Gunung Slamet yang perkasa masih terlihat malu-malu membiru, diburu kelabu kabut, dikejar kemuning senja di balik punggungnya. Rerumputan, kayu jati, bunga, dan dedaunannya masih menggigil kedinginan, kaki-kakinya basah. Berembun. “Tes… tes… tes”, menetes air yang semalam sampai sepertiganya masih berwujud asap-asap purba mengembara dari gunung, kini menetes dari daun paling atas, jatuh ke daun yang paling bawah, lalu tergelincirlah ia jatuh membenam ke tanah sesuai sunah-Nya. Di kaki gunung Slamet itu, tersebutlah seorang pemuda bernama Laksito, seorang abdi dalem. Pada suatu hari di sawah tempatnya bekerja, ia melihat ular belang bermahkota emas, namun setelah dicari hanya ditemukannya selaput ular tersebut dan kemudian dimasukannya ke dalam sebuah kantong. Setelah selesai melakukan pekerjaan di sawah, kemudian ia pulang ke pendopo.
Sepanjang perjalanan pulang hingga sampai ke pintu gerbang pendopo kabupaten Brebes, Laksito merasakan ada hal yang aneh. Setiap orang yang berpapasan dengannya tak menjawab sapaannya. Sambil berjalan menuju Bi Ojah yang nampak sedang sibuk di dapur, Laksito mengipas-kipaskan ikat kepalanya yang sudah terlepas ke arah mukanya, sambil dahinya mengernyit tak tahan menadah sinar matahari yang jatuh ke mukanya.“Bii…. Masak apa? Lapar aku, Bii…” teriak Laksito sambil tangannya dengan cekatan menyambar mendoan tempe yang masih ditiriskan dari minyaknya. Alih-alih menjawab pertanyaan Laksito, Bi Ojah terperanjak hingga abu dari pawon (tungku: Ind) yang sedang Bi Ojah tiup-tiup dengan selongsong bambu menyembur buyar beterbangan tak karuan “Duh Gusti… Gusti… Siapa itu….” batin Bi Ojah sambil mengusap-usap mukanya yang kini berwarna putih penuh abu.
“Bi aku Sito Biii… aku disini Bi, di samping Bibi….” Sahut Laksito sambil merengkuh tangan Bi Ojah yang sedang menodongkan selongsong bambu, entah apa maksudnya.
“Haaaahhh…. Kamu setan pasti…. Setan…setaaaannn…tolooongg Gustiii…”, Bi Ojah berteriak-teriak sambil meronta-ronta mencoba melepaskan tangannya yang dipegang Laksito yang sudah tak kasat mata.
Konon Ula Poleng bermahkota emas itu salah satu abdi Hyang Anantaboga Dewa dari bangsa ular yang turun ke bumi. Siapapun yang sudah terjamah untuk melihat proses pergantian kulitnya akan mendapatkan berkah dari sisiknya yang bertuah. Konon sisik itu merupakan jembatan penghubung dua dunia, yaitu dunia gaib dan dunia nyata. Jadi siapapun pemilik sisik itu secara langsung bisa hidup dalam dua dunia, salah satu kelebihan lainnya ialah pemilik sisik tersebut secara langsung memiliki ajian upasanta yaitu lidahnya berbisa jadi makhluk hidup apapun yang dijilatnya bisa menemui ajal, serta mampu berjalan di atas sungai dan samudera. Sampai saat ini, masyarakat Brebes beranggapan bahwa Laksito atau dikenal sebagai Ki Jaka Poleng masih hidup. Beberapa orang yang pernah melihat penampakan Ki Jaka Poleng dalam wujud ksatria gagah berwajah manusia berbadan ular. Mitos masyarakat di pesisir Kali Pemali berkembang bahwa sebelum banjir datang Ular Jaka Poleng membendung hulu sungai Pemali kala sore sebelum banjir datang, agar sapi yang digembalakan di hutan dan orang-orang yang bekerja di seberang Kali Pemali bisa pulang dengan selamat.
Begitulah penggalan singkat sebuah dongeng yang diceritakan masyarakat secara turun temurun, disampaikan oleh ibu atau ayah di saat anaknya menjelang tidur hingga anaknya terlelap dan mengantarkan anaknya bermimpi di tidur malamnya. Bayangkan bahwa kisah penuh misteri dan klenik seperti ini dapat pula mempengaruhi kehidupan keseharian mereka, sehingga mereka bermimpi dan mencari cara bagaimana caranya untuk menjadi seorang seperti si Jaka Poleng. Pada masa lalu sebelum media televisi menjamur di mana-mana, dongeng di radio dan sandiwara radio adalah hiburan yang selalu ditunggu. Wayang golek adalah media untuk menyampaikan dongeng yang sarat dengan nilai moral dan hiburan bagi masyarakat sunda, begitu juga wayang kulit bagi masyarakat jawa dan lain sebagainya. Banyak media untuk mendongeng yang mungkin sekarang semakin kurang peminatnya, dikalahkan oleh televisi dan telepon genggam yang makin canggih dengan semua perangkatnya.
