Matahari adalah bintang yang paling sering kita lihat. Seperti makhluk lainnya, bintang lahir kemudian melewati berbagai fase perkembangan dan hingga pada akhirnya mati. Berdasarkan massanya, matahari dikategorikan sebagai bintang bermassa rendah, yang berada pada rentang massa progenitor , dan akan mengakhiri hidupnya sebagai bintang katai putih. Setiap fase yang dilalui selama perkembangan bintang menyiratkan proses fisis yang saling terhubung dan saling memengaruhi. Karenanya, pembahasan artikel ini akan diawali dengan pembahasan mengenai fase perkembangan bintang secara singkat.
Pembentukan Awan Molekular Raksasa
Bintang dibentuk dari awan molekular raksasa bermassa sekitar . Pembentukan awan molekular raksasa menjadi protobintang dijabarkan ke dalam lima tahapan berikut ini:
- Pertama, Interstellar cloud collapse, yaitu gangguan berupa shock wave dari ledakan supernova atau tumbukan dengan awan molekular lain yang akan meningkatkan tekanan dan menyebabkan bagian awan mengalami keruntuhan gravitasi.
- Kedua, akibat dari keruntuhan gravitasi, maka awan molekular tersebut pun pecah dan membentuk ratusan bagian kecil yang disebut sebagai cloud fragmentation.
- Ketiga, pecahan awan ini kemudian berotasi lebih cepat dan memipih membentuk protostellar disk, dengan inti yang disebut protobintang dan dikenal sebagai proses formation of a protostellar core.
- Keempat, gas-gas di sekitarnya lalu tertarik ke dalam protobintang akibat adanya gaya gravitasi, menambah kerapatan materi protobintang, dan menaikkan temperatur protobintang yang disebut sebagai proses accretion.
- Kelima, temperatur protobintang semakin tinggi mencapai ~2000 K sehingga molekul terurai menjadi atom H, tumbukan antar atom meningkat yang disebut proses dissosiasi dan Setelah protobintang terbentuk, kemudian ia mulai memasuki fase baru yang sangat ditentukan oleh parameter fisis awal bintang seperti metalisitas dan massa bintang, yaitu fase main sequence. Fase ini merupakan fase terlama hidup bintang, dan matahari saat ini masih berada dalam fase main sequence. Setelah itu, berlanjut memasuki fase raksasa yaitu giant branch yang ditandai dengan ukuran bintang yang membesar dengan membentuk unsur yang lebih berat seperti karbon dan oksigen, hingga kemudian memasuki fase planetary nebula yang pada akhir perkembangannya menyusut menjadi katai putih.1
Setiap fase perkembangan bintang tersebut dipengaruhi oleh parameter fisis awal bintang, salah satunya metalisitas. Metalisitas atau kadar logam merupakan fraksi massa unsur kimia yang lebih berat daripada hidrogen dan helium. Astronom bahkan menyebut kata “metal” sebagai istilah singkat yang merujuk pada semua unsur, kecuali hidrogen dan helium yang terkandung dalam sebuah objek astronomis. Kita dapat menganalogikan hal ini layaknya bumi yang mengandung banyak sekali unsur-unsur kimia, salah satunya unsur metal seperti besi, aluminium, lithium, dan sebagainya. Metalisitas dalam sebuah objek astronomis menjadi sangat penting untuk dikaji karena berperan dalam mengetahui sifat fisis dan usia hidup objek tersebut. Seperti bintang pada umumnya, matahari mempunyai kadar hidrogen dan helium yang lebih tinggi dengan kadar metal yang jauh lebih rendah dengan persentase sekitar 1,6%.2
Namun bagaimana jika kadar metal ini lebih tinggi dibandingkan batas normalnya? Para astronom mencoba memprediksi nasib matahari ke depannya dengan memodelkan perkembangan bintang bermassa rendah melalui program komputasi perkembangan bintang MESA (Modules for Experiment in Stellar Astrophysics).3 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan kadar metalisitas dalam bintang sebesar 1% bahkan dapat mengubah karakteristik fisis bintang sepenuhnya.
Pada kasus bintang bermetalisitas tinggi, metalisitas akan menyebabkan nilai opasitas bintang meningkat. Hal ini dikarenakan pada kondisi tersebut, jumlah elektron transisi yang dapat menangkap foton akan semakin bertambah sehingga mean free path photon berkurang, atau dengan kata lain foton tidak dapat bergerak keluar secara bebas dari interior bintang menuju permukaan sehingga bintang akan terlihat lebih redup. Hal tersebut dapat diamati dari semakin kecilnya nilai luminositas dan temperatur permukaan bintang.
Lantas dapatkah kita membayangkan apa yang akan terjadi apabila matahari terlihat lebih redup dan menjadi lebih dingin?
Selain itu, nilai opasitas yang besar juga menyebabkan bintang memiliki densitas atau kerapatan yang lebih kecil. Berbeda dengan bintang bermetalisitas rendah yang memiliki densitas lebih besar. Aspek lainnya yang dapat berpengaruh pada kondisi metalisitas tinggi adalah perubahan pada transpor energinya. Pada kondisi tersebut, transpor energi melalui proses konveksi menjadi lebih dominan dibandingkan dengan transpor energi secara radiasi. Hal ini disebabkan karena pada kondisi metalisitas tinggi, nilai opasitas yang meningkat menyebabkan gradien temperatur juga meningkat di dalam bintang yang mengarah pada semakin dalamnya lapisan konveksi.
