Kekuasaan lebih dikenal sebagai wilayah publik dan kecenderungan masyarakat menginterpretasikan wilayah publik ini sebagai wilayah kaum laki-laki. Oleh karena itu kekuasaan pada tingkat tertinggi tetap didominasi dan dikendalikan laki-laki. Sedangkan perempuan secara konvensional mendapat tempat di wilayah domestik, yang lebih disibukkan dengan urusan keluarga yang sekaligus merupakan rekonstruksi amanat biologis. Perilaku politik dipandang sebagai aktivitas maskulin. Adapun perilaku politik tersebut mencakup kemandirian, kebebasan berpendapat dan tindakan agresif, sehingga masyarakat menilai perempuan yang agresif dan mandiri sebagai orang yang tidak diterima dan diinginkan.
Namun Realita sejarah menunjukkan deretan perempuan yang ternyata mampu menjadi pemegang kekuasaan, yang dianggap sebagai dunia lakilaki. Situasi dan kondisi memang menentukan, perempuan yang terjun ke politik hampir sebagian besar dikarenakan mereka terlahir dari lingkungan keluarga yang berkuasa. Kesadaran politik perempuan berdasarkan sejarah Indonesia telah tumbuh sejak abad 16 di berbagai tempat di Nusantara. Salah satu yang menyimpan eksistensi perempuan di dunia politik pada abad 16 adalah empat Ratu yang selama 60 tahun berkuasa di kerajaan Aceh Darussalam. Mereka adalah keturunan Sultan-Sultan Aceh, namun mereka tetap harus berjuang karena selama masa kepemimpinan mereka penuh dengan intrik dan rongrongan yang tidak menyetujui kepemimpinan perempuan, baik dengan alasan agama ataupun budaya, bahkan dengan alasan inilah kekuasaan mereka harus berakhir.
Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan permasalahan yang selalu aktual untuk dibicarakan. Kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau pengikutnya sehingga orang lain bertingkah laku seperti yang dikehendaki pemimpin tersebut. Suksesi kepemimpinan merupakan salah satu agenda yang paling penting dalam meneruskan tahta kepemimpinan. Selama berabad-abad dominasi laki-laki tampak di berbagai sektor kehidupan menyebabkan miringnya penilaian terhadap kemampuan perempuan dalam memimpin. Menurut Asghar Ali; secara historis telah terjadi dominasi dalam masyarakat di sepanjang zaman. Perempuan seringkali dianggap lebih rendah dari laki-laki, sehingga muncul doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, perempuan dianggap tidak mempunyai kemampuan seperti laki-laki, dibatasi wilayahnya di dapur dan rumah, dianggap tak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya, maka perempuan tidak memiliki kecakapan atau tidak layak menjadi pemimpin.1
Kepemimpinan hanya cocok untuk laki-laki, sementara perempuan dibatasi hanya di sekitar “empat bidang persegi” milik ayah atau suaminya. Inilah gambaran tragis sejarah kehidupan perempuan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak politiknya. Namun demikian realitas historis mengungkap data-data, dimana beberapa perempuan pernah menjadi penguasa, melalui lembaran-lembaran sejarah dapat diketahui deretan perempuan yang tercatat sebagai sebagai ratu. Menurut Mernisi, tidak perlu mencari jauh-jauh, atau menganggap hal ini seperti sebuah dongeng, malikah dan khatun muncul sedikit demi sedikit dari halaman-halaman yang telah menguning dalam buku-buku kuno. Sebagai contohnya di kepulauan Maladewa, pemerintahan Ratu sempat bertahan selama kurang lebih 40 tahun (1347-1388). Mereka yang pernah menjadi penguasa pada masa itu adalah: Sultanah Khadijah (1347-1379), Sultanah Myriam (1379-1383) dan Sultanah Fatimah (1383-1388)2
Ratu-Ratu di Aceh Darussalam {1641-1699}
Di Nusantara, salah satu wilayah Islam yang menyimpan keberadaan kemampuan wanita dalam memimpin adalah Kerajaan Aceh Darussalam. Empat wanita pernah berkuasa secara berturut-turut di kerajaan tersebut pada abad ke 17. Kekuasaan para Ratu ini, berlangsung selama 60 tahun. Keempat ratu tersebut adalah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688) dan Sultanah Kamaluddin Syah (1688-1699).
