Dalam sejarahnya, masih belum diketahui secara pasti kapan pertama kali penduduk nusantara mulai pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Menurut beberapa sumber yang dapat diidentifikasikan, penduduk nusantara yang mungkin pertama kali melaksanakan ibadah haji adalah para pedagang, utusan raja, dan para musafir penuntut ilmu pada abad 16 dan 17. Ini diperkuat dengan penemuan Louis Barthema (seorang pedagang Portugis) pada tahun 1503 yang bertemu dengan orang-orang nusantara yang sedang singgah di Jeddah.
Selanjutnya sewaktu wilayah nusantara dikuasai Belanda, manajemen haji dikelola oleh pemerintah pusat yang ada di negeri Belanda melalui pemerintah Nedherlandsch Indie (Hindia-Belanda). Pengelolaanhaji oleh pemerintah Hindia-Belanda dilakukan oleh Gouverneur General Nederlandsh Indie dan Algemeene Secretaris (sekretaris umum) bersama pimpinan dari beberapa instansi terkait seperti Direktur Departement Van Onderwijs, Eredienst en Nijverheid dan Advizeur Voor Inlandshe en Arabische Zaken.
Pada zaman itu Mekkah dalam pandangan penduduk nusantara dapat dibagi menjadi tiga aspek fungsi yaitu: Pertama, Aspek Ibadah, Kedua, Aspek Ilmu, dan Ketiga, Aspek Sosial. Pertama, aspek ibadah yakni ibadah haji merupakan rukun Islam yang ke lima. Diantara kelima rukun tersebut ibadah haji termasuk ibadah yang luar biasa. Untuk melakukannya pada saat itu seseorang harus melakukan perjalanan panjang ke Tanah Suci, disamping itu ibadah ini dikerjakan hanya sekali setahun, yaitu pada bulan Haji (Zulhijah) dan wajib bagi umat muslim yang mampu untuk melakukannya setidaknya sekali seumur hidup. Aspek yang kedua adalah aspek ilmu. Pada waktu itu Mekkah sudah menjadi pusat dari berbagai bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama Islam. Pada masa itu penduduk nusantara juga belajar berbagai ilmu yang bersifat membangkitkan jiwa semangat nasionalisme dan semangat perjuangan untuk terbebas dari belenggu penjajahan, sehingga bisa dikatakan kota Mekkah merupakan jantung bagi penduduk di berbagai daerah nusantara yang setiap saat membangkitkan sel-sel darah perjuangan yang memompa semangat penduduk nusantara agar dapat menjadi orang yang merdeka dan berdaulat. Aspek yang