Sepasang kaki mungil, di dalam sepasang sepatu yang sudah sangat usang, berjalan di atas lumpur yang menggenangi jalan. Di antara suara becek lumpur yang terdengar di setiap langkah kaki gadis perempuan kecil berusia 9 tahun itu, terselip pula gumamannya: “Apakah belum saatnya tiba aku bisa memiliki sepatu baru ya? Tuhan…tolong kirimkan padaku sepasang sepatu baru!” lirihnya dalam hati.
Langkahnya terhenti di depan sebuah genangan air yang cukup lebar. Pandangannya tertumpu pada bayangannya sendiri yang terpantul pada genangan air tersebut: “Bagaimana menurutmu, mungkin tidak?” tanyanya pada bayangan itu. “Tidak mungkin… sama sekali tidak mungkin!” jawab bayangannya. “Setiap tahun saat saudara-saudara dan sepupumu memberikan sepatu bekas mereka, kau tidak pernah kebagian kan?”
“Hmmm … apa yang harus kulakukan. Tidak.. aku tidak boleh putus harapan pada Allah.” Gumam gadis kecil itu sambil melangkahkan kaki di atas bayangannya tadi.
Segera diarahkannya langkahnya ke sebuah sekolah yang terletak di sudut jalan. Sengang, tidak terlihat siapapun. Lagi-lagi dia terlambat. Suara para guru terdengar ke luar dari sela-sela jendela kelas yang pecah. Ia masuk ke dalam kelasnya. Sang guru memandang dengan tatapan dalam sambil memberikan isyarat dengan tangannya memperbolehkannya untuk duduk di bangkunya, gadis itu merasakan pipinya bersemu merah karena malu. Dalam hati ia bertanyatanya bagaimana mungkin pipinya bisa terasa panas membara sementara kedua kaki mungilnya menggigil kedinginan.
Saat duduk di bangkunya, ia melayangkan pandangan melihat ke sekeliling kelasnya. Yang terlihat hanyalah beberapa anak yang jumlahnya sama dengan jari-jari kakinya yang masih gemetaran karena dingin, sebuah pintu kelas yang sudah tidak bisa lagi tertutup dengan sempurna; persis seperti sepasang sepatunya, jendela-jendela yang menganga lebar sehingga segala sesuatu bisa masuk leluasa ke dalam kelas itu. Saat itu sesuatu yang lucu terlintas di kepalanya, membuat kesedihannya sedikit terobati. Betapa malang, dalam hidupnya hal yang lucu sekalipun sangatlah jarang terjadi . Hingga pelajaran hari itu berakhir, satu-satunya hal penting yang dimilikinya agar bisa menjalani hidupnya adalah kesabaran.
Gadis kecil itu pulang ke rumahnya melewati jalan yang sama dengan yang dilewatinya pagi itu, di kepalanya penuh dengan pikiran tentang beban keluarganya. Ia merasa tidak berguna, padahal mungkin di belahan bumi yang lain masalah yang dialaminya ini bukan lagi hal yang berarti bagi seorang anak seusianya, beban berat yang ada di hatinya semakin bertambah…
Malam itu, ibunya mendengar gadis kecilnya terbatuk-batuk dengan hebat di samping tungku perapian. Pandangannya tertumpu pada sepasang sepatu usang milik putrinya yang sedang dikeringkan di dekat perapian itu. Dipandanginya terus sepasang sepatu yang sudah benar-benar kumal dan rusak itu, berkali-kalipun diperbaiki sudah tak layak lagi, sepatu itu benar-benar telah amat sangat butut. Sekarang giliran sang ibu yang memikirkan hal itu.
“Ibu…biarkan aku saja yang membelikan sepatu untuknya!” Perkataan kakak perempuannya itu meniupkan kehangatan bagi hatinya. Kakak perempuannya ingin membelikannya sepatu dari uang saku yang dikumpulkannya untuk membeli barang-barang persiapan bagi pernikahannya. Ibunya dengan berat hati terpaksa mengabulkan keinginan kakaknya itu, walaupun di sisi lain ia sempat terpikir akan perkataan sang nenek bahwa usia anak gadis itu sudah sangat cukup untuk segera menikah.
