Busana Terindah 2
Bagian ini adalah lanjutan dari penjelasan sebelumnya tentang wudu yang merupakan wasilah bagi persiapan ibadah, baik dari sisi makna dan rohani, serta darinya terdapat manfaat yang maksimal. Kita telah membahas tentang makna wudu secara bahasa dan kedalamannya agar ia bisa memberikan hasil yang benar-benar diinginkan, yang ternyata juga sangat bergantung pada kedalaman pemikiran seseorang. Wudu diibaratkan sebuah kostum yang paling sesuai untuk menghadap ke hadirat-Nya. Sebentuk wudu yang diambil dengan memerhatikan adab dengan sepenuhnya laksana mengenakan adibusana tanpa kurang satu apapun, tak cacat, dan dikenakan penuh keanggunan tiada tara sebelum seorang hamba siap memasuki ruang penerimaan yang kita sebut sebagai ibadah salat.
Menuju Puncak “Tegangan Metafisika”
Seorang mukmin yang meyakini bahwa dosa-dosanya ikut luruh bersama tetesan air wudu akan terus melanjutkan “tegangan metafisika” yang didapatnya melalui wudu sembari mendengarkan seruan azan, hingga selepasnya masuk ke sisi terdalamnya dengan mendirikan salat sunah. Oleh karena salat sunah ialah “jabran li nuqshan” (usaha melengkapi kekurangan) yang berarti menghilangkan kekurangan saat menjalankan salat wajib dan melengkapi kekurangannya, dan dikarenakan Allah subhânahu wa ta’âla telah menjanjikan kedekatan yang lebih dalam bagi hamba yang mengerjakan ibadah sunah lewat hadis qudsi-Nya: “Tiada yang lebih Kucintai daripada seorang hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang telah Kuwajibkan. Apabila hamba-Ku senantiasa melaksanakan amalan sunah, niscaya akan Kucintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka (Aku) akan menjadi telinga yang dengannya dia mendengar, menjadi mata yang dengannya dia melihat, menjadi tangan yang dengannya dia menggenggam, menjadi kaki yang dengannya dia melangkah”1 maka dengannya seorang hamba akan merampungkan salat sunahnya sembari memikirkan poin-poin itu dan menyuarakan permohonannya pada sebuah kedekatan dengan cara yang amat mengagumkan. Dengan demikian, dia telah mengambil satu langkah lain yang amat penting agar dapat berkonsentrasi, telah menempuh jarak terakhir dalam perjalanan menuju peleburan dirinya dengan salat, dan telah berada dalam keadaan siap untuk mendirikan salat wajib.
Bagi seorang hamba yang amat berhati-hati dan penuh kewaspadaan ini, menunda salat bukanlah hal yang biasa dilakukan. Sebaliknya, menunggu datangnya waktu salat di setiap saat adalah prinsip hidupnya. Dia akan mengambil wudu bukan hanya sebelum masuk waktu salat, tetapi lebih awal sebelum azan berkumandang dengan perasaan: “Aku telah siap sedia, ya Allah! Ketika Engkau mempersilakanku menghadap kepada-Mu, maka akan Kaulihat pandanganku hanya mengarah kepada-Mu semata.”, berada dalam tegangan paripurna sembari menunggu perintah: “Silakan, sekarang kamu bisa menghadap ke hadirat-Ku”, dan kemudian berkata: “Sajadahku, di mana kamu!” setelah serangkaian persiapan dia lakukan dengan penuh semangat sukacita.
Lagipula, apabila seseorang tidak mampu mendapatkan “tegangan metafisika” itu setelah serangkaian persiapan yang dimulai sebelum wudu, lalu berlanjut hingga azan dan salat wajib serta sunahnya, maka itu berarti ada yang kurang dalam penegakan ibadah ini. Namun demikian, seorang muazin akan mengumandangkan ikamah sebelum salat fardu untuk memberikan peringatan terakhir kepada seseorang dari segala sesuatu yang dapat mengalihkan pandangannya dari ibadah dan menurunkan hentakan terakhir bagi segala sesuatu yang menarik pada “ma siwallah” (segala hal yang selain Allah). Dengannya, seorang hamba yang telah menyempurnakan konsentrasinya akan siap mengucapkan “Allahu Akbar” dengan pikiran terdalamnya, lalu menegakkan salatnya.