Secara geografis, Kerajaan Aceh terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera, dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar, atau yang dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk. Kawasan ini juga dikenal dengan sebutan Aceh Lhee Sago (Aceh Tiga Segi), dan Aceh Inti (Aceh Proper)3 atau Aceh sebenarnya, karena daerah inilah yang menjadi Kerajaan Aceh. Pusat ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkap sering disebut Bandar Aceh Dar As-Salam4. Bandar Aceh Darussalam menjadi pusat perdagangan karena pada masa tersebut selat Malaka merupakan jalan perniagaan yang ramai, banyak dilalui kapal dagang dari berbagai negeri di asia, terutama dari India, Nusantara dan dari Tiongkok. Selama berabad-abad, Malaka menjadi pusat perdagangan tiga jurusan antara negeri India, Cina dan negara-negara asia tenggara. Dikatakan bahwa Kerajaaan Aceh mengalami kemajuan yang signifikan pada periode abad ke-17. Puncak kejayaan terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda Meukata Alam (1707-1636).
Di antara tanda kemajuan tersebut adalah keberhasilan ekspansi teritorial ke beberapa daerah tetangganya. Pada rentang masa antara 1612-1624, Iskandar Muda berhasil menaklukan sejumlah kerajaan pantai di sekitar selat Malaka dan bagian barat pulau Sumatera kemudian pada tahun 1612 Deli berhasil dikuasai kembali. Kerajaan Johor yang terletak di semenanjung Melayu ditaklukan pada 1613. Kemudian selanjutnya, berturut-turut kerajaan Pahang ditaklukan pada 1618, Kedah pada 1619, Perak pada tahun 1620 dan Nias pada 1624. Padahal menurut Raden Hosein Djayadiningrat, sebelum abad 16 Aceh sama sekali berada dalam kegelapan.5
Sultan Iskandar Muda membentuk Aceh menjadi Negara yang paling kuat di Nusantara bagian Barat, menurut M.C Ricklefs keberhasilan-keberhasilannya didasarkan pada kekuatan militer yang mengesankan, termasuk angkatan lautnya yang memiliki kapal-kapal besar sehingga mampu mengangkat hingga 600-800 orang prajurit, pasukan kavaleri yang diantaranya menggunakan kuda-kuda Persia, sementara satuan Pasukan Gajahnya memiliki arteleri yang banyak.6 Pada masa Sultan Iskandar Muda ilmu pengetahuan berkembang dengan amat pesat, karena Bandar Aceh Darussalam ramai dikunjungi saudagar-saudagar asing. Sebagian dari mereka bukan hanya sekedar berdagang, tetapi juga memiliki tujuan lain, seperti berdakwah dan mengajar. Di pusat pemerintahan telah didirikan sebuah perguruan tinggi bernama Jami’at Bait al-Rahman.7 Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani adalah bagian dari ulama yang sangat terkenal pada masa itu. Kedua ulama tersebut telah memberikan warna pada kehidupan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
Ratu Safiatuddin {1641-1675}
Safiatuddin adalah putri dari Sultan Iskandar Muda yang merupakan seorang perempuan Aceh yang beruntung, karena mendapat kesempatan untuk menggali ilmu yang dimiliki ulama yang menetap di pusat kerajaan. Walaupun Safiatudin seorang perempuan, ia menguasai berbagai macam ilmu, termasuk ilmu kemiliteran.8 Pada 1636, Sultan Iskandar Muda wafat, menantunya Iskandar Tsani Alaudin Mughayat Syah (1636-1641), putra mahkota kerajaan Pahang. Ia adalah putra Sultan Ahmad dari Pahang yang diboyong bersama ayahnya pada 1617. Pada masanya tidak pernah lagi dilakukan aksi-aksi yang agresif dan istana dikenal sebagai pusat pengetahuan Agama Islam. Sayangnya saat itu mulai muncul pertentangan antara ulama, dari kelompok masing-masing menyangkut masalah Wujudiyyah, ajaran yang menyangkut Tuhan dan Makhluk. Yakni pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani di satu pihak dan Nuruddin Arraniri di pihak lain. Pertentangan memuncak dengan adanya proses penghukuman terhadap pihak yang kalah dan menyebabkan terjadinya pembakaran terhadap hasil-hasil karya yang mereka tulis, tampaknya kondisi ini memberi kenangan pahit bagi kelompok yang kalah.
Iskandar Tsani (1641), wafat setelah berkuasa selama 5 tahun di usia yang masih muda yaitu saat masih berumur 30 tahun.9 Beliau kemudian digantikan oleh Permaisurinya, Safiatuddin sebagai Ratu. Kemudian setelah itu tiga perempuan berturut-turut menggantikan kedudukan tersebut.