Pengaruh Metalisitas dalam Semesta
Metalisitas juga mempunyai andil dalam memengaruhi aktivitas magnetik dan laju rotasi bintang. Bintang dengan kadar metalisitas tinggi berkontraksi pada skala waktu yang lebih panjang dan radiasi intinya berkembang lebih lambat pada fase pre-main sequence. Oleh karena itu, bintang bermetalisitas tinggi mempunyai laju rotasi yang lebih lambat berbeda dengan bintang bermetalisitas rendah yang mempunyai laju rotasi lebih cepat. Bahkan untuk kasus solar like star dengan kadar metalisitas rendah mempunyai laju rotasi yang lebih cepat sehingga periode rotasi bintang menjadi lebih singkat, yakni kurang dari 20 hari.4 Selain itu, kopling antara lapisan konveksi dan rotasi dari bintang dapat memicu mekanisme pembangkitan medan magnet. Aktivitas magnetik yang besar juga mendorong pelontaran materi dari permukaan bintang, baik melalui angin bintang pada fase giant branch maupun planetary nebula, yang berakibat pada semakin banyaknya massa yang “hilang” yang juga disebut mass loss, yakni pelontaran massa ke medium antar bintang. Ditambah lagi waktu perkembangan bintang yang lebih lama juga berperan dalam tingginya mass loss tersebut, yang pada akhirnya membuat ukuran bintang dan massa bintang pada akhir fase hidupnya menjadi lebih kecil.
Metalisitas juga sangat memengaruhi usia hidup bintang. Bintang dengan kadar metalisitas tinggi membuat waktu pembakaran energi nuklir semakin lama. Hal itu disebabkan oleh materi yang dikonsumsi sebagai bahan bakar nuklir lebih besar sehingga meningkatkan usia hidup bintang, dengan estimasi peningkatan sekitar 2 miliar tahun untuk peningkatan metalisitas sebesar 1%.5 Hal ini berarti, jika kondisi matahari dengan kadar metalisitas tinggi dipertahankan, maka matahari yang redup, dingin, dan padat akan berusia hidup lebih lama dibandingkan dengan dugaan atau estimasi usia hidup matahari saat ini yang sebesar 10 miliar tahun.
Namun, bagaimana bila kondisi ini berbalik, matahari dengan kadar metalisitas yang lebih rendah akan sangat panas dan akan mati 2 miliar tahun lebih cepat dari dugaan sebelumnya. Prediksi usia matahari saat ini adalah sebesar 4,5 miliar tahun. Dengan begitu, para astronom mengestimasi bahwa matahari hanya akan dapat bertahan hidup dalam jangka waktu 3,5 miliar tahun kemudian.
Untuk lebih mudahnya, mari kita hitung bersama sebagai berikut:
10 miliar tahun dugaan usia hidup matahari – 2 miliar tahun perkiraan redup matahari – 4,5 miliar tahun prediksi usia matahari saat ini = 3,5 miliar estimasi ketahanan hidup matahari
Lantas pertanyaannya adalah, akankah peradaban manusia masih dapat bertahan dengan kondisi seekstrem itu?
Sebagai muslim, kita tentu percaya bahwa Allah telah menciptakan seluruh semesta beserta seisinya sesuai dengan kadar takarannya, sebagaimana termaktub dalam ayat berikut:
“Sungguh, segala sesuatu Kami ciptakan menurut ukuran.”6
Segala makhluk ciptaan Allah, termasuk Matahari sebagai salah satu objek astronomis di alam semesta, telah diciptakan sesuai dengan ketentuan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.
Dalam ayat lain, Allah subhânahu wa ta›âla juga berfirman mengenai ketetapan:
“Yang kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.“7
Kesimpulan
Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Segala sesuatu yang ada di langit, bumi, dan keseluruhan semesta Dia ciptakan dengan memiliki hikmah dan tujuannya, begitu pula dengan ketentuan atas kadar metalisitas pada matahari sangat berguna dalam penentuan perkembangan matahari. Keseimbangan dari kadar metalisitas matahari tersebut membuat astronom dapat memprediksi perkembangan akhir dari matahari, sang bintang katai putih. Selain itu, kesesuaian dari kadar metalisitas matahari membuat kehidupan di bumi menjadi terjaga, begitu pula dengan keseimbangan di lingkungan sekitar matahari. Kita dapat menjadikan ini sebagai renungan untuk mengagungkan kekuasaan Allah yang tiada bertepi sehingga dapat lebih menguatkan keimanan kita.
Referensi:
- Pols, O. R. (2011), Stellar Structure and Evolution, Astronomical Institute Utrect, 123-207.
- Romero, A. D., Campos, F., dan Kepler, S. O. (2015): The Age-Metallicity Dependence for White Dwarf Stars, Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 450, 3708-3723.
- http://mesa.sourceforge.net/
- Amard, L., dan Matt, P. (2020): The Impact of Metallicity on the Evolution of the Rotation and Magnetic Activity of Sun-like Stars, The Astrophysical Journal, 899, 108-120.
- Sakinah, S. A. (2021): Studi Pengaruh, Metalisitas pada Perkembangan Bintang Bermassa Rendah dan Penentuan Usia Gugus Bintang Menggunakan MESA-12778, Tesis Program Magister, Institut Teknologi Bandung.
- Al Qamar: 49
- Al Furqan: 2
Discussion about this post