Selama lebih dari enam abad lamanya, sejak tahun 1300-1922 M (622 tahun), Kesultanan Utsmaniyah pernah memimpin dunia dengan populasi masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang agama berbeda. Selama eksistensinya itu, kesultanan ini menunjukkan toleransi dan kebebasan beragama luar biasa, jauh lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di masa itu. Kesultanan Utsmaniyah menerapkan nilai-nilai Islam dengan kemurnian tinggi selama masa kepemimpinannya. Pengecualian barangkali perlu dicatat di masa kemundurannya (abad ke-19), ketika toleransi beragama digunakan sebagai sarana untuk mengamankan otoritas negara dan loyalitas penduduk kepada negaranya. Untuk dapat memahami bagaimana keunggulan kesultanan ini dalam hal toleransi, maka kita perlu mempertimbangkan bagaimana mereka menjunjung tinggi prinsip dan nilai-nilai Islam ketika menjalin hubungan antara orang muslim dengan non-muslim sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan diteladankan oleh Nabi Muhammad ﷺ.
Multikulturalisme dan Toleransi dalam Islam
Islam memiliki akar kuat dalam hal penerimaan dan rasa hormat terhadap budaya lain, sebagaimana dapat disaksikan di banyak ayat Al-Qur’an dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Nabi Muhammad ﷺ, misalnya dalam peristiwa pembentukan Piagam Madinah dan Khotbah Wada. Piagam Madinah adalah sebuah pakta1 yang disusun Nabi Muhammad ﷺ untuk menghadirkan perdamaian di Madinah, yang di dalamnya Beliau berperan sebagai arbiter2. Peran ini tentu berbanding terbalik dengan kondisi Beliau saat di Makkah, ketika pesan-pesan dakwahnya telah membuat Beliau dianggap sebagai musuh oleh para pemimpin Makkah.
Di Madinah (yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib) terdapat dua suku yang kuat: Aus dan Khazraj. Keduanya merupakan suku yang berkuasa, penyembah berhala, serta selalu sibuk dengan peperangan dan sengketa.3 Selain itu, di Madinah juga terdapat sejumlah besar orang Yahudi, meskipun mereka tidak memiliki pengaruh dan kekuatan sebesar suku Aus dan Khazraj. Ketika Nabi Muhammad ﷺ tiba di Madinah atas undangan para pemimpin Madinah pada tahun 622 Masehi, Beliau ﷺ menyusun Piagam Madinah, sebuah pakta bagi semua kabilah utama di kota tersebut,[1] yang dimaksudkan untuk memastikan keamanan kolektif bagi suku Aus, Khazraj, dan Yahudi, sebagaimana bagi umat muslim yang baru tiba saat itu. Dokumen tersebut berfungsi sebagai pakta pertahanan kota demi kebaikan bersama penduduk Madinah. Oleh karena Nabi Muhammad ﷺ berhasil membawa semua kabilah yang menyepakati pakta ini dalam kesetaraan posisi satu sama lain, maka sejak itu Piagam Madinah dipuji sebagai tonggak sejarah dan role model bagi multikulturalisme.
Terdapat beberapa pesan penting tentang hidup bersama dan kerjasama dalam…
Discussion about this post