Alkisah seorang lelaki memberikan uang satu dirham kepada empat laki-laki yang ditemuinya. Salah satu dari keempat laki-laki tersebut berkata: “Aku akan membeli engûr dengan uang ini”. Sementara seorang Arab dari mereka berkata: “Tidak! Aku mau ‘ineb, bukan engûr.” Lalu orang ke-tiga, seorang Turki menimpali: “Ini uangku juga, aku tidak mau ‘ineb, aku akan membeli üzüm. Orang ke-empat yang berasal dari bangsa Rum tak mau kalah, ia menjawab: “Sudah jangan ribut semua, lebih baik kita belikan istafil dengan uang ini.” Keempatnya kukuh pada keinginan masing-masing maka mulailah terjadi perselisihan di antara mereka. Karena kebodohannya, satu sama lain mulai saling memukul. Ketidaktahuan dan kejahilan membuat mereka berkelahi. Seandainya datang orang bijak yang menguasai banyak bahasa dan mengetahui rahasia dari permasalahan ini, berada di antara mereka maka orang tersebut pastilah akan mengatakan: “Aku akan membawakan semua yang kalian minta tadi dengan satu dirham ini. Jangan ada keraguan di hati kalian karena satu dirham ini akan cukup untuk membeli semua yang kalian inginkan. Tenanglah dan dengarkan saja serta jangan banyak bicara, biar aku yang jadi penyambung lidah kalian.” Ibaratnya perkataan kalian memiliki banyak makna namun pada akhirnya hanya menghasilkan perpecahan dan peperangan. Ketika Nabi Sulaiman as. mencapai manifestasi Kebesaran Tuhannya maka ia pun memahami semua bahasa burung. Engkau hanyalah semisal seekor semut, yang berlari ke sana ke mari, mengumpulkan remah makanan. Namun sadarlah hai orang yang lancang, Sulaiman ada di sini, lalu apa yang kau cari? Mereka yang mencari remah makanan, maka remah itu menjadi perangkapnya. Namun yang mencari Sulaiman, akan mendapatkan Sulaiman berikut makanan pula. Pertikaian antara orang Turki, Rum dan Arab tak jauh beda dengan keraguan akan engûr dan ‘ineb. Jika seseorang yang menguasai bahasa maknawiyah selayaknya Sulaiman tak datang, maka keraguan ini tak akan pernah terjawabkan.1
Kutipan cerita Maulana Jalaluddin Rumi ini menunjukkan salah satu hakikat untuk belajar bahasa asing yang seringkali dilupakan. Pada dasarnya belajar bahasa asing sesungguhnya bukan sekedar untuk mengikuti trend, menjawab tantangan zaman atau sekedar untuk menaikkan kualitas curriculum vitae bagi keperluan karir seseorang. Oleh karena sebenarnya mempelajari bahasa asing memiliki beberapa aspek yang patut kita perhatikan.
Apa yang Terjadi di Otak Manusia Saat Ia Mempelajari Bahasa Asing
Saat seseorang mempelajari bahasa asing, maka otaknya akan menyimpan ingatan dan kemampuan berbahasa tersebut di bagian otak kanan. Sementara sebagian besar memori dan kemampuan berbahasa asal atau yang sering kita sebut sebagai ‘bahasa ibu’ (mother tongue) akan tersimpan di belahan yang berbeda yaitu di sebelah kiri. Di Akademi Intrepreter Angkatan Bersenjata Swedia di kota Uppsala, dilakukan penelitian terhadap sekelompok anak-anak muda yang mereka rekrut untuk mempelajari bahasa asing baru selama 13 bulan. Sebagai grup kontrol digunakan sekelompok mahasiswa lain yang juga sedang belajar dengan tekun namun bukan pembelajaran bahasa. Dilakukan MRI scan pada kedua kelompok mahasiswa ini sebelum dan sesudah proses pembelajaran secara intensif per tiga bulan. Ketika tidak terdapat perubahan struktur otak pada grup kontrol, sebaliknya beberapa bagian otak dari kelompok mahasiswa yang belajar bahasa mengalami pertumbuhan. Bagian yang mengalami perkembangan dari segi ukuran adalah hippocampus, yaitu bagian dari otak besar manusia yang merupakan bagian dari sistem limbik dan berperan proses pembelajaran hal baru dan navigasi spasial. Selain itu terlihat juga perkembangan pada tiga bagian di celebral cortex. Johan Martensson, seorang peneliti bidang Psikologi di Universitas Lund, Swedia mengatakan bahwa siswa yang mengalami perkembangan lebih besar pada bagian hippocampus dan celebral cortex (superior temporal gyrus) ternyata memiliki kemampuan berbahasa asing lebih baik daripada siswa lainnya. Sementara tampak perkembangan pada bagian motor dari celebral cortex (middle frontal gyrus) pada siswa yang menunjukkan usaha dan ketekunan yang tinggi pada proses pembelajaran bahasa asing tersebut.2
