Kala itu musim dingin tengah berada di pertengahannya, tepatnya di bulan Januari. Sejauh mata memandang, pepohonan tampak gundul berselimutkan sisa-sisa salju yang turun tadi malam. Udara di luar tidak terlalu dingin, karena memang setelah salju turun, hawa dingin tidaklah terlalu menusuk. Sore itu Batiar, seorang pelajar S2 Indonesia yang tengah mengikuti program pertukaran pelajar di salah satu universitas di Istanbul, berniat untuk berjalan-jalan menyusuri taman dekat tempat tinggalnya di kota Üskudar, Istanbul, sebuah kota tua penuh sejarah yang menyimpan banyak cerita dan kenangan yang tersimpan rapi dalam kebisuannya, meski hiruk pikuk kota metropolitan tersemat pada dirinya. Di kota Üsküdar inilah konon kabarnya Yavuz Sultan Selim menunggu malam tiba setelah kedatangannya dari penaklukan Mesir. Ia takut bila kembali ke istana pada siang hari, maka rakyatnya akan menyambutnya dengan penuh puja-pujian. Ketawadukannyalah yang membuatnya menghindari penyambutan yang penuh gegap gempita itu.
Batiar menyusuri jalanan berbatu sembari sesekali menikmati motif floral iznik yang banyak menghiasi beberapa dinding bangunan kuno kota itu. Berada di tengah-tengah kota itu membuatnya merasa menjadi bagian dari sejarahnya. Baru beberapa minggu dia berada di sana. Sebuah tempat yang nyaman untuk ditinggali. Struktur dan desain bangunan kota itu sangatlah antik dan unik, mulai dari rumah yang bergaya Utsmani, masjid-masjid yang kebanyakan bergaya seni arsitektur sama, museum sejarah penuh peninggalan masa lalu, dan juga situs-situs sejarah yang lainnya. Mereka mungkin dibangun beratus-ratus tahun yang lalu, dan yang pasti, menyimpan banyak sejarah di dalamnya.
Ia berjalan menyusuri trotoar yang turun menanjak bermanjakan pemandangan indah selat Bosphorus di seberang. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sebongkah batu yang terletak di pinggiran jalan1. Awalnya ia berpikir bahwa itu hanyalah batu biasa. Namun saat dicermati, ternyata ia memiliki bentuk yang tidak biasa. Ia berbentuk silinder dengan tinggi sekitar 100 cm dan lebar sekitar 30 cm, dan memiliki lubang atau ceruk di tengahnya. Batiar mengamati dan menerka apa fungsi sebenarnya batu itu. Ia bukan batu biasa, berbeda dengan batu penanda kilometer di kampungnya, bukan pula batu pembatas antara jalan dan trotoar yang lazim dilihatnya. Dia pun berlalu meninggalkannya dengan kepala penuh tanda tanya.
Tak jauh dari tempatnya berdiri tadi, ada sebuah kedai kopi sederhana yang biasa digunakan penduduk setempat sekadar menjadi tempat menghangatkan diri. Kala itu lumayan ramai dari biasanya, karena memang hawa dingin perlahan mulai menusuk hingga ke relung tulang dan ulu hati. Ia masuk, dan dilihatnya sebuah wajah yang tak asing duduk di kursi paling pojok, berdekatan dengan rak-rak berisi penuh buku yang tertata cukup rapi. Satu hal yang disukainya dari kedai kopi ini adalah di samping sebagai tempat untuk menghangatkan badan, ia juga tempat membaca yang cukup nyaman 2.
“Sini!” Panggil pemilik wajah itu ke arahnya. Ternyata ia juga melihatnya. Batiar pun datang menghampirinya dan mengambil kursi kecil untuk duduk semeja bersamanya. Paman Eren namanya, warga setempat yang dikenalnya beberapa waktu lalu dan kini menjadi satu bagian dari ceritanya di tempat ini.
Batiar memesan secangkir kopi, türk kahvesi1 namanya. Rasanya cukup pahit, lebih pahit daripada kopi gayo yang pernah ia minum saat berkunjung ke Aceh dulu. Sebenarnya dia bukanlah penikmat kopi sejati, hanya saja dia suka mencoba hal-hal baru yang positif di sini.
Batiar kembali menyeruput kopinya, kopi yang terasa sangat pahit. Lidahnya kelu setelah meminumnya. Ia merasakan pusing di kepala, rasa pusing yang tak tertahankan. Kepalanya berdenyut keras, tubuhnya sempoyongan, dan akhirnya dia pun limbung terjatuh tak berdaya. Matanya mulai terpejam dan seketika sekelilingnya menjadi gelap dan senyap.