Dongeng juga sering dijadikan media pendidikan atau pengajaran yang digunakan guru atau orangtua sebagai media untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada anaknya. Dongeng adalah sastra tertua yang ada di dunia dan sampai sekarang tidak diketahui siapa penemu atau pembuat awal mulanya. Namun, menariknya dongeng itu selalu diceritakan dari dulu hingga sekarang dan banyak orang memercayai dongeng-dongeng tersebut.
Seorang peneliti dongeng berkebangsaan Rusia, Vladimir Propp, telah menyusun karakter-karakter yang hampir selalu ditemukan dalam setiap narasi dengan fungsi-fungsinya dalam cerita dongeng. Selanjutnya, karakter tersebut memilki fungsi dalam narasi sehingga narasi tersebut menjadi utuh dan padu. Berdasarkan hasil penelitiannya terhadap dongeng dan cerita-cerita rakyat Rusia, Propp menemukan sebanyak 31 fungsi pelaku di dalamnya. Namun, ia pun mengakui bahwa setiap dongeng tidak harus memuat sebanyak fungsi yang dimaksud. Ketiga puluh satu fungsi tersebut beserta lambangnya adalah sebagai berikut:
Ketidakhadiran β, pelarangan atau penghalangan γ, pelanggaran δ, pengintaian ε, penyampaian informasi ς, tipu daya η, keterlibatan θ, kejahatan A, kekurangan a, mediasi B, penetralan (tindakan) dimulai C, kepergian ↑, fungsi pertama penolong/donor D, reaksi pahlawan E, penerimaan unsur magis F, perpindahan tempat G, bertarung H, penandaan J, kemenangan I, kebutuhan terpenuhi K, kembali ↓, pengejaran Pr, Pertolongan s, kedatangan tidak dikenal O, tidak bisa mengklaim L, tugas berat M, solusi N, pengenalan pahlawan Q, pemaparan Ex, perubahan rupa T, hukuman U, pernikahan (dan naik tahta) W.
Menurut Propp ketiga puluh satu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam tujuh lingkaran tindakan tertentu. Berdasarkan analisis Propp, hampir semua dongeng di dunia memiliki kesamaan, tentang kehadiran semua unsur-unsur yang disebutkan di atas, walaupun tidak semuanya ada. Dan jika kita perhatikan, hampir di setiap daerah terdapat dongeng, legenda, dan mitos yang menyangkut masyarakat dan kebudayaannya. Hampir semua dongeng ini berisi tentang bagaimana sebuah kebudayaan dengan segala orientasi nilai kepercayaannya dalam kehidupan, dan dengan segala persoalannya.
Tujuan dongeng dari berbagai daerah hampir sama, yaitu pengajaran serta pemahaman masyarakat atas keberadaannya. Karena di dalamnya juga berisi tentang genealogi sebuah komunitas. Lebih dari sekadar asal usul nenek moyang sebuah masyarakat, sebuah dongeng dimaksudkan sebagai blueprint tentang hidup yang harus dijalani. Sesungguhnya dongeng-dongeng di dunia memiliki kesamaan isi dan struktur. Sebagai contoh dongeng Troya di Eropa memiliki kesamaan dengan epos Ramayana dan Mahabarata, tentu saja dengan nuansa yang berbeda, tetapi secara menyeluruh adalah sama dilihat dari strukturnya. Pada kebudayaan-kebudayaan tinggi, dongeng dapat dipastikan merupakan konstruksi istana sebagai model bagi dasar etik-moral kehidupan rakyat. Dongeng ini kemudian diturunkan kepada masyarakat bawah untuk dijadikan ugem-ugem (sesuatu yang dijadikan pegangan) kehidupan melalui berbagai saluran seni budaya semisal wayang, tembang, atau kidung. Namun, di kalangan rakyat bawah sering juga ditemukan perkembangan dongeng dan mitos lokal yang ada pada komunitas setingkat desa (atau kampung) atau terbatas pada keluarga tertentu; baik yang menyangkut genealogi desa dan komunitas tersebut maupun dongeng-dongeng lepas dari kesejarahan desa atau komunitas. Semisal dongeng ‘Bawang merah-Bawang putih’ atau ‘Ande-Ande Lumut’.
Pengertian dongeng menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh); perkataan (berita dan sebagainya) yang bukan-bukan atau tidak benar. Jika kita lihat dari pemaparan di atas, satu sisi dongeng bagus untuk pengajaran nilai-nilai moral, tetapi di sisi lain yang disampaikan adalah sebuah fiksi (cerita rekaan; khayalan; tidak berdasarkan kenyataan) yang kadang ada bumbu-bumbu yang seolah-olah memberi mimpi-mimpi dan harapan yang susah dicerna dan susah sekali dicapai.