Mendengar persetujuan ibunya hati si gadis kecil melonjak kegirangan. “Benar ya Bu? Sepatu baru? Besok kan?”
Keesokkan harinya, sebagaimana sesuatu yang sangat ditunggu biasanya akan terasa sangat lama, pagi itu matahari terasa terbit begitu lama. Gadis kecil itu gugup dan salah tingkah.
“Ayo kita berangkat!” ucap kakaknya. Dua kakak beradik itu berjalan bersama, kakak perempuannya memegang erat uang yang ada di genggamannya, sementara si gadis kecil, adiknya, berusaha menenangkan hatinya yang terus berdebar-debar, ia khawatir hatinya akan meloncat keluar karena terlalu gembira.
Toko sepatu itu membuat si gadis kecil sedikit takut. Dari dalam toko itu ada udara dingin yang berhembus. Wajah pemarah wanita penjual sepatu membuat semuanya jadi buruk. Lebih parah lagi, di rak-rak sepatu besi itu yang tersisa hanya sepasang sepatu bot besar seukuran ayahnya dan sepasang sandal hitam, selain itu tidak ada lagi sepatu lain yang tersisa. Seketika hati mungilnya seakan-akan terjatuh ke lubang yang teramat dalam.
Wanita penjual dan kakak perempuannya saling menyapa. Wanita itu berbicara dengan sangat lambat seolah-olah mulutnya sudah lama tak dipakai berbicara. Untunglah pada akhirnya mereka mengakhiri percakapan basa-basi itu. “Aku ingin membeli sepasang sepatu untuk adik perempuanku”, kakaknya menyebutkan permintaanya dengan sangat perlahan dan kikuk, orang yang tidak tau akan mengira ia sedang membeli gorengan di pinggir jalan.
Wanita penjual itu tidak hanya melihat ukuran kaki gadis kecil itu tapi ia memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan menyelidik.
“Sepertinya aku tidak punya apapun untuknya.” katanya. Sambil acuh tak acuh ia kembali melanjutkan: Tapi coba kulihat dulu.” Ia pergi ke bagian belakang toko yang gelap. Gadis kecil itu berharap wanita itu jangan kembali lagi jika ia hanya akan kembali dengan tangan kosong. Ia bisa menunggu sepanjang hidupnya tetapi ia tidak akan tahan menghadapi kenyataan jika wanita itu datang tanpa membawa apapun.
Wanita penjual itu datang sambil membawa sebuah kotak. “Berapa nomor sepatunya?” Kakak perempuannya menyebutkan sebuah nomor. Mendengar jawaban kakaknya: “Nomor berapa saja yang bisa cukup untuk semua orang…” sela gadis kecil itu. “Ini ada nomor yang sedikit kecil, tapi cuma ukuran ini yang bisa kutemukan, yang paling dekat dengan ukurannya.” Jelas sekali si wanita penjual itu hanya memperhatikan ucapan kakaknya.
Gadis kecil itu mengambil pasangan sepatu yang sebelah kanan terlebih dahulu. Saat tercium aroma kulit sepatu baru itu, hatinya kembali berdegup kencang. Susah payah ia mencoba memasukkan kakinya ke sepatu itu. “Sedikit sakit tapi jangan sampai ketahuan,” batinnya. Tiba-tiba ia merasa seperti kakak tiri cinderella yang rela memotong jarinya agar muat memakai sepatu yang dibawa pangeran. Kakak perempuannya yang tidak gampang dikelabui membungkukkan badannya. Saat dipegangnya sepatu itu ia merasakan jari-jari kaki adiknya yang berhimpitan di dalam sepatu itu. “Tidak, tidak, ini terlalu kecil. Kau tidak mungkin berjalan dengan sepatu ini.” Gadis itu mundur ke belakang sebagai tanda penolakannya. Bola mata kecilnya menatap nakal, “Biar aku potong sedikit ujung kakiku agar bisa membeli sepatu ini !” teriaknya.