***
Perlahan ia membuka mata dan bangun dengan kepala yang masih terasa berat. Ia mencoba bangkit, meski tertatih-tatih. Ia lihat sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang. Mereka semua memakai baju yang aneh, baju dengan gaya kuno semacam pakaian di cerita dongeng. Tidak hanya baju, bangunan rumahnya juga sangat klasik dengan arsitektur yang cukup menarik. Bahasa yang mereka gunakan juga ganjil baginya.
‘’Di mana sebenarnya aku kini. Rasanya tak mungkin aku sedang bermimpi’’ gumamnya.
Ia pukul tangannya dan terasa sakit. ‘’Ini bukan mimpi’’ ucapnya seraya mengernyitkan alisnya. Terakhir yang diingat adalah saat ia berada di kedai kopi bersama Paman Eren, menyeduh türk kahvesi. Kini, dia memang ada di depan kedai kopi, tapi bukan kedai kopi tempatnya duduk tadi, tak pula ia dapati Paman Eren di sampingnya.
‘’Sepertinya aku berada di dimensi lain dunia ini’’ pikirnya. Ia lalu bangkit meninggalkan kedai kopi itu, menyusuri jalan seraya mencari jalan keluar untuk kembali ke dunianya dan berharap mendapatkan pertolongan.
Langkahnya terhenti saat melihat sebongkah batu yang tak asing, sebuah batu silindris dengan lubang di tengahnya yang kokoh berdiri di pinggiran jalan. Persis seperti yang ia lihat di kedai kopi sebelumnya. Namun yang membedakan adalah banyaknya orang yang silih berganti menghampirinya seraya memasukkan tangan ke lubang dan menariknya kembali. Ia tak paham, apa yang tengah mereka lakukan. Mengapa mereka memasukkan tangan ke lubang itu. Apakah mereka sedang mengambil ataukah meletakkan sesuatu. Entahlah, hati kecilnya pun tergerak untuk menghampiri batu itu.
Dari dekat ia amati. Sepenuhnya mirip dengan batu yang ia lihat tadi. Ia coba memasukkan tangan ke dalamnya. Ia raba-raba permukaannya, apa kiranya yang ada di sana. Tangannya merasakan keberadaan benda yang terasa seperti uang kertas dan logam yang cukup banyak jumlahnya. Ia semakin tidak paham.
‘’Mengapa mereka meletakkan uang-uang itu di sini, di sebongkah batu di pinggiran jalan. Tidakkah mereka takut jika diambil orang?’’ Kepalanya kembali penuh terisi pertanyaan yang belum terjawabkan.
***
Seorang ibu-ibu tua berpakaian lusuh datang menghampiri batu itu dan memasukkan tangannya ke lubang. Batiar melihat tangannya mengambil beberapa uang. Ia hitung jumlahnya, lalu kembali memasukkan beberapa darinya. Batiar mencoba menyapanya, namun ia tak membalas karena tidak mendengar, atau mungkin tengah terburu-buru sehingga tidak menyadari keberadaannya. Ibu itu beranjak pergi, dan Batiar pun mengikutinya dari belakang.
Ibu itu masuk ke sebuah toko roti. Tak lama berselang, ia keluar dengan dua potong somun ekmeği3. Ibu itu kembali menyusuri jalanan dengan langkahnya yang tertatih-tatih, diikuti Batiar yang masih mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian wanita setengah baya itu berbelok masuk ke sebuah gang sempit yang cukup gelap di antara dua bangunan. Saking sempitnya, sinar Matahari pun enggan masuk ke dalamnya. Dalam kegelapan, Batiar mencoba melihat apa yang ibu itu lakukan di gang sempit itu. Ternyata di sana telah duduk beberapa anak kecil berpakaian lusuh yang telah lama menanti sang ibu. Dalam samar, dilihatnya wajah-wajah mungil itu semringah dengan bibir mengembang kala sang ibu datang dengan dua potong roti.
Ia lalu berpikir dan menyadari bahwa ternyata ibu itu memasukkan tangannya ke dalam lubang batu untuk mengambil uang dari dalamnya, dan membelikan makan anak-anaknya dengan uang yang diambilnya. Satu pertanyaan terjawab sudah. Meski tersisa satu pertanyaan yang masih bercokol di kepala. Kenapa ibu itu kembali memasukkan uang yang diambilnya, mengapa ia tidak mengambil semuanya saja? Batiar terus berpikir di sepanjang jalan kembali ke kedai. Ia lalu melihat seorang lelaki berpakaian flamboyan mendekat ke arah batu, persis seperti yang ibu tadi lakukan. Orang dengan pakaian bagus itu memasukkan tangannya ke dalam lubang. Dan dilihatnya memasukkan sejumlah uang.
