita sebagai bagian dari dunia secara keseluruhan yang berarti dan bermakna. Kita juga merasakan bahwa segala sesuatu harus pula memiliki arti dan makna serta memiliki relasi dengan keseluruhan. Karena ilmu materialis secara sistematis telah meninggalkan subyeknya yaitu manusia, keluar dari alam semesta. Maka orang-orang merasa keluar dari tempatnya di dunia ini. Mereka terisolasi dari orang lain, kehidupannya menjadi tak bermakna kecuali dalam cara yang sangat egois dan terbatas. Bahkan mereka terasing dari dirinya sendiri. Pandangan dunia menurut ilmu materialis atau mekanistik didasarkan pada konsep utama yang disebut fisika klasik. Perkembangan fisika modern telah menghancurkan konsep-konsep itu dan menunjukkan ketidaklogisan dari pandangan mekanistik. Sebagai contoh, konsep-konsep seperti sifat kausal realitas, dan asumsi dari deskripsi objektif alam, harus berubah dengan munculnya teori-teori baru seperti teori kuantum, relativitas, dan yang lebih baru; teori chaos.
Secara klasik digagas bahwa ilmu pengetahuan dapat menggambarkan dan menjelaskan segala sesuatu di dunia secara ‘obyektif’, dalam bahasa model matematika yang independen dari penilaian ‘pengamat’- ilmuwan. Namun, penemuan fisika modern menunjukkan keterkaitan segala sesuatu, satu kesatuan utuh dan keutuhan, yang menyangkal fragmentasi/pengkotakkan klasik dunia menjadi bagian-bagian yang berbeda dan terpisah. Dalam teori kuantum, setiap partikel terkait dengan seluruh alam semesta dan tidak dapat dipisahkan darinya, bahkan tidak pula ‘untuk tujuan studi’. Kesatuan alam semesta ini juga mencakup makhluk manusia. Teori kuantum yang melenyapkan gagasan tentang obyek-obyek penelitian ilmiah yang dianggap terpisah, telah memperkenalkan konsep ‘partisipator’ untuk menggantikan para pengamat netral. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan modern mengembalikan manusia ke posisi sentralnya dan pada saat yang sama, menyangkal gagasan tentang deskripsi realitas obyektif yang benar-benar netral.
Bagaimanapun juga perubahan tersebut belum disesuaikan dengan perubahan-perubahan paralel dalam pandangan dunia ilmuwan modern. Perubahan terjadi hanya pada tingkat perumusan matematika. Apa yang penting bagi para ilmuwan adalah pengembangan rumus matematika dari perilaku fenomena fisik. Rumus tersebut tidak dihargai semata-mata karena kegunaan teknisnya; sebaliknya, kebanyakan ilmuwan percaya bahwa fungsi prediktif mereka adalah mendefinisikan kriteria dari apakah sebenarnya ilmu pengetahuan ilmiah itu.
Selain itu, sebagian besar ilmuwan terus mengklaim bahwa pandangan seseorang tentang realitas secara keseluruhan kurang atau tidak ada relevansinya dengan ilmu pengetahuan. Namun, dijelaskan bahwa cara kita melihat realitas memiliki efek luar biasa pada cara kita berperilaku dalam kaitannya dengan alam dan orang lain, serta terhadap arti kehidupan bagi kita sebagai individu.
Sikap para ilmuwan bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan modern. Pandangan mekanistik didasarkan pada penjelasan fenomena secara deterministik-kausal. Teori-teori terbaru, seperti kuantum dan chaos , cenderung pada pandangan dunia yang menolak jenis penjelasan itu. Secara teoritis para ilmuwan menerima bahwa, agar bisa menjelaskan suatu hal, mereka perlu mengetahui hubungannya dengan semua hal lain. Hal ini adalah sebuah kemustahilan karena relasi tersebut akan berkembang luas dalam konsep ruang dan waktu serta tidak akan dapat diikuti oleh manusia yang juga merupakan bagian dari relasi tersebut. Dalam praktiknya, mereka terus mencari penjelasan deterministik – kausal yang ‘lebih baik’.
