Bagaimana Gurita Mampu Mengecap Rasa dengan Menyentuh?
Gurita sering kali menarik perhatian manusia dengan kemampuannya menggunakan kedelapan tentakelnya yang diselubungi mangkuk sedot untuk menyentuh dan merasa. Para ilmuwan selama beberapa dekade terakhir bertanya-tanya bagaimana pelengkap1 gurita itu bekerja, tetapi hanya sedikit ilmuwan yang mempelajari apa yang sebenarnya terjadi pada bagian tersebut di tingkat molekuler. Dalam sebuah laporan terbaru, para peneliti melihat bagaimana sistem saraf pada tentakel gurita mengatur fungsi-fungsi tersebut. Mereka mengidentifikasi sekumpulan sensor baru pada lapisan pertama sel di dalam mangkuk pengisap gurita yang telah beradaptasi untuk bereaksi dan mendeteksi molekul-molekul yang tidak larut dalam air dengan baik. Reseptor-reseptor kemotaktil pada sel-sel sensorik memanfaatkan molekul-molekul tersebut guna membantu gurita mengetahui apa yang disentuhnya dan memastikan apakah objek tersebut mangsanya atau tidak. Hal ini pun memungkinkan gurita untuk membedakan apakah sebuah objek adalah batu atau seekor kepiting yang lezat.
Mekanisme yang mendasari hal ini adalah terdapatnya dua tipe sel sensorik pada pengisap yang melapisi tentakel: sel mekanosensori untuk sentuhan dan sel kemosensori untuk pengecapan rasa. Baik sel yang berorientasi pada pengecapan maupun sentuhan sangatlah penting bagi gurita guna membantunya memutuskan kapan harus maju untuk berburu atau kapan harus mundur untuk kabur.
Telah diketahui dengan baik bahwa partikel yang ada di darat dapat dengan mudah melakukan perjalanan melalui udara sebelum mereka dapat diendus oleh hidung beruang atau serigala. Meski begitu, proses penciuman atau pengecapan tidaklah lebih jelas pada cumi-cumi yang hidup di lautan. Beberapa bahan kimia juga dapat berpindah jauh dari sumber bawah air. Karenanya, hal itu memungkinkan beberapa makhluk hidup untuk menangkap bau mangsanya dari jarak yang cukup jauh. Namun, untuk bahan kimia yang tidak mudah bergerak melalui lautan, strategi sentuhan-perasa dapat berguna bagi hewan laut, termasuk bagi gurita.
Ketika manusia cenderung merasakan lima rasa dasar seperti: manis, pahit, asam, asin, dan umami; gurita justru merasakan dunia rasa dengan cara yang sangat berbeda. Para ilmuwan mendapatkan kesuksesan besar dengan menstimulasi gurita untuk menanggapi apa yang disebut sebagai molekul terpenoid, sebuah sekresi yang sering dilepaskan oleh invertebrata laut yang berfungsi sebagai pertahanan atau sinyal peringatan. Gurita mencium molekul-molekul ini dan, entah bagaimana caranya, mereka bisa mencium rasa takut pada mangsanya.
Referensi :
Pelengkap adalah bagian tubuh luar atau perpanjangan alami yang menonjol pada tubuh organisme.
Giesen Et Al.Molecular Basis Of Chemotactile Sensation In Octopus. Cell, October 2020.
Reboisasi Hutan Bisa Jadi Merupakan Metode Terbaik Melawan Perubahan Iklim
Reboisasi dianggap sebagai strategi jitu dalam mengatasi dampak perubahan iklim dengan penelitian sebelumnya yang menyoroti peran reboisasi dalam menangkap dan menyimpan karbon dalam atmosfer. Terdapat beragam cara untuk menanam pohon pada lahan yang tersedia, tapi cara paling murah adalah dengan membiarkan hutan tumbuh kembali jika kondisi-kondisi memungkinkan hal tersebut. Kini, sebuah studi baru telah memetakan potensi akumulasi karbon pada hutan yang tumbuh kembali secara alami selama 30 tahun ke depan. Para peneliti dari 18 negara mengumpulkan lebih dari 13.000 alat pengukur georeferensi akumulasi karbon untuk menghasilkan peta 1 km dengan resolusi 1 km yang mencakup 43 negara dan menyoroti area dengan pengembalian karbon terbesar, bila pohon-pohon tersebut dibiarkan dapat tumbuh kembali secara alami. Tim peneliti menunjukkan bahwa pertumbuhan kembali hutan alam dapat menangkap hingga 23% emisi karbon dioksida (CO2) global dari atmosfer setiap tahunnya. Dan ini merupakan tambahan dari penyerapan karbon yang telah disediakan oleh hutan yang ada, yang menyerap sekitar 30% dari emisi CO2 setiap tahunnya. Keuntungan terbesar dari restorasi hutan secara alami ini adalah tidak diperlukannya tindakan apapun oleh manusia.