Pemerintahan Sultanah Safiatuddin Syah yang berkuasa selama kurang lebih 35 tahun, mendapatkan hambatan dari sebagian komponen masyarakat karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Walaupun Penobatannya sebagai Ratu Aceh pertama tidak luput dari aksi penolakan sebagian komponen masyarakat, namun Safiatuddin adalah perempuan Aceh pertama yang memberanikan diri menjadi pemimpin tertinggi di kerajaan Aceh Darussalam. Pemerintahannya juga diwarnai dengan konflik yang selalu berusaha menyebarkan pengaruhnya di daerah-daerah yang makmur, bahkan ada juga bahaya pengkhianatan yang ingin merebut kekuasaan.
Dukungan para ulama berperan sangat besar terutama dukungan dari Nuruddin Arraniri dan Abdurrauf Al-Singkil. Perjalanan kekuasaan Ratu ini tidak dapat dilepaskan dari peran dua ulama tersebut, mulai dari pengangkatan Ratu pertama, masa berlangsungnya kekuasaan, maupun akhir pemerintahan mereka. Apalagi kedudukan Abdurrauf Al-Singkil sebagai Qadli Malikul Adil selama kekuasaan empat Ratu tersebut.
Komunikasi Politik
Menurut Dan Nimmo komunikasi politik merupakan jenis komunikasi yang di dalamnya mengatur kepentingan antar kelompok dan pranata sosial. Dan Nimmo mendefinisikan Komunikasi Politik sebagai kegiatan komunikasi yang berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik10. Adanya perkembangan pada pendidikan perempuan telah merubah penilaian lama sehingga perempuan mulai dianggap mampu menjadi pemimpin di berbagai bidang. Strategi komunikasi politik dapat dilakukan melalui counter komunikasi politik, hal ini tidak hanya dilakukan oleh partisipasi perempuan saja namun harus pula membangun komunikasi politik yang melibatkan laki-laki.
Komunikasi politik secara keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa menghubungkan dimensi politik dengan segala aspek dan problematikanya. Kepemimpinan Safiatudin penuh dengan konflik karena kepemimpinan perempuan pada masa itu masih menjadi dilema namun pada akhirnya berhasil dikarenakan adanya partisipasi dan dukungan dari ulama besar pada masa itu (Nurudin Arraniri dan Abdurrauf Al-Singkili). Terlebih lagi kedudukan Al Sinkili sebagai Qadli Maliku Adil selama kekuasaan empat ratu itu menjadi kekuatan tersendiri bagi Ratu Safiattudin dalam komunikasi politiknya. Adapun upaya yang dilakukan ayahanda Safiatudin dengan memberikan Pendidikan khusus kepada Safiatudin sedari kecil juga menjadikannya seorang Ratu yang cerdas pada masa itu. Kalau kita membicarakan budaya politik patriarki sebenarnya tidak pernah berubah pada abad 16 maupun sekarang, kuatnya budaya bangsa pada politik lambat laun membuat budaya politik yang kemudian menjadi cara pandang dan persepsi masyarakat mengenai politik sebagai wilayahnya lakilaki. Pada masa Safiatudin polemik dan konflik ini juga berlangsung. Masa Sultanah Safiatuddin Syah yang berjalan hampir 35 tahun, mendapatkan hambatan oleh sebagian komponen masyarakat karena dianggap bertentangan dengan hukum Islam. Rusdi Sufi mengisahkan: “Dan tiga hari sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam Permaisuri, menjadi Sultanah. Namun menjelang penobatannya, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Aceh. Hal ini antara lain karena Sultan Iskandar Tsani tidak berputra dan ada pula yang mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang Ratu. Alasannya pengangkatan sebagai Raja bertentangan dengan hukum Islam”
Salah satu faktor yang menjadi kekuatan Safiatudin ketika berkuasa selama kurang lebih 30 ta- Mata Air April – Juni 2018 21 hun adalah adanya partisipasi dan dukungan dari dua ulama besar masa itu yang dengan dalil-dalil yang mereka berikan akhirnya melegitimasi kepemimpinan ratu, selain itu faktor kecerdasan ratu serta kehebatannya di bidang militer merupakan salah satu kekuatan ratu yaitu dengan memberdayakan dirinya melalui pendidikan, dan menghasilkan kitab Kitab yang sangat fenomenal pada masa itu. Kitab ini ditulis oleh Abdurrauf atas permintaan Safiatuddin, kitab fiqh muamalat, sebuah karya besar yang diberi judul “Mir’atalthullab fi Tashil Ma’rifatal Ahkamal Syar’iyat”. Salah satu isinya adalah pembahasan tentang bolehnya perempuan menjadi hakim (secara lebih luas dipahami pula menjadi penguasa).