Wanita pemilik toko sepatu yang merasakan adanya suasana tak nyaman itu segera menengahi keduanya. “Kenapa kalian tidak datang hari Senin saja?” katanya. “Pada hari itu akan datang barang-barang baru.” Gadis kecil itu memandang wajah wanita penjual dengan penuh curiga, mencari tau apakah ia tengah mengirimkan isyarat tersembunyi pada kakak perempuannya. Namun yang didapatinya hanya mimik serius pada wajah wanita itu, satu kedipan matapun tidak didapatinya di sana. Tidak ada pilihan lain, gadis kecil itu keluar meninggalkan toko tersebut dengan langkah gontai.
Dua kakak beradik itu kembali berjalan dalam keheningan seperti saat mereka berangkat tadi. Si kakak memegang erat-erat uang yang ada di genggamannya sementara si adik tanpa sadar mengepalkan tinju pada kepalan tangan mungilnya. Hati kecilnya seakan membeku, namun jauh di sudut relung hatinya masih tetap ada secercah harapan.
“Sebenarnya siapa yang bisa kukelabui?” gadis kecil itu berfikir keras. “Siapa yang bilang kalaupun aku bisa membeli sepasang sepatu baru, itupun berarti aku masih harus mencari nomer yang pas untuk kakiku.” “Apalagi bagaimana aku yakin kalau dalam waktu yang panjang selama dua hari ini kakak tidak akan berubah pikiran dan membelanjakan uang yang disimpannya di bawah dipan tempat tidurnya. Wah, jangan-jangan… sebelum hari senin tiba, bisa saja seorang kerabat dari jauh datang untuk memberikan sepasang sepatu usang, dan bau miliknya. Semua pikiran ini seperti mimpi buruk bagiku” gumam si gadis kecil.
Akhirnya mereka sampai di rumah sempit mereka. Si gadis kecil langsung masuk ke kamarnya dan duduk di atas tempat tidur. Sayup-sayup didengarnya suara sang kakak yang tengah menjelaskan mengapa mereka pulang dengan tangan kosong pada ibu dan neneknya dengan suara sedih. Ia mendengar pintu kamarnya terbuka, namun karena yakin bahwa sang neneklah yang akan masuk, ia sama sekali tidak membalikkan badannya.
Sang nenek duduk di sebelahnya dengan raut wajah sedih. Dengan nada bijak Beliau mulai bercerita: “Suatu hari, di suatu negri yang jauh, tinggallah seorang anak muda di sana. Sambil berjalan di sebuah desa kecilnya ia melihat sepasang sepatunya yang sudah sangat usang, wajah sedihnya terus berfikir mengapa ia tak bisa membeli sepasang sepatu baru. Tepat saat itu, ia melihat seorang pengemis miskin yang sedang beristirahat di bawah pohon cemara. Jika lebih cermat diamati pemuda tersebut tersadar bahwa si pengemis tersebut tak memiliki kaki. Pemuda itu merasa sangat sedih dan malu pada dirinya sendiri. “Betapa memalukan diriku ini! Laki-laki itu bahkan tidak punya kaki sama sekali, sementara aku merasa sedih hanya karena tidak dapat membeli sepatu baru.” Sambil menyesali sikapnya tadi pemuda tersebut kemudian bergumam lagi: “Ya Tuhanku… aku bersyukur atas anugerah kakiku yang sehat ini.”
Sambil membelai kepala cucunya, sang nenek berkata: “Nah sekarang kau sudah paham kan anak manis, jangan putus asa ya! Insyallah sesuatu yang belum bisa kau dapatkan sekarang akan bisa kau dapatkan suatu hari nanti. Tapi hingga saat itu datang, jangan kau lupakan untuk bersyukur atas apa yang sudah kau miliki sekarang! Bersikap kanaah dan berbesar hati adalah harta yang paling berharga.” Nasihat beliau sambil tersenyum lembut.