Para ilmuwan materialis juga memahami bahwa kesatuan alam semesta menunjukkan keberadaan Sang Pencipta yang Maha Mutlak. Tapi, sebagai ilmuwan, mereka menolak konsep Pencipta karena metode mereka didasarkan pada kausalitas (hubungan sebab-akibat) yang tidak dapat mengakomodasi kesatuan alam semesta. Mereka mengabaikan penyatuan itu dan memilah-milah fenomena sehingga dapat menjelaskan fenomena itu sebagai produk dari sejumlah penyebab yang terbatas. Dengan cara ini, mereka membuat kita percaya bahwa alam semesta tidak memiliki Pencipta dan maknanya terbatas pada apa yang diberitahukan kepada kita oleh metode reduksionis. Dan kepercayaan buatan itu menjadi dasar dari klaim mereka bahwa ilmu sains mereka merupakan sumber otoritatif pengetahuan tentang realitas.
Ada banyak kontroversi tentang dasar konseptual fisika modern. Para ilmuwan menyadari bahwa model realitas mereka tidak cukup untuk menjelaskan temuan-temuan ilmu pengetahuan modern. Mereka mengelakkan isu ini dengan menjelaskan paradoks dan kontradiksi yang timbul dari kekurangan/ketidakmapuan yang melekat dalam sifat realitas; dan tidak juga dalam sifat pandangan dunia mereka. Namun, bagaimana kita bisa menerapkan filosofi kausalitas reduksionis ke alam semesta seperti yang sekarang dikenal, menyatu dan utuh? Meskipun sudah banyak dibahas, namun ketidakcocokan antara pendekatan materialistis terhadap penalaran ilmiah dan kesatuan alam semesta belum diterima secara luas. Pendekatan penalaran ilmiah atau kesatuan alam semesta harus dipertimbangkan kembali.
Mengingat bahwa kesatuan di alam semesta secara keseluruhan termasuk manusia adalah realitas nyata yang tak seorang pun dapat menyangkalnya. Maka, yang harus dipertimbangkan adalah pendekatan materialistis. Pendekatan yang dimaksud adalah reduksionis. Semua hal-hal dalam kenyataannya saling berhubungan dan saling tergantung. Tidak mungkin untuk menghubungkan fenomena apa pun, betapapun kecilnya, dengan sebab-sebab yang semuanya bersifat sementara dan bergantung. Sebab apa pun yang bertanggung jawab atas fenomena itu harus bertanggung jawab atas apapun lainnya. Untuk satu hal yang ada, setiap hal lainnya juga harus ada karena satu hal itu tak terpisahkan dari keseluruhan.
Mengapa kita harus bisa mengaitkan suatu hal dengan antesedennya dalam waktu, tetapi tidak dengan tetangganya dalam ruang? Mengapa suatu hal harus dapat menghasilkan hal lain hanya karena ia terjadi sebelumnya? Para ilmuwan modern tahu bahwa ruang dan waktu sepenuhnya ekuivalen; bersatu dalam sebuah kontinum empat dimensi di mana ‘di sini’ dan ‘di sana’, ‘sebelum’ dan ‘setelah’ adalah relatif . Dalam ruang empat dimensi ini, urutan waktu (fisika klasik) diubah menjadi koeksistensi segala sesuatu secara berdampingan. Kausalitas tampaknya menjadi penjelasan tentang pengalaman realitas yang sangat terbatas dan berpraduga.
