Dalam berbagai topik bahasan, tafakur selalu diartikan sebagai: Menggerakkan pikiran secara luas, dalam, dan sistematis. Bagi orang-orang yang biasa melakukannya, tafakur adalah pemicu kalbu, santapan ruh, inti makrifat, serta sekaligus menjadi darah, nyawa, dan cahaya bagi kehidupan Islami. Ketika tafakur hilang, hati pasti akan menjadi gelap, ruh akan gelisah, dan kehidupan yang Islami akan berubah menjadi tak bernyawa.
Tafakur adalah cahaya di dalam hati. Dan sebagaimana cahaya lainnya, dengan tafakur itulah pula seseorang dapat membedakan antara yang baik dengan yang jahat, antara yang bermanfaat dengan yang berbahaya, dan antara yang bagus dengan yang jelek. Dengan tafakur pula segenap semesta dapat berubah menjadi buku yang bisa dibaca, sebagaimana dengannya setiap ayat suci pada Al-Qur’an dapat digali kedalaman kandungannya.
Tafakur adalah lentera yang menerangi semua kejadian, yang membuat manusia dapat mengambil pelajaran dan kesimpulan dalam bentuk hasil yang beragam. Tafakur adalah laksana kunci emas menuju pengalaman, ruang persemaian bagi pohon-pohon hakikat, dan ibarat pupil bagi cahaya kalbu.
Demi semua inilah kemudian Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallâm yang telah mencapai puncak segala keindahan dan menguasai puncak tafakur bersabda, “Tidak ada amal ibadah sebaik tafakur. Bertafakurlah kalian tentang nikmat-nikmat dan tanda-tanda kebesaran Allah dan karya kekuasan-Nya janganlah kalian bertafakur tentang Dzat (Esensi)-Nya, karena sesungguhnya kalian tidak akan pernah mampu melakukannya.”
Lewat sabda ini, Rasulullah ingin menjelaskan batasan wilayah tafakur yang dapat kita lakukan. Dengan demikian Beliau juga mengingatkan kekuatan, potensi, dan kemampuan yang kita miliki dalam masalah ini.
Sungguh indah apa yang dinyatakan oleh penulis al-Minhâj yang mengingatkan kita dalam syair berikut,
Tafakur terhadap nikmat adalah syarat jalan ini.
Akan tetapi tafakur terhadap Dzat-Nya subhânahu wa ta’ala adalah dosa yang nyata.
Ya, sesungguhnya tafakur terhadap Zat-Nya subhânahu wa ta’âla adalah kebatilan yang nyata.
Jadi, ketahuilah bahwa itu mustahil dilakukan dan tidak akan berhasil.
Pada hakikatnya, bukankah Al-Qur’an telah menasihati kita dengan ayat-ayatnya yang agung seperti, “Dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi,” (QS Ali Imran [3]: 191) ke arah jalan terbaik dalam bertafakur! Yaitu dengan menunjukkan kitab alam semesta di hadapan mata kita, serta menunjukkan bagaimana ‘kitab’ itu ditulis, keunikan huruf-hurufnya, keistimewaan kata-katanya, sistematika kalimat-kalimatnya, kekokohanya dan keharmonisannya secara keseluruhan.
Ya, sesungguhnya ber-tawajuh (memperhatikan) Kitab al-Haqq Allah dalam setiap tafakur, tashawur (berimajinasi), dalam setiap situasi dan kondisi, serta upaya untuk merenungi dan memersepsinya; yang kemudian diiringi dengan pengaturan kehidupan sesuai dengan pemahaman kita yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-sehari, pasti akan membuat seluruh hidup kita memiliki cita-rasa ruhaniah (madzâq rûhâniy) yang kental.
Semua itu dapat terjadi karena penyingkapan rahasia-rahasia Ilahi (kasyf al-asrâr al-ilâhiy) yang terkandung di dalam ‘kitab’ alam semesta dan pengungkapannya, akan membuat manusia di setiap saat selalu memiliki kedalaman iman baru –melebihi imannya yang sudah ada– serta memberi warna spiritualitas baru yang menyerap seluruh rasa (dzauq) ruhaniahnya. Inilah penyingkapan baru yang merupakan hasil yang darinya akan muncul cahaya yang membentang dari keimanan menuju makrifat; lalu dari makrifat kepada mahabbah; lalu dari mahabbah menuju kenikmatan ruhaniah; kemudian ia terus melesat menuju alam akhirat, menuju keridaan Allah sebagai tujuan puncak dari segala tujuan. Inilah jalan terang yang akan menghantarkan seorang salik menjadi sosok Insan Kamil.
Tafakur selalu terbuka bagi semua ilmu, karena tafakur merupakan lapangan penelitian dan eksplorasi ilmu. Hanya saja, berbagai ilmu-ilmu rasional dan eksperimental tidak lain hanya merupakan pintu masuk menuju berbagai kesimpulan penting serta sekaligus menjadi media dan jalan ke arahnya. Semua ini dengan kandungan dan wajah yang hakikinya mengarah pada ilmu Ilahi yang Esa. Tapi hal ini baru terwujud jika pemikiran manusia tidak terkontaminasi atau disesatkan oleh pendekatan-pendekatan yang salah.
Ya, tafakur dan telaah terhadap entitas seperti layaknya membaca sebuah buku, pasti akan membuahkan hasil yang diharapkan. Sebuah kondisi yang penuh berkah pasti akan tercipta, dengan iman kepada Allah, bahwa Dia adalah sang Maha Pencipta segala sesuatu dengan berbagai kelengkapannya. Inilah yang menjadi semboyan utama bagi para pejuang kehidupan kalbu dan spiritual yang mengetahui dengan yakin bahwa segala sesuatu selalu bersandar kepada Allah semata dengan segala situasi dan kondisinya, sehingga mereka pun dapat mencapai ketenangan dengan makrifat kepada Allah (ma’rifatullâh), cinta kepada Allah (mahabbatullâh), dan berzikir kepada Allah (zikrullâh).