Ini menjadi pendapat yang tidak lazim dalam kitab fiqh lainnya, khususnya kitab yang bermazhab Syafi’iah. Pandangannya lebih rinci tentang wanita dapat dilihat dalam karya monumentalnya Tarjumalal Mustafid, karya tafsir Quran pertama dalam Bahasa Melayu. Interpretasi terhadap ayat-ayat yang berperspektif jender dan sikapnya terhadap para ratu mencerminkan bahwa pada abad ke-7 telah dilakukan reposisi peran perempuan di Aceh Darussalam. Sejak tahun 1661 hingga tahun 1693, kurang lebih 32 tahun, Abdurrauf menduduki posisi mufti di kerajaan Aceh Darussalam. Namun ketika Abdurrauf meninggal persekongkolan untuk menjatuhkan ratu bergulir kembali. Dan akhirnya Kamaluddin (ratu keempat) berhasil digulingkan pada tahun 1699, karena rongrongan dari para pembesar Kerajaan. Sehingga setelah ulama–ulama tersebut meninggal kepemimpinan Ratu di Aceh selama kurang lebih 60 tahun pun berakhir pula.
Fenomena kepemimpinan perempuan di Aceh hingga detik ini masih terus diperdebatkan keabsahannya, walaupun para ratu ini pernah berkuasa selama kurang lebih 60 tahun. Tak diragukan lagi mereka tentunya memiliki kemampuan luar biasa, apalagi Ratu Safiatuddin yang menguasai Aceh selama 34 tahun, suatu jangka waktu yang cukup lama. Sulit untuk menemukan data primer tentang peranan ulama yang juga sangat besar dalam melegitimasi pemerintahan ratu, seperti Nuruddin Arraniri yang berperan besar dalam proses penobatan Ratu pertama dan Abdurrauf Al-Singkil yang melanggengkan pemerintahan Ratu-Ratu Aceh lainnya. Perlu kajian yang lebih komprehensif untuk melihat bukti-bukti yang ada, dan menyajikan secara utuh tanpa adanya bias jender dalam hal ini.
Dengan mengangkat kisah dari sejarah perempuan di Aceh Darussalam membuktikan dan memberikan pengetahuan, persuasi dan peneguhan tentang adanya peran perempuan dalam sejarah Aceh.
Selain itu kita diajak untuk mendefinisikan kembali konsep peran wanita, memberikan penggabungan pada ciri-ciri maskulin dan feminin ke dalam definisi kekuasaan baru yang bisa dicapai baik oleh kaum laki-laki dan juga perempuan. Adanya penggabungan antar dua unsur yang berbeda, seperti tegas tetapi peka, perkasa tetapi lembut, tegar tetapi penuh empati, akan mengembangkan sifat Androgy pada konsep kekuasaan itu sendiri, baik pada laki-laki maupun perempuan.11 Satu hal yang paling mendasar adalah semoga pengetahuan ini membantu pemahaman masyarakat dalam memberdayakan perempuan sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya, tentu saja dengan cara dan ranah yang benar.
Referensi:
- Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), h. 55
- Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, (Jakarta: Mizan, 1994), h. 10-11
- T Ibrahim Alfian 1972, “Emas, Kafir dan Maut” dalam Nusantaraedisi Juli no 2, Kuala Lumpur, Hal 22.
- Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1997, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta, Balai Pustaka, hal 60
- Raden Hosein Djayadiningrat, Kesultanan Aceh Suatu Pembahasan tentang Sejarah Kesultanan Aceh berdasarkan Bahan-Bahan yang terdapat dalam Karya Melayu, (banda Aceh: Museum Negeri Aceh, 1982/1983),h.9
- M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h 49
- A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi Tanah Aceh, Jakarta: Bulan Bintang, 1983,h. 68
- A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam., Jakarta, Bulan Bintan, Jakarta h 93-94
- T. Iskandar Bustan al-Salatin, Kuala lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966, h.
- Dan. Nimmo, Komunikasi Politik, Bandung: Rosda Karya ,2000
- Toeti Heraty Noerhadi, “Wanita dan Kepemimpinan”, dalam Perempuan Indonesia pemimpin masa depan? oleh Mely G Tan (peny), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991) h.11
Discussion about this post