Kausalitas mengikat penalaran ilmiah ke rantai sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri tentu saja adalah sebuah akibat. Lebih parah lagi, efeknya benar-benar berbeda dari sebab yang melekatnya. Namun, sesuatu yang nyata itu begitu halus dan kompleks, mengandung begitu banyak potensi positif. Apalagi sebab tertentu yang kepadanya melekat sesuatu yang nyata itu, tetap tidak bisa menghasilkan sesuatu yang nyata. Agar sebab menghasilkan akibat, sebab itu juga harus mampu menghasilkan keseluruhan semesta tempat berlangsungnya akibat. Untuk itu, akibat tidak bisa ada tanpa keseluruhan alam semesta. Tidak ada sesuatu yang terpisah, tanpa eksistensi, atau keluar dari keseluruhan realita.
Kepercayaan terhadap kausalitas adalah antitesis dari kepercayaan: ‘Tidak ada Tuhan selain Allah” inti dari pandangan Al-Qur’an. Ilmuwan materialis mengusulkan bahwa fenomena tak berdaya, tergantung, fenomena pengabaian, adalah sebagai sebab yang bertanggung jawab atas keberadaan makhluk dan sesuatu. Dengan demikian, mereka mesti harus percaya bahwa sebab tersebut memiliki kekuasaan dan pengetahuan mutlak tak terbatas yang dibutuhkan untuk mewujudkan keberadaan seluruh realitas.
Penemuan terbaru dari ilmu pengetahuan modern yang menegaskan kesatuan yang saling berhubungan dan keutuhan alam semesta menyangkal keabsahan semua penjelasan yang diajukan oleh ilmu materialis. Mereka menunjukkan bahwa konsep kausalitas sama sekali bukan akibat wajar dari penyelidikan ilmiah ‘obyektif’. Ini tidak lebih dari sebuah hipotesis yang terlihat semakin tidak rasional dan masuk akal. Masih ada keyakinan umum bahwa ilmu pengetahuan dapat berbuat tanpa konsep Pencipta. Sekali lagi, ini mungkin masuk akal dalam fisika klasik, tapi dalam hubungannya dengan penemuan dalam fisika modern, hal itu tidak masuk akal.
Perhatikan, misalnya, gagasan bahwa alam semesta dimulai dengan big bang. Idenya adalah sesuatu yang paradoks. Dari empat gaya alam, hanya gravitasi yang bekerja sistematis pada skala kosmik. Dan menurut pengalaman kita, gravitasi adalah gaya tarik atau ‘menarik’. Tetapi ledakan yang menandai penciptaan alam semesta memerlukan gaya sebaliknya yang sangat kuat, atau gaya ‘dorong’ sangat kuat untuk memulai jalur ekspansi yang berlanjut hingga hari ini. Masih membingungkan apakah ekspansi tersebut dilawan oleh gaya gravitasi yang menyusut dan tidak menyebar. Pengukuran yang seksama menunjukkan bahwa laju ekspansi disesuaikan dengan jatuh pada tepi di antara dua bencana: Jika sedikit lebih lambat alam semesta akan hancur, jika sedikit lebih cepat materi kosmik sudah menyebar secara total sejak lama. Sekarang, para ilmuwan materialis memahami bahwa ledakan yang diatur dengan tepat itu membutuhkan kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas yang tidak dapat dikaitkan dengan sebab. Namun dalam komitmen sesat mereka tentang kausalitas, mereka menyangkal tindakan penciptaan itu dan mengatakan “Itu hanya kebetulan; itu harus diterima sebagai syarat awal.” Beberapa syarat awal dan laju ekspansi hanyalah salah satu dari keajaiban kosmik yang tak terhitung jumlahnya. Tapi dalam kesesatan mereka, para ilmuwan percaya bahwa mukjizat Kekuasaan Mutlak itu adalah ‘kebetulan’ luar biasa dan menghubungkan alam semesta dengan ‘kejadian’ acak.
Dengan demikian, salah satu teori dasar ilmu pengetahuan modern benar-benar sesuai dengan konsep Sang Pencipta Maha Mutlak. Untuk tujuan argumen kita di sini, poin pentingnya adalah bahwa teori tersebut jelas tidak sesuai dengan kausalitas. Jadi, kebutuhan akan Allah, Maha Penyebab sesuatu sebab, memasuki ilmu secara mendasar.
