Suatu ketika, saya berbincang dengan seseorang yang mengaku ateis. Dia adalah seorang wartawan berkebangsaan Spanyol yang bekerja sebagai produser film dokumenter di Paris. Pada awalnya percakapan kami hanya sekadar basa basi, percakapan tentang pekerjaan yang kami geluti, kesibukan kami, berikut kondisinya di negara masing-masing. Namun seiring dengan hidangan yang disajikan berganti-ganti, perbincangan itu lantas menjadi semakin menarik. Berawal dari sikap masyarakat Prancis terhadap orang-orang Islam pasca penyerangan Charlie Hebdo1, hingga akhirnya dia menyebutkan bahwa dirinya adalah seorang ateis.
“Jadi Anda adalah seorang ateis?” tanya saya.
“Ya, maaf, sungguh saya minta maaf.” jawabnya.
Saya mengatakan bahwa dia sungguh tidak harus meminta maaf. Tampaknya dia menganggap bahwa setiap orang yang religius akan mudah tersinggung. Saya mengatakan padanya bahwa saya biasa berbincang tentang ateisme tetapi kondisi itu tidak serta-merta menjadikan saya membenci orang yang menganut paham tersebut.
Setiap kali bertemu dengan orang yang tidak percaya pada Tuhan, saya selalu bertanya, “Apakah Anda merasa nyaman menerima ‘kenyataan’ bahwa tidak akan ada kehidupan setelah mati?”, “Apakah Anda merasa nyaman menerima ‘kenyataan’ bahwa kehidupan Anda, beserta orang-orang terkasih di dalamnya, akan berakhir dalam kehampaan, dan bahwa semua kehidupan di dunia ini adalah hal yang sia-sia?”…….
Discussion about this post