Kini ia mulai memahami fungsi sebenarnya batu itu. Seseorang dengan kemampuan finansial lebih akan memasukkan tangannya ke lubang dan meletakkan sejumlah uang. Sedangkan orang berekonomi kurang juga akan memasukkan tangannya untuk mengambil uang yang ia butuhkan. Masing-masing dari keduanya samasama memasukkan tangan, namun takkan ada yang tahu apakah ia memasukkan tangan untuk memberi uang ataukah untuk mengambilnya.
Jawaban itu cukup menakjubkannya. Betapa mereka begitu sensitif dalam menjaga perasaan orang lain, bahkan pada saat memberi bantuan pada yang membutuhkan. Orang yang bersedekah takkan pongah karena telah berbuat kebajikan. Sedangkan orang yang mengambil sedekah itu pun tidak perlu merasa malu dan berhutang budi karena telah mengambil bantuan dari orang lain, serta takkan mengambil bantuan lebih dari yang ia butuhkan. Seketika ia teringat hadis Nabi ‘’Satu di antara tujuh orang yang akan mendapatkan tempat berteduh kelak di Hari Kiamat ialah mereka yang menutup-nutupi sedekahnya, sehingga ketika tangan kanannya bersedekah, tangan kirinya takkan mengetahui.”4
‘’Sungguh, sebuah cara bersedekah yang mengharukan’’ ucapnya dalam hati. Dengan lega, ia pun kembali melangkahkan kaki menuju kedai tadi, berharap ada cara untuk bisa keluar dari dimensi ini. Cuaca mulai mendung, seketika secara deras hujan turun ke bumi. Ia berlari mencari tempat berteduh, namun tanpa sengaja kakinya menyandung sebuah batu. Ia pun terjerembap dengan rasa sakit tak tertahankan di kepala. Pandangannya menjadi kabur, gelap, dan pekat.
***
Sayup-sayup ia dengar seseorang berulang kali memanggil-manggil namanya. Ia buka matanya, dan ia lihat Paman Eren dengan wajah penuh kecemasan. Ternyata ia tadi pingsan. Ia bangkit meski kepala masih terasa sakit. Ia lalu mohon pamit untuk beristirahat di rumahnya.
Di perjalanan dia bergumam, ‘’Tak seharusnya aku tadi minum kopi kala perut kosong, apalagi selepas minum suplemen kebugaran!’’. Dia keluar dari kedai itu. Diperhatikannya orang-orang di sekelilingnya. Kini, mereka berpakaian normal sepertinya. Tapi bangunan-bangunannya masih mirip seperti yang ada di mimpinya tadi, meski sedikit perubahan dari segi cat dan susunannya. Ia kembali berpapasan dengan batu silinder yang tak jauh dari kedai kopi itu, lalu menghampirinya.
‘’Terima kasih telah menjadi bagian dari sejarah kebaikan manusia’’ ucapnya pada batu itu sambil mengelusnya. Batu silinder dengan lubang di tengahnya, yang selama berpuluh-puluh tahun menjalankan tugas sucinya itu kini telah pensiun dan telah terlupakan fungsi sebenarnya. Dalam batu itu tersimpan beribu-ribu kisah dan cerita kebahagiaan bagi mereka kaum papa, serta kisah bersahaja para dermawan yang bersedekah secara rahasia. Ia tak menyangka akan belajar arti keikhlasan dari sebuah batu bisu yang penuh sejarah kemanusiaan.
Penulis adalah lulusan Ilmu Hadis Universitas Al-Azhar, Mesir, dan aktif sebagai editor di Majalah Mata Air
Catatan Kaki :
- Kopi turki
- Batu semacam ini banyak ditemui di berbagai kota tua di Istanbul, terutama di sepanjang jalan Doğancılar, Üsküdar. Namun kini jumlahnya kian berkurang karena sudah tidak lagi digunakan.
- Di Turki terdapat banyak kedai kopi dengan fasilitas membaca buku di dalamnya. Dalam bahasa aslinya, kedai kopi itu biasa disebut Kitaplı Kahvehane (kedai kopi berbuku).
- Roti berbentuk oval yang menjadi makanan pokok orang Turki.
- Bukhari, 660, 1423, 6479, 6806; Muslim 1031
Penulis : Abdullah Farid
Discussion about this post