Prinsip – prinsip dalam Belajar Bahasa Asing
Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan digunakan untuk menunjukkan kemampuan seseorang berkomunikasi dalam dua bahasa. Kemampuan ini bersifat relatif karena ahli bahasa seperti Bloomfield mengukur bahwa seseorang baru bisa dikatakan sebagai seorang bilingual saat mampu menggunakan bahasa kedua sama fasihnya dengan bahasa ibu, maka sebaliknya Weinrich menyebutkan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Baginya penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Multilingualisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok, atau masyarakat. Sementara Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.3 Masyarakat di Indonesia memiliki kemungkinan amat besar untuk menjadi bilingual, diglosia bahkan multilingual, karena khasanah bahasa daerah amat beraneka ragam.
Ada dua proses yang dapat meningkatkan kompetensi seseorang pada bahasa keduanya, yaitu: akuisisi (pemerolehan) bahasa dan pembelajaran bahasa. Akuisisi bahasa adalah sebuah proses bawah sadar yang bisa terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak. Hasil dari proses inipun adalah kompetensi bahasa yang juga di luar kesadaran. Mereka biasanya tidak bisa benar-benar memahami aturan baku dari bahasa asing yang diperolehnya namun bisa ‘dibuat merasakan’ ada atau tidaknya kesalahan pada tata bahasa saat menggunakan bahasa asing tersebut. Cara pemerolehan bahasa asing seperti ini sering juga disebut sebagai belajar bahasa secara implisit, informal atau natural.
Sementara proses yang kedua adalah Proses pembelajaran Bahasa yang merupakan proses dimana seseorang benar-benar secara sadar belajar sebuah bahasa, mengetahui aturan tata bahasanya, menyadari saat menggunakannya dan mampu untuk mendeskripsikannya. Walaupun beberapa teori mengatakan bahwa anak-anak mampu mengakuisisi dengan baik sementara orang dewasa hanya bisa belajar bahasa asing, namun ternyata banyak pula hipotesis yang menunjukkan kemampuan luar biasa orang dewasa untuk mengakuisisi bahasa asing yang diperolehnya sehingga berbicara dan memahaminya seperti seorang penutur asli. Beberapa penelitian sepanjang dekade ini mengerucut pada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan mempelajari sebuah bahasa asing, yaitu: motivasi yang tinggi, kepercayaan dan citra diri yang baik, serta tidak adanya rasa was-was atau kekhawatiran yang berlebihan.4
Dr. James J. Asher dari Jose, California memperkenalkan sebuah metode pembelajaran bahasa asing yang disebut sebagai Total Physical Response (TPR)5 yang sudah diterapkan di lebih dari 500 sekolah dasar di seluruh dunia termasuk Jepang. Metode ini adalah cara mengajarkan bahasa dengan memperdengarkan beberapa kalimat perintah dan mengajak orang yang sedang mempelajari bahasa tersebut menggerakkan seluruh bagian tubuhnya guna mempraktekkan perintah tersebut. Rahasia dari metode ini adalah persis seperti proses ‘percakapan’ antara seorang ibu dengan bayinya. Seorang ibu akan berulang kali mengucapkan berbagai perintah dan si bayi walaupun tidak menjawab secara verbal akan merespons dengan tindakan atau mimik tertentu. Alasan di balik peristiwa ini adalah kemampuan berbicara dan memahami berada di bagian otak yang berbeda. Kemampuan berbicara berada di area broca yang terletak di lobus frontalis di otak kiri. Sementara kemampuan memahami bahasa berada di area wernicke yang berada di lobus temporal. Sedangkan area motor tambahan adalah area korteks yang terpengaruhi pada gerakan aktual fisik saat artikulasi berbicara. Maka ketika seorang guru mengajarkan bahasa dengan meminta murid mendengarkan dan mengulangi kata-kata baru yang diucapkannya maka hal ini akan menyebabkan otak bekerja secara ‘overload’, karena kedua bagian baik lobus frontal maupun temporalnya akan bekerja bersamaan, hasilnya adalah kemampuan bahasa yang lebih lambat dengan daya ingat yang lebih pendek. Selain itu tidak bisa dipungkiri kemampuan neuron cermin yang mengakibatkan otak mampu mengimitasi gerakan yang dilihat oleh mata sehingga kemampuan ini menunjang pemahaman atas bahasa yang baru dipelajari tersebut.