Peran Iradah dalam Meraih Konsentrasi
Aspek lain dari masalah ini adalah bahwa di masa ‘Ashr al-Sa’adah2, agama kita yang mulia dan perintah-perintah Islam turun kepada para Sahabat dalam keadaan masih segar bak hidangan samawi. Para Sahabat yang mulia berkenalan dengan bermacam-macam ibadah yang berbeda-beda setiap harinya. Misalnya, di suatu hari mereka belajar ibadah salat, sementara keesokan harinya mereka mendengarkan azan. Ketika kumandang azan masuk ke telinga mereka dan menumbuhkan semangat menggelora dan kegembiraan yang sangat-sangat berbeda dalam diri mereka, maka bisa dibayangkan jika mereka melakukan salat dengan kedamaian itu. Umat Islam di masa itu menganggap setiap masalah yang mereka dengar dan pelajari begitu orisinal, sangat istimewa, dan amat memikat jiwa. Mereka begitu tertarik dengan keindahan-keindahan yang memesona ini dan hampir-hampir tersihir olehnya. Setiap saat mereka menerima berita dari sebalik langit, setiap hari mereka berhadapan dengan kejutan baru, dan senantiasa hidup dalam semacam rangkaian kejutan yang tiada hentinya. Mereka terus-menerus mendengar surat atau ayat yang baru turun dan menyimaknya: dengannya mereka menyucikan diri, membersihkan diri, dan dengan demikian mereka menghiasi diri dengan perasaan luhur semacam ini. Dengan perlengkapan surgawi dan Ilahi seperti inilah mereka menghadap ke hadirat Allah. Oleh karena itu, mereka tidak memerlukan usaha dan upaya berlebih untuk dapat menggapai “tegangan metafisika”, meraih konsentrasi yang diperlukan, dan menjadi siap untuk beribadah. Meski tanpa disadari dan dikehendaki, mereka senantiasa berada dalam kondisi dipenuhi dengan pikiran-pikiran dan perasaan maknawinya dikarenakan terus-menerus menghirup napas “ma’iyyah” (kebersamaan). Saat berkata: “Ini saatnya kita menuju ke hadirat-Nya!”, mereka memusatkan segenap perasaan dan latifah yang ada pada dirinya untuk beribadah. Oleh karena inilah, wajah Sayidina Ali karramallahu wajhahu memucat, bahkan saat baru berniat mengambil wudu. Saat ditanya, “Wahai Imam, apa yang terjadi padamu?” beliau pun menjawab, “Apa lagi jika bukan karena sebentar lagi aku akan menghadap ke hadirat Tuhanku?”
Namun saat pembahasan ini mengarah pada kita, sayangnya dikarenakan kita yang jauh dari ‘Ashr al-Sa’adah di saat wahyu turun dari langit dengan teramat deras, maka di luar kendali, kita pun tidak mampu meraih konsentrasi dan perbekalan spiritualitas tersebut. Dengan demikian, kita pun harus melampaui jauhnya jarak antara kita dan abad itu dengan kesungguh-sungguhan, semangat, dan kekuatan kemauan yang kita miliki. Kita harus berusaha merasakan keaslian inti agama berkat upaya menghidupkan dan mengaplikasikan pemikiran kita dengan penuh kesadaran. Apabila kita ingin mendirikan salat dengan perasaan paling luas dan pikiran paling agung seperti halnya para Sahabat dan para salaf saleh sebelum kita, maka kita wajib bersungguh-sungguh mencurahkan segala iradah dalam hal ini. Ya, kita harus senantiasa berusaha menjadi penuh dengan perasaan dan pikiran bersih. Kita harus mengambil jalan menuju pikiran-pikiran yang jernih ini saat berniat menegakkan salat, dimulai dari sebelum mengambil air wudu. Sebagai contohnya, sebelum memulai salat, kita harus merangkai topik-topik pembicaraan seputar Sang Kekasih, Allah Yang Maha Esa. Kita harus membicarakan topik-topik yang berhubungan dengan-Nya pada tujuan untuk menguatkan hati dan jiwa. Kita harus memikirkan masalah-masalah yang diungkapkan oleh para waliyullah terdahulu tentang salat, sehingga dengan demikian, secara sadar kita telah mengunci perasaan dan pikiran hanya pada salat.