Alam terus-menerus dibuat bekerja untuk melakukan tugasnya memulihkan hutan yang sering kali tidak terlihat, baik yang berada di ujung hutan, di padang rumput yang terbengkalai, dan di mana pun hutan terdegradasi berada, begitu pula pada bekas lahan hutan yang ditinggalkan. Terlebih lagi, pertumbuhan kembali hutan alam dapat mendorong pembentukan kembali spesies pohon lokal yang siap untuk bertahan hidup di lokasi tersebut, selain juga menyediakan makanan bagi organisme lain dan tempat tinggal bagi mereka di antara cabang-cabang dan akar-akar pohonnya. Meski begitu, reboisasi natural tidak selalu menjadi jawaban. Misalnya, di lokasi yang sangat terdegradasi atau jauh dari sumber benih, penanaman pohon secara aktif dapat membantu memulai atau mempercepat pemulihan hutan sembari membantu menyiapkan spesies yang tepat bagi kondisi yang ada di masa kini maupun nanti.
Meski penanaman pohon terkadang sangat diperlukan, tetapi hal itu tidak selalu jadi pilihan, dan bisa jadi menjadi pilihan terakhir yang diambil. Hal itu dikarenakan menanam pohon merupakan satu metode yang terbilang mahal dan sering kali tidak berhasil melawan perubahan iklim. Guna memerangi perubahan iklim secara efektif, diperkirakan umat manusia perlu bersama-sama menanam sekitar satu triliun pohon selama tiga dekade ke depan, rata-rata sekitar seribu pohon setiap detiknya dan dengan asumsi bahwa setiap pohon tersebut tumbuh dengan sehat. Selain itu, biaya pembibitan, persiapan tanah, penyemaian, juga penjarangan pohon diperhitungkan akan menelan biaya ratusan miliar dollar.
Jika pertumbuhan hutan secara alami lebih murah dan lebih baik, lantas mengapa kita tidak berusaha untuk melindungi pohon yang sudah ada dan membiarkan hutan meneruskan pertumbuhannya tanpa terganggu?
Cook-Patton et al. Mapping carbon accumulation potential from global natural forest regrowth. Nature, September 2020.
Pola Konektivitas Bawaan Mendorong Pengembangan Area Pembentukan Kata Visual
Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa manusia terlahir dengan sebuah bagian di dalam otak yang berfungsi sebagai reseptor untuk mengenali huruf dan kata. Para peneliti menganalisis pemindaian fMRI otak 40 bayi baru lahir dan menemukan bahwa VWFA (Visual Word Form Area) atau ‘Area Pembentukan Kata Visual’ telah terhubung ke jaringan bahasa otak, yang mirip dengan pemindaian pada 40 orang dewasa. Temuan ini cukup mengejutkan, mengingat beberapa peneliti sebelumnya berhipotesis bahwa pra-pembacaan VWFA akan dimulai seperti bagian lain dari korteks visual yang sensitif dengan melihat wajah, adegan, maupun objek lain dan hanya selektif terhadap kata dan huruf saja saat anak belajar membaca, atau setidaknya saat mereka belajar bahasa. Meski begitu, sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa bahkan saat lahir, VWFA lebih terhubung secara fungsional ke jaringan bahasa otak dibandingkan ke area lain.
Sepertinya, pengalaman dengan bahasa lisan dan tulisan akan memperkuat hubungan-hubungan dengan aspek-aspek spesifik dari sirkuit bahasa, dan lebih jauh lagi dapat membedakan fungsi wilayah ini dari bagian lain di sekitarnya pada saat seseorang telah mengenal literasi. Tujuan utama studi ini adalah untuk mempelajari tentang bagaimana otak dapat menjadi sebuah “otak yang membaca” dan untuk membantu memahami perbedaan kebiasaan membaca seseorang. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi studi pada keadaan disleksia dan kelainan perkembangan otak lainnya.
Li Et Al. Innate Connectivity Patterns Drive The Development Of The Visual Word Form Area. Scientific Reports, October 2020
Discussion about this post