Tafakur harus diawali dan didasarkan pada keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Jika tidak, meskipun pada akhirnya mungkin mencapai Tuhan dalam tahapan ‘perjalanannya’, namun tidak akan bisa melangkah lebih jauh ketimbang keyakinan akan eksistensi dan keesaan Allah. Ini berbeda dengan tafakur yang sejak awal sudah dilakukan berdasarkan landasan pemahaman bahwa semua makhluk, urusan, dan segala hal akan selalu bersandar pada Allah ta’ala. Tafakur seperti ini akan terus bergerak secara berkesinambungan menuju kawasan tanpa ujung disebabkan munculnya dimensi-dimensi baru yang tidak ada putusnya.
Artinya, tafakur semacam ini, yang dimulai dari Allah subhânahu wa ta’âla dengan dua asma-Nya al-Awwal (yang Maha awal) dan az-Zhâhir (yang Maha tampak); yang juga tertuju kepada Allah dengan dua asma-Nya yang lain, yaitu al-Âkhir (yang Mahaakhir) dan al-Bâthin (yang Maha Tidak Tampak), tidak akan pernah ada akhirnya, dan tidak akan pernah berakhir. Dari sini, maka anjuran ke arah bentuk tafakur semacam ini, yaitu tafakur yang telah jelas tujuannya sejak awal, di dalamnya terkandung tuntunan ke arah penggunaan pedoman ilmu-ilmu alam dan sekaligus seruan untuk mempelajari dasar-dasarnya yang berupaya menentukan bentuk entitas dan menelisik realitas.
Ya, ketika langit dan bumi dengan segenap elemen dan struktur pembentuknya adalah milik Allah Subhânahu wa ta’âla, maka aktivitas telaah terhadap kejadian, urusan, dan aturan apapun yang ada di dalam ‘kitab’ alam semesta, pasti akan selalu menjadi aktivitas untuk membaca hukum-hukum Allah sang Maha Pencipta yang Maha agung serta apa yang Dia lakukan dalam syariat-Nya.
Tentu saja, jalan seseorang yang membaca ‘kitab alam semesta’ ini dengan sungguh-sungguh, serta membentuk hidupnya sesuai dengan apa yang dia baca, pasti akan selalu menjadi jalan hidayah dan takwa. Pahala bagi orang semacam itu adalah surga dengan sungai al-Kautsar sebagai sumber air minumnya.
Semua itu dapat terjadi karena dia, tidak sama dengan mereka yang binasa dan merugi, yaitu mereka yang bergentayangan di dalam lembah kekufuran mengikuti petunjuk Iblis yang selalu lalai dari Allah, disebabkan berbagai macam kenikmatan, kesenangan, dan keindahan duniawi.
Ada orang-orang yang mengetahui sang Pemberi nikmat yang sejati dan sang Penguasa atas segala sesuatu, serta beriman kepada-Nya dan tunduk kepadaNya dengan penuh kesadaran iman. Mereka selalu mengembara di wilayah antara syukur dan nikmat, nikmat dan syukur; di bawah bimbingan malaikat dan tuntunan para nabi dan kaum shiddiqun. Orang-orang ini menghabiskan umur mereka layaknya seekor merpati yang melanglang buana mengarungi puncak-puncak pemikiran, dan terbang tinggi di atas lembah-lembah kesendirian, di mana di dalamnya orang-orang lalai berjatuhan dan binasa…
Dengan tafakur semacam ini, ia akan mendapatkan anugerah luar biasa dari hadirat Tuhannya yang mulia. Ketika muncul penghalang baginya dalam ranah pemikiran, maka ia akan mampu menaklukkan penghalang itu dengan zikirnya, sehingga ia akan mampu terus bergerak dari tadabbur (perenungan) menuju taslîm (penyerahan diri), dan dari tamkîn (keteguhan) menuju tafwîdh (penyerahan diri pada Allah). Sehingga ia akan sampai di tujuan dengan cara terbang di ketinggian langit, sementara semua orang selain dia berpayah-payah berjalan di permukaan bumi.
Wahai Allah, jadikanlah kami orang-orang yang selalu berzikir pada-Mu dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, serta bertafakur pada penciptaan langit dan bumi.
Limpahkanlah salawat dan salam kepada pemimpin orang-orang yang tafakur, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallâm, dan kepada segenap keluarga serta para sahabat Beliau yang ikhlas.
Referensi:
- Al-Mu’jam al-Ausath, ath-Thabrani 6/250; Syi’b al-Îmân, al-Baihaqi 1/136; Majma’ az-Zawâ`id, al-Haitsami 1/81; Hilyah al-Auliyâ`, Abu Nu’aim 6/66; Kasyf al-Khafâ`, al-Ajaluni 1/370-371.
- Lihat juga surah ar-Ra’d: 3; an-Nahl: 1-65, 18-72; ar-Rûm: 19-27; al-Jâtsiyah: 12-13; dan ayat-ayat lain semacam itu.
- Penulis di sini menggambarkan sosok hamba yang senang bersyukur dalam bentuk simbol burung merpati. Maksudnya adalah bahwa orang yang senang bersyukur maka dirinya akan senantiasa mengepakkan sayapnya dan terbang mengelilingi cakrawala tafakur.
Penulis : M. Fethullah Gülen
Discussion about this post