Dari sudut pandang ini, sepertinya untuk menjauhkan diri dari yang selain-Nya dan mempersiapkan diri untuk berkonsentrasi pada salat dengan baik tampak sangat sulit. Namun jangan sampai terlupa bahwa semakin banyak kesulitan yang ditemukan dalam suatu pekerjaan dan semakin sulit hal itu dilakukan, maka akan semakin banyak pula pahala yang ada di dalamnya. Oleh karenanya, ungkapan بِقَدْرِ الْكَدِّ تُكْتَسَبُ الْمَعَالِي (Sejauh upaya yang dicurahkan, maka sejauh itu pula hasil yang akan didapatkan) menjadi perumpamaan yang sangat tepat. Ya, semakin kita sibuk dengan pekerjaan yang sulit untuk dicapai, susah untuk digapai, dan terjalnya bukit yang didaki, maka akan semakin besar pula pahala yang kita dapati. Oleh karenanya, pahala wudu yang kita ambil dengan sempurna sembari bertahan pada segala kesulitan dengan kesadaran penuh di jalan untuk menjadi terlimpahi oleh perasaan-perasaan indah dan merasakan ibadah dengan paripurna juga adalah sebesar usaha yang dicurahkan.
Para Kesatria Rohani di Tepian Air Mancur
Faktanya, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kutunjukkan apa saja amal yang dapat menghapus kesalahan dan meninggikanmu beberapa derajat?”, Beliau menyebutkan beberapa hal berikut ini: “(Yaitu) menyempurnakan wudu dalam kondisi sulit, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu salat setelah mendirikan salat. Itulah kebaikan (yang banyak).” Setelah itu Rasulullah menambahkan hal berikut ini: “Maka inilah cara menghubungkan diri pada Allah di tingkatan yang sama dengan orang yang bertugas menjaga garis perbatasan (ribat)”.3 Dalam hadis ini, Rasulullah mengungkapkan wudu dengan kata “isbagh” yang artinya menjalankan semua syarat wudu secara menyeluruh tanpa kurang suatu apa pun, mengalirkan air secara sempurna ke mulut dan hidung, membasuh tangan dan kaki dengan baik. Kalimat lain yang digunakan dalam hadis di atas adalah “’ala al-makarih” yang bermakna bersegera menuju mata air dan berwudu dengan sepenuhnya tanpa peduli airnya dalam keadaan panas atau dingin dan meski berada dalam segala kesulitan.
Apa pun kondisinya, permasalahan tentang mengambil wudu dan hadis nabawi yang kusampaikan tadi selalu mengingatkanku pada orang-orang di sebuah daerah bermusim dingin di tepian air mancur yang sekelilingnya beku tertutupi es dan salju, yang mengambil wudu dengan airnya yang sangat dingin, yang mengalir dari keran yang membeku. Kondisi ukhrawi dari para pengelana salat itu terbayang jelas di depan mataku. Pergumulan dalam jiwa hamba-hamba penuh ikhlas yang terdengar dari bisikan tersembunyi yang ditujukan kepada-Nya, serta setiap sikap dan perilaku yang bersumber dari keyakinan bulat pada Sang Pencipta berbaur dengan gemericik air yang kemudian meninggi pada hadirat Allah itu masih membekas dalam ingatanku. Mereka menyingsingkan lengan bajunya, melipat ujung celananya, dan bersiap menuju tepian keran dengan gaya ukhrawi yang benar-benar berbeda. Saat itu cuaca sangatlah dingin hingga air yang menyentuh jari-jarinya hampir membeku bagai es bahkan sebelum sampai ke siku. Saat hawa dingin di luar berpadu dengan tajamnya air, mereka pun gemetar hingga ke seluruh sel-selnya, bahkan saat baru mencuci tangannya. Apalagi jika gemetarnya tubuh berpadu dengan bergetarnya jiwa, maka takkan kalian ragukan bahwa suaranya naik ke langit bagai hubungan dengan dunia lain di sebalik sana. Sembari merintih mereka berucap:
اللَّهُمَّ أَعْطِنِي كِتَابِي بِيَمِينِي وَحَاسِبْنِي حِسَابًا يَسِيرًا
“Ya Allah, berikanlah buku amalku dari sisi kananku dan timbanglah amal perbuatanku dengan timbangan yang mudah!” Hawa dingin membuat mereka sedikit berteriak, karena kesulitan yang diungkapkan dengan kata “’ala al-makarih” adalah kesulitan yang serupa ini. Namun ada alasan lain yang membuat mereka mengerang selain hawa dingin itu, yakni terpautnya mereka pada mihrab keabadian melalui setangkup perasaaan terdalam yang sebisa mungkin ada.