Dalam fisika klasik, diyakini bahwa pengukuran yang dilakukan di satu tempat tidak bisa seketika mempengaruhi partikel di tempat lain yang sangat jauh. Dasar untuk keyakinan ini adalah bahwa interaksi di antara sistem cenderung menurun seiring dengan jarak. Karena menurut penjelasan kausalitas, sebab harus berada di sekitar akibatnya. Dua partikel dengan jarak beberapa meter, katakanlah dalam tahun cahaya, akan saling mempengaruhi posisi dan gerak masing-masing. Oleh karena hal itu tak terbayangkan. Namun, mekanika kuantum memprediksikan tingkat korelasi yang besar di antara dua partikel tersebut, seolah-olah mereka bekerja sama dengan telepati saat ini; bagaimana mungkin menjelaskan tingkat kerja sama ‘luar biasa’ di antara berbagai bagian alam semesta yang tidak pernah berhubungan satu sama lain tanpa menyebutkan Sang Pencipta mereka? Bagaimana mereka mencapai Keesaan Ilahiah menakjubkan ini adalah satu-satunya penjelasan yang masuk akal, dapat diterima, dan dapat dijelaskan.
Bagi kaum materialis, situasi ini tampak paradoks karena tidak dapat dijelaskan dengan kausalitas. Tetapi bagi mereka yang beriman kepada Tuhan, itu adalah aspek maha indah dari Keesaan-Nya yang menegaskan koherensi universal dan prinsip kesempurnaan yang berjalan di seluruh kosmos.
Ketika kita memutuskan lingkaran setan pada penjelasan sebab dan akibat, dunia materialisme yang tidak bermakna memberikan cara ke dunia yang diterangi dengan makna dan tujuan. Alam semesta bagaikan kitab besar yang membahas manusia dan mengenalkan pada Penulisnya sehingga para pembacanya dapat mengambil pelajaran dan terus meningkatkan pengetahuan tentang Sang Pencipta mereka, dan memperdalam keyakinan mereka tentang dasar-dasar iman.
Segala sesuatu penuh seni dan terus diperbarui, dan seperti akibat, sebab dari segala sesuatu juga diciptakan. Agar setiap sesuatu itu bisa ada, dibutuhkan kekuasaan, dan pengetahuan tak terbatas. Dengan demikian, pasti ada Satu Dzat yang Maha Kuasa dan Berilmu Mutlak yang secara langsung menciptakan sebab dan akibat sekaligus. Semua sebab dan akibat menunjukkan Atribut-Atribut Sang Pencipta mereka yang memberitakan Kekuasaan dan Kesempurnaan Ilahi melalui ketidakmampuan dan keterbatasan mereka, semua menyatakan: “Tidak ada Tuhan selain Allah”.
Seperti halnya alam semesta memperlihatkan kebenaran Keesaan Tuhan, demikian juga itu diajarkan oleh Pemilik Alam Semesta dalam Kitab Suci yang Dia Wahyukan kepada Rasul. Kalimat, “Tidak ada Tuhan selain Allah”, merupakan dasar wahyu dan ini diperkuat dengan kesaksian semua makhluk, Ini adalah kunci Al-Qur’an dan membuat teka-teki penciptaan alam semesta dipahami, teka-teki yang telah mereduksi ilmu materialis dan filsafat menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Jalan keesaan juga merupakan jalan wahyu. Jalan ini adalah satu-satunya jalan yang menunjukkan Penguasa dan Pencipta kepada manusia, dan membimbing manusia untuk beribadah kepada Tuhan. Yaitu, Dzat yang memiliki Kekuasaan Mutlak yang dapat memenuhi berbagai macam kebutuhan manusia.
Al-Qur’an adalah satu-satunya sumber yang mengajarkan kita bahwa alam semesta dan makhluk di dalamnya tidak menanggung arti yang terbatas untuk diri mereka sendiri, tetapi memberi kesaksian tentang Keesaan Penciptanya. Hal ini mengajarkan apa alam semesta itu dan tugas-tugas yang harus dijalankannya.
Untuk alasan ini, setiap Muslim harus mengkaji alam semesta dan menegaskan bahwa semua yang ada, melalui tatanan, hubungan timbal-balik dan tugasnya, membantah klaim palsu dari penalaran materialis dan ateistik, membantah bahwa mereka adalah segalanya, kecuali milik dan makhluk Sang Pencipta Maha Esa. Setiap Muslim wajib menolak konsep palsu tentang kejadian yang kebetulan dan kausalitas. Masing-masing menghubungkan diri mereka dan semua yang ada pada Satu Pencipta. Masing-masing adalah bukti bahwa Sang Pencipta tidak memiliki sekutu. Memang, ketika Keesaan-Nya diketahui dan dipahami dengan benar, menjadi jelas bahwa tidak ada yang mengharuskan bahwa penyebab memiliki kemam-puan yang independen. Jadi, mustahil bagi mereka untuk menjadi sekutu bagi Sang Pencipta. Kemudian, ilmuwan Muslim akan mengatakan melalui penelitian dan penemuannya: “Tidak ada Tuhan selain Allah, Ia satu-Maha Esa dan tidak disekutukan”.
Alam semesta adalah dokumen yang harus digunakan oleh orang-orang beriman. Karena beriman kepada Tuhan, sebagaimana Al-Qur’an telah memberi tahu kita, adalah untuk pembenaran dengan sepenuh hati kepada Sang Pencipta dengan semua Atribut-Nya yang didukung oleh kesaksian dari seluruh alam semesta. Penegasan Keesaan Allah yang sejati berarti keputusan, pembenaran, persetujuan dan penerimaan bahwa semua makhluk dengan segala sesuatunya ada Pemiliknya. Dalam segala hal, ada jalan menuju kepada-Nya . Tidak ada hambatan untuk menyaksikan keberadaan-Nya.
Tidak ada dikotomi antara ilmu sejati dan wahyu. Sebaliknya, kemajuan sejati dalam ilmu (dengan kebahagiaan bagi umat manusia) hanya dapat dicapai dengan cara Al-Qur’an. Semua penemuan ilmiah dan kemajuan teknologi hanyalah pengungkapan cara alam semesta diciptakan. Bila alam semesta dipandang sebagai sebuah buku terpadu yang agung dan bermakna yang menggambarkan makhluk di dalam-nya sebagai tanda-tanda Pencipta mereka, maka semua penemuan dan kemajuan ini seharusnya memperkuat keyakinan, bukannya malah menanamkan keraguan dan kebingungan.
Halangan terbesar bagi manusia dalam mencari kebahagiaan dan makna hidup adalah menganggap ilmu, kajian tentang dunia yang diciptakan sebagai yang terpisah dari dan tidak dapat dipertemukan dengan wahyu, Firman Sang Pencipta. Tapi ketika manusia belajar untuk memperhatikan alam semesta dan akal sehatnya. bagi ilmuwan materialis, mereka akan menyadari kontradiksi penalaran ilmiah mereka. Dihadapkan dalam penciptaan dengan begitu banyak keindahan, kedahsyatan, kefaedahan, kehebatan kompleksitas yang halus, maka berusaha menjelaskan penciptaan dengan kausalitas semakin diakui sebagai sesuatu yang tidak produktif. Orang-orang kemudian merasakan kebutuhan dan pentingnya ilmu dan pengetahuan sejati yang dapat menghasilkan pengetahuan tentang Tuhan dan keyakinan kepada-Nya.
Kemuliaan-Mu tidak terbatas! Kami tidak memiliki pengetahuan apapun, kecuali apa yang Engkau berikan kepada kami, Engkau adalah Dzat yang Maha tahu atas segalanya.
Penulis : Yamina Mermer
Discussion about this post