Gadis kecil itu segera paham apa pesan yang ingin disampaikan neneknya melalui dongeng tadi namun ia tak bisa tahan untuk tidak berkomentar: “Tapi Nek, aku ingin bersyukur untuk keduanya, untuk sepatu baru itu, juga untuk kaki-kakiku.” Sang nenek tersenyum geli dan seakan-akan menyimpan sebuah rahasia besar beliau membisikkan sesuatu ke telinga cucunya tersebut: “Kalau kita bersyukur, Allah akan menambah nikmat yang diberikan-Nya pada kita. Kalau kau bersyukur atas kaki-kakimu maka bisa jadi Ia akan menganugerahkan juga sepasang sepatu baru bagimu. Ingat baik-baik ya, kanaah dan berbesar hati adalah harta yang paling berharga.” Setelah beliau mencium kening cucu tersayangnya tersebut, seperti kedatangannya sebelumnya, perlahan-lahan tanpa banyak bersuara beliau beranjak meninggalkan kamar itu. Walaupun di kepalanya berkelibat berbagai pikiran, gadis kecil itu mencoba menalar apa yang di dengarnya. “Hmmm, menurutku apa yang dikatakan nenek nasihat yang bagus, apa saja ya yang harus kusyukuri?” serunya pada dirinya sendiri. “wah… yang pertama-tama aku punya seorang nenek yang hebat.” Pikirnya, serta-merta tersungging seulas senyum manis di wajahnya.
Hari senin siang, kembali mereka pergi ke toko sepatu itu. Si wanita pemilik toko tersenyum pada mereka, lalu segera berlalu ke bagian belakang toko. “Untunglah kali ini aku tidak harus lagi mendengarkan berbagai obrolan kosong seperti sebelumnya”, pikir gadis kecil itu, ia merasa sedikit lega.
Wanita penjual sepatu itu kembali datang dengan memegang sebuah kotak di tangannya, wajahnya menunjukkan gaya bak seorang penyelamat. Ia membuka kotak sepatu itu dan mengulurkan sepatu sebelah kanan kepada si gadis kecil. Sepatu itu begitu pas di kakinya. Nah, inilah yang dicarinya. Cinderella pun akan terkagum-kagum dengan hal ini, atau mungkin malah cemburu dengannya. Saudara tiri atau bukan, kali ini sepatu itu pas dengan sepasang kaki mungilnya. Hati kecilnya seakan akan melompat keluar karena rasa bahagia yang meletup-letup, hingga kakaknya memecah suasana bahagia itu. “Sekarang apa lagi?”
“Warnanya…” kata kakak gadis itu. “Merah bukan warna yang pas untuknya, karena kami hanya punya semir berwarna hitam atau coklat tua. Sebentar lagi sepatu ini akan segera kotor kena lumpur, lalu dengan apa kita akan menyemirnya jika warnanya merah?” “Hanya ini yang bisa kulakukan”, jawab pemilik toko sepatu itu dengan nada putus asa. Sepasang mata gadis kecil itu memandang ke arah kakaknya dengan tatapan memelas. Setelah yakin bahwa wanita pemilik toko itu tidak bisa menolong lebih dari itu maka kakak perempuan si gadis kecilpun terpaksa ikutnya.
Mereka meninggalkan toko sambil membawa sepatu yang baru dibelinya dalam kotak yang dipegang erat di tangan mungilnya itu. Sepasang sepatu ini akan terlihat bagus jika dilihat dari atas meja belajar di kelasnya nanti. Seluruh kelas akan menatap dengan penuh kekaguman. Jantung kecilnya berdebar-debar kencang. Doanya telah dikabulkan.
Tapi, tunggu sebentar! Gadis kecil itu terdiam sejenak sambil teringat apa yang dikatakan neneknya, “Ya Allah puji syukur atas segala nikmat-Mu!” bisiknya pada Tuhan yang telah memberikan segala nikmat. “Aku tidak akan pernah melupakan hari ini!” janjinya dalam hati pada dirinya sendiri.
Namun berpuluh tahun kemudian, saat ia melihat anaknya yang merajuk manja dan merengek-rengek karena sepatunya tidak bergambar tokoh kartun Winnie the Pooh kesayangannya lalu ayahnya itu mencoba meyakinkan anaknya bahwa sepatu itu dilihat dari manfaat dan kualitasnya bukan dari gambar yang ada menghiasinya. Percakapan yang tampak di hadapannya itu mengingatkan dan membuatnya merindukan kembali bagaimana rasa syukur teramat dalam pernah diucapkan bibir kecilnya dahulu saat akhirnya bisa memiliki sepasang sepatu baru.
Penulis: Mirkena Özer
Discussion about this post