Ya, seorang mukmin sadar bahwa sebagaimana mereka diuji dengan segala hal, mereka juga akan diuji dengan makarih semacam ini. Keyakinan mereka bahwa kekosongan-kekosongan pada buku catatan penghambaannya dapat ditutupi dengan usaha konsentrasi dan upaya mengarah kepada-Nya secara sepenuhnya sangatlah paripurna. Dengan keyakinan dan iman seperti inilah mereka menghargai wudu dengan nilai yang teramat berbeda dan memperlakukannya seperti sebuah benih yang menghasilkan 7 atau 70 bulir. Mereka menuliskan wudu pada buku catatan amalnya, tetapi mereka membawa harapan bahwa akan diberi pahala berkali-kali lipat, sebagaimana terkadang dari sebuah biji yang dilemparkan ke perut Bumi akan dapat menghasilkan 700 bulir. Mengapa tidak, “Dzalika fadhlullahi yu’thihi man yasya’” (Itu adalah rahmat dari Allah. Dia menganugerahkannya kepada siapa pun yang Dia kehendaki.)4
Kunci Pintu-pintu Surga
Pada kenyataannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kalian berwudu dan menyempurnakan wudunya, lalu mengucapkan ‘Asyhadu an la Ilaha illallah wahdahu la syarika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu’ kecuali Allah akan membukakan baginya 8 pintu langit (surga) yang bisa dimasukinya dari pintu mana saja.”5 Secara praktik mungkin tak semua orang yang berwudu dapat menerima pahala sebegitu besar dikarenakan wawasan setiap mukmin terhadap pemahaman mendalam atas jalan menuju salat dan perasaanya terhadap wudu dengan keluasannya sendiri juga tidak mungkin sama. Namun, hampir semua orang memiliki potensi menerima pahala seperti itu berkat wudunya. Dan adalah pasti bahwa orang-orang yang baginya semua gerbang surga akan dibuka dipilih dari orang-orang beruntung yang menjalankan kewajiban berwudu dengan sebenar-benarnya.
Oleh karena hal-hal yang kita coba sampaikan sedari awal, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengambil wudu yang baru untuk setiap salatnya. Bahkan hingga Fathu Makkah Beliau tidak mendirikan dua salat dengan satu wudu. Para Sahabat juga meyakini bahwa cara agar kelak pada Hari Kiamat dapat memiliki wajah putih cerah, berpenampilan cemerlang, memiliki tangan-muka yang bersih dengan hati nurani setenang alam batin para penghuni surga adalah melalui salat dan amal-amal perbuatan sebelum salat. Mereka senantiasa hidup sesuai dengan keyakinan ini. Sebagai contoh, Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu membiasakan diri membasuh tangan hampir sampai ke bahu dan kakinya hingga ke lutut saat berwudu. Saat ditanya apa alasannya, beliau menjawab, “Aku pernah mendengar Rasulullah berkata: ‘Ketika umatku dipanggil pada Hari Kiamat, mereka datang dalam keadaan bersinar karena jejak wudu di bagian-bagian tubuhnya. Maka barangsiapa di antara kalian dapat memperpanjang kilauan cahayanya, hendaklah ia mengerjakannya”. Menurut riwayat lain, Nabi menyampaikan bahwa: “Perhiasan seorang Mukmin akan sampai pada bagian yang terkena air wudu.”6
Cahaya di Dahi Saudara-saudara Nabi
Masalah tentang akan dikenalinya kita oleh Rasulullah dengan tanda-tanda pada anggota tubuh bekas sujud dan wudu dijelaskan dalam hadis lain berisi kabar baik berikut ini: “Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi mengunjungi pemakaman Baki yang bisa disebut sebagai lorong surga dan menziarahi orang-orang suci yang dimakamkan di sana. Beliau berucap, ‘Salam sejahtera bagi kalian, wahai orang-orang mukmin penghuni kubur! insyaAllah suatu hari nanti kami akan menjadi bagian dari kalian.’ Kemudian Beliau berkata, ‘Aku sangat ingin berjumpa dengan saudara-saudaraku.’ Mendengar hal itu, para Sahabat lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah kami saudara-saudaramu?’. Mendengar ini, Rasulullah pun menjawab: ‘Kalian adalah Sahabat-Sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum datang.’ Mendengar jawaban ini, para Sahabat kembali bertanya, ‘Bagaimana engkau mengenali orang dari umatmu yang belum datang, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Bagaimana pendapatmu jika seseorang memiliki sekumpulan kuda berwarna hitam yang di dalamnya terdapat seekor kuda yang memiliki ghurrah (warna putih cerah di dahinya) dan muhajjal (berkaki putih). Tidakkah dia dapat mengenalinya?” Para Sahabat lalu menjawab, ‘Ya’. Lalu Beliau bersabda, ‘Sungguh, umatku pada hari itu mempunyai wajah yang putih karena sujud, serta anggota wudu yang putih karena wudu. Aku akan sampai terlebih dahulu di tepian telaga dan akan menggamit mereka yang kukenali itu serta mengajaknya berada di sampingku”.7