Ketika kita menyampaikan suatu nilai kebaikan, baik berupa dongeng ataupun kisah, sebaiknya hindari hal-hal yang bersifat bohong, memberi rasa takut terhadap sesuatu selain Allah, membuat anak panjang angan-angan, membuatnya bermimpi dengan sesuatu yang tidak mungkin, dan menganggap biasa hubungan lawan jenis yang bukan mahram di luar pernikahan. Alangkah baiknya jika kita mengajarkan nilai-nilai kebaikan (moral dan spiritual) bukan dengan menggunakan media cerita yang bersifat jauh dari kebenaran atau sebuah kebohongan, karena akibat dari kebohongan tersebut dikhawatirkan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru. Dan lebih parahnya lagi, jika kita sudah melakukan kebohongan yang terus menerus, hal tersebut akan mengakibatkan otak kita menganggap bahwa kebohongan itu sesuatu hal yang lumrah dan biasa sehingga orang atau anak kita juga akan mudah sekali berbohong dengan kita sebagai orang tuanya, dengan gurunya, dan semua orang-orang di sekitarnya.
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam seringkali menggunakan metode bercerita tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dan kejadian-kajadian masa lalu ketika memberikan pelajaran kepada para sahabat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala sesungguhnya telah mengenalkan metode pembelajaran seperti ini kepada Rasulullah seperti dalam firman-Nya yang termaktub dalam al-Qur’an “Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman” (QS. Hud, 11: 120). Juga dalam surat dan ayat yang berbeda: “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui” (QS. Yusuf, 12: 3).
Dan jika kita lihat salah satu metode penyebaran Islam di Jawa oleh para Wali Songo, ada beberapa di antara mereka yang menggunakan wayang sebagai media penyampaiannya. Namun, mereka menggunakan cerita para Nabi dan para sahabat dengan mengganti nama-namanya menjadi tokoh dalam kisah pewayangan.
Fethulah Gulen dalam salah satu bukunya mengatakan, “Ternyata begitu pentingnya di samping kata-kata yang benar, diperlukan pula tindakan atau perilaku yang benar juga. Pertentangan apapun antara kata-kata dan perilaku kita akan menggoyahkan kepercayaan anak-anak kepada kita. Jika anak mendapati Anda telah berbohong atau melihat kontradiksi antara kata-kata dan perilaku kita, walau hanya sekali saja, maka itu cukup untuk membuat mereka menganggap Anda sebagai orang yang tidak dapat diandalkan. Seiring berjalannya waktu, kontradiksi atau kebohongan itu akan muncul dari alam bawah sadar ke permukaan setiap kali kita melakukan sesuatu yang tidak nyaman; lalu, anak itu akan memandang kita sebagai orang yang tidak jujur dan kata-kata kita tidak akan berpengaruh lagi pada diri mereka.”
Dalam hal ini Kita dapat melihat betapa pentingnya kejujuran dan prinsip untuk tidak pernah berbohong dalam pendidikan anak. Mari kita contoh Al-Qur’an jika kita mau bercerita atau mendongeng pada anak-anak kita. Alangkah indah Al-Qur’an memberi contoh dengan surat Al Qashash (menceritakan kisah-kisah Nabi Musa), Al-Kahfi (menceritakan tentang pemuda beriman dalam gua), surat Lukman (menceritakan cerita keluarga Lukman), surat Maryam (menceritakan kisah Maryam) dan lain sebagainya sebagai media mengajarkan moral dengan kisah-kisah para Nabi dan orang-orang saleh yang jauh dari kebohongan.
Penulis adalah pengajar agama Islam di Sekolah Semesta Boarding School, Semarang.
Referensi:
- Tambak, Syahraini, 2016, Metode Bercerita dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jurnal Al-Thariqah Vol. 1, No. 1, hlm 1
- Abadi, Mashur, 2013, Analisis Dekonstruksi Wacana Sastra; Cinta, Ideologi dan Relasi Kuasa dalam Dongeng Troya, OKARA, Vol. I, hlm 2
- Istiningdya Putri, Kus Puji, Dyah Woroharsi Parnaningroem, Struktur Naratif Vladimir Yakovlevich Propp dalam Dongeng die zertanzten schuhe karya brüder grimm, hal 2
- Hakim, Zainuddin, 2015, Morfologi Cerita Ratu Ular: Model analisis vladimir propp Volume 21, No. 3 hal 2
- Gulen, M. Fethullah, 2018, Dari benih ke Pohon Cedar: Panduan keluarga muslim memelihara kebutuhan spiritual pada anak, Republika penerbit, hal 78
- https://www.kompasiana.com/siswoyo/5500b3e5a333117f72511bd7/legenda-brebes-jaka-poleng
Ditulis oleh : Caswa S.Pd.I
Diterbitkan pada Majalah Mata Air Vol. 6 No. 23
Discussion about this post