Begitu pula saat seorang guru mencoba mengajarkan bahasa asing dengan hanya menerjemahkan arti kata, maka penekanan makna kata yang sesungguhnya adalah sesuatu yang baru saja didengar oleh siswa yang akan dipersepsikan oleh bagian otak kanannya sebagai ‘kebohongan’. Sebagai contoh ketika guru mengatakan ini adalah ‘pencil’ dan itu adalah ‘door’ maka hal tersebut pada awalnya menjadi absurd bagi otak seorang siswa, yang sebelumnya selama bertahun-tahun yang diketahui otaknya sebagai ‘pensil’ dan ‘pintu’. Maka pada awalnya otak akan bereaksi dengan tidak ‘mempercayai’ pernyataan guru tersebut. Maka metode menterjemahkan tidak akan menjadi memori yang tahan lama atau bisa cepat dilupakan. Pada kondisi ini TPR adalah sebuah cara yang memberikan pengalaman di kelas bahasa sebagai sesuatu yang akan ‘dipercayai’ oleh otak. Siswa diminta untuk diam dan mendengar serta melakukan persis seperti apa yang dilakukan oleh guru, sehingga pada keadaan ini guru tersebut telah menghadirkan ‘fakta’ dari sebuah kata bukan terjemahannya sehingga tidak akan disangkal oleh bagian kritikal dari otak siswa tersebut.6
Sesuatu yang sering kita dengar adalah anak kecil belajar bahasa kedua lebih gampang dan cepat dibandingkan orang dewasa. Argumen yang menguatkan pernyataan ini adalah karena otak anak lebih fleksibel serta lapisan korteks otak yang lebih lentur daripada orang dewasa. Namun sesungguhnya banyak ahli yang menyangkal hal ini. menurut mereka anak-anak mungkin saja lebih termotivasi saat belajar bahasa asing karena mereka lebih sering ditempatkan pada kondisi yang memaksanya untuk bicara. Misalnya pada kasus anak-anak imigran yang pergi bersama keluarganya ke sebuah negara baru. Namun secara eksperimental ternyata terlihat bahwa orang dewasa memiliki kompetensi yang lebih baik dalam belajar bahasa asing jika berada dalam kondisi yang terkontrol. Sesuatu yang menjadi pengecualian adalah kemampuan prononsiasi yang tampak lebih baik pada anak-anak yang belajar bahasa asing sebelum mereka mencapai usia pubertas.
Dilakukan penelitian pada 17,000 anak di Inggris yang belajar bahasa Prancis. Setelah jangka waktu 5 tahun, pada penelitian tersebut tampak bahwa anak-anak yang mulai belajar bahasa Prancis pada usia 11 tahun memiliki kemampuan bahasa asing lebih baik daripada mereka yang memulainya di usia 8 tahun. Penelitian yang sama dilakukan di beberapa tempat lain dengan hasil yang sama. Salah satu kesimpulan yang didapat adalah proses pemerolehan (akuisisi) bahasa kedua membutuhkan waktu maka anak-anak selalu membutuhkan dukungan terutama pada kemampuan bahasa utamanya (bahasa ibunya) terlebih dahulu, agar jangan sampai pemerolehan bahasa kedua menghambat kemampuan bahasa utamanya. Semakin baik kemampuan bahasa asli atau mother tongue seorang anak akan semakin bagus pula pemerolehan bahasa keduanya.7
Manfaat dari Pembelajaran Bahasa Asing
- Meningkatkan pola pikir, kreativitas dan kemampuan abstraksi otak
Pada tahun 1991, Bamford dan Mizokawa menunjukkan dari berbagai penelitian terungkap bahwa orang-orang yang memiliki kemamapuan bilingual tampak lebih kreatif dan mampu memecahkan masalah yang kompleks daripada mereka yang tidak pernah belajar bahasa asing. Bahkan pada sebuah studi yang dipublikasikan pada 2010 oleh seorang psikolog Esther Adi-Japha dan rekan-rekannya ditemukan bahwa anak-anak bilingual berusia 4 hingga 5 tahun tampak lebih kreatif saat diminta menggambar rumah atau bunga dibandingkan rekan-rekan mereka yang monolingual. Gambar anak-anak tersebut terlihat lebih imajinatif dan lengkap, menunjukkan kemampuan superior yang ditandai oleh kepandaian memahami konsep-konsep abstrak.8
- Memperkaya dan mengembangkan kemampuan kognitif
Beberapa peneliti juga melihat hubungan antara kemampuan bilingual dengan peningkatan memori kerja seseorang yang kemudian diasosiasikan dengan kemampuan membaca dan matematika seseorang. Beberapa perbedaan kognisi yang diterapkan juga menunjukkan bahwa belajar bahasa asing memperbesar struktur otak yang sedang berkembang terutama saat anak-anak bilingual atau multilingual tersebut membaca buku. Menurut Hakuta (1986) orang-orang yang mempelajari bahasa asing menunjukkan fleksibilitas dalam kemampuan kognitif dan pemecahan masalah dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Terlebih lagi biasanya mereka memiliki keunggulan pada kemampuan verbal maupun non-verbal, kemampuan mendengar dan ingatan yang lebih tajam.
- Menghambat gejala awal demensia dan meningkatkan ketahanan mental
Pada tahun 2010 seorang psikolog bernama Ellen Bialystok dan rekan-rekannya di York University, Toronto melakukan serangkaian penelitian pada 211 pasien yang didiagnosa Demensia. Ditemukan bahwa pasien yang memiliki kemampuan bilingual terkena demensia lebih lambat 4,3 tahun dari pada mereka yang monolingual. Menurut hipotesanya Bialystok mengatakan bahwa pada pasien yang merupakan seorang bilingual maka kemampuan bahasa tersebut telah mengkompensasi sehingga otak dibuat lebih dapat mempertahankan kondisinya dari kemungkinan kerusakan strukturnya yang lebih besar diakibatkan oleh penyakit tersebut . Setelah itu pada 2011 Magali Perquin dari Pusat penelitian Kesehatan Umum di Luxemborg mengevaluasi kesehatan neuropsikologis dari 230 orang tua yang berbicara dua hingga tujuh bahasa. Ditemukan bahwa mereka yang berbahasa tiga atau lebih bahasa asing memiliki ketahanan mental lebih baik daripada yang memiliki kemampuan dua bahasa saja.9
Tentu saja masih banyak lagi manfaat dan kelebihan dari kemampuan memperoleh dan mempelajari bahasa asing. Setelah peristiwa Hijrah ke Madinah Rasulullah صلى الله عليه وسلم banyak menerima surat dari berbagai kaum maupun kabilah, Beliau menganjurkan pada Sahabat Zaid bin Tsabit ra. agar mempelajari bahasa Suryani dan Ibrani. Zaid diperkenalkan kepada Rasulullah sebagai anak muda dari bani Najjar yang telah membaca 17 surat Al Quran. Kemudian dalam kurun tidak lebih dari setengah bulan Zaid mampu mempelajari bahasa tersebut.10
Pada hadis lain yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud dikatakan Zaid diperintahkan pula oleh Sang Nabi untuk mempelajari bahasa Suryani dan beliau dengan izin Allah جل جلاله mampu mempelajari bahasa tersebut dalam waktu tujuh belas hari.10
Sahabat lain yang juga menguasai bahasa Suryani dan sering meneliti kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr, seorang pemuda dari golongan kaya, putra ahli strategi dan negarawan ulung Amr bin Ash. Setelah cahaya hidayah Islam masuk ke relung kalbunya Abdullah menjadi seorang ahli ibadah yang amat saleh. Selain rajin beribadah beliau juga selalu mencatat semua perbuatan dan perkataan Rasulullah sehingga merupakan salah satu periwayat hadis. Kemampuannya ini bahkan dipuji secara khusus oleh Abu Hurairah ra.
Pada tahun 700-an karya-karya filsafat dan keilmuwan Yunani yang coba dihancurkan di Eropa justru diterjemahkan secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab oleh cendekiawan muslim. Karya-karya terjemahan ini menjadi amat berharga bagi dunia barat karena kemudian diterjemahkan kembali oleh mereka dan menjadi salah satu sebab lahirnya Renaisans. Banyak pula para pemimpin dan cendekiawan yang menguasai banyak bahasa sehingga menunjang kemampuan keilmuan dan kepemimpinanan yang dimiliki. Sebut saja para tokoh seperti Bung Hatta, H. Agus Salim, Soekarno, Buya Hamka dan R.M. Panji Sosrokartono. Raden Kartono bahkan menguasai 17 bahasa asing termasuk bahasa Basken (Basque), yaitu bahasa suatu suku bangsa di Spanyol. Di sumber lain dikatakan bahwa beliau bahkan menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di Nusantara. Kemampuannya ini membuat Beliau mampu mengalahkan para poliglot lain di Eropa pada masa itu dan membuatnya mendapat julukan Si Jenius dari Timur. Selama tinggal dan bekerja di Eropa beliau sering mengirimkan surat dan buku-buku bagi adiknya R.A. Kartini yang membuat Kartini lebih bersemangat untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi kaumnya pada masa itu.
Sesungguhnya saat kemampuan berbahasa dan mempelajari bahasa asing dilakukan dengan semangat untuk memberikan kebaikan bagi agama dan orang banyak maka menjadi seorang bilingual ataupun multilingual dapat mengantarkan seseorang pada sebuah tugas mulia. Belajar bahasa asing dapat mengantarkan kita pada satu jendela dunia baru, peradaban baru. Dengannya kita dapat pula menyuarakan keadaan bangsa kita pada saudara yang berbeda lisan dan rupa. Lebih dari itu semisal cerita yang disampaikan oleh Rumi di awal tulisan ini, sebaik-baik fungsi bagi para bilingual dan multilingual adalah menjadi duta perdamaian bagi berbagai perbedaan yang seringkali mencetuskan perselisihan di muka bumi dan menjadikannya sarana untuk saling mengenal di antara umat manusia. Kenali lagi perintah Sang Maha Mengetahui dalam Firman-Nya: “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat 13).
Penulis : Astri Katrini Alafta, S.S., M.Ed.
Referensi:
- Yrd.Doç. Dr. Yakup Şafak. 2011. Mevlana Celaleddin-i Rumi, Bütün Eserleri (Kumpulan Karya-Karya Maulana Jalaluddin Rumi). Karatay Belediyesi Kültür Yayınları. Halaman:138-139. (Ket: ‘ineb, engûr, istafil dan üzüm memiliki arti yang sama yaitu anggur).
- Martensson, Johan. 2012. Language Learning Makes the Brain Grow. University of Lund. Sweden.
- Sri Maruti, Endang dan Takdir Prayogi, Danar. 2011. Multilingual, Bilingual, Dan Diglosia. Pasca Unesa.
- Krashen, Stephen D. 1982. Principles and Practice in Second Language Acquisition.University of Southern California.
- Asher, James J. (2003). Learning Another Language through Actions (6th edition). Los Gatos, CA: Sky Oaks Productions, Inc.
- Asher, James.J. (2002). Brainswitching: Learning on the right side of the brain. Los Gatos, CA: Sky Oaks Productions, Inc.
- Mclaughlin, Barry. 1992. Myths and Misconception About Second Language Learning: What Every Teacher Need To Unlearn. University of California, Santa Cruz.
- Westly,Erica. 2011. The Bilingual Advantage, Learning a second Language can give kids’ brains a boost. Scientific America
- Migliore, Lauren. 2011. Word of Wisdom. Scientific America
- HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad.
Discussion about this post