Maka dengan demikian, betapa wudu ternyata menjanjikan pahala yang amat besar, yang tidak hanya saat di dunia ini tetapi juga saat di akhirat kelak. Akan tetapi, terdapat sebuah lereng terjal yang harus dilampaui agar bisa mencapai apa yang telah dijanjikan itu. Dapat dilampaui atau tidaknya lereng itu sangat bergantung pada iradah manusia. Artinya, dalam hal ini tugas seorang hamba adalah menunjukkan upaya dan kesungguhan iradah untuk meraih kondisi konsentrasi yang penuh saat beribadah. Meski pada awalnya terasa sulit dan rumit, walau bersamanya ada makarih (kesusahan/keterpaksaan), dan kendati terkadang kondisinya menjadi sangat tidak menguntungkan, akan tetapi berkat ketabahan dan kesabaran yang kita tunjukkan, pada akhirnya seiring berjalannya waktu kita akan merasakan kelezatan tiada tara dari wudu sehingga kita akan mulai menganggapnya sebagai cahaya bagi mata dan takkan mau menggantinya dengan apapun jua. Seraya berucap “Bismillah” dan berangkat dengan penuh kesabaran menapaki tebing curam itu, maka kita akan berhadapan dengan rasa dari wudu yang begitu memukau, kelezatannya yang tiada tara, dan keelokannya yang tiada terkira hingga kita akan berharap agar jalinan antara wudu dan salat yang telah tersentuh begitu indah ini takkan pernah usai. Secara pribadi, saya tidak dapat mengatakan bahwa saya telah mencapai kekhusyukan dalam wudu dan salat, yang mungkin dikarenakan kesalahan dan kekuranganku sendiri. Saya juga tidak melihat adanya kelayakan pada diriku atas kondisi rohani semacam ini. Namun mungkin Allah menganugerahinya agar “biarkan aku merasakannya agar juga bisa memotivasi yang lainnya”. Saya bisa bersumpah, terkadang saat meletakkan kepala ke tempat sujud, saya berkata: “Andai saja sujud ini tak pernah berhenti dan sekiranya takkan kuangkat dahiku dari tempat sujud ini!”. Di detik-detik kuhamparkan wajahku di tempat sujud menghadap ke hadirat Sang Ilahi Rabbi, saya berpikir akan dapat bertahan dalam keadaan itu dalam waktu 60 tahun. Dengan sepenuh jiwa dan raga kuinginkan agar saat-saat itu tidak pernah usai.
Ya, wudu adalah sebuah wasilah berharga yang membantu seorang hamba mempersiapkan diri secara rohani dan maknawi untuk ibadah-ibadah lain dan untuk meraih nilai efisiensi yang maksimal dari ibadah-ibadah tersebut. Saat seseorang yang bersiap untuk wudu telah berniat untuk melakukannya bahkan sejak tahap persiapannya, maka dia akan mendapatkan pahala, baik untuk wudunya maupun untuk semua tindakan yang dia lakukan dalam mempersiapkannya. Hal ini dikarenanakan masing-masing darinya adalah semacam ibadah yang menjadi wasilah bagi terlaksananya ibadah tersebut. Di sisi lain, wudu juga memiliki banyak manfaat sekunder yang berguna bagi proteksi diri yang tak bisa dipungkiri seperti menyeimbangkan energi gerak/kinetik dalam tubuh dan memberi kita kesempatan untuk mengatasi stres. Namun karena pembahasan tentang hal ini sangatlah luas, maka akan lebih tepat jika kita membahasnya di kesempatan yang lainnya.
Referensi :
- Bukhari, jilid 8, no. 6502.
- ‘Ashr al-Sa’adah secara bahasa bermakna “masa kebahagiaan”, yakni sebuah istilah yang digunakan untuk mengacu pada zaman saat Rasulullah hidup.
- Muslim, Thaharah, jilid 1, no. 251.
- Al-Hadid, 57/21.
- Muslim, Thaharah, jilid 1, no. 234.
- Muslim, Thaharah, jilid 1, no. 250.
- Muslim, Thaharah, jilid 1, no. 249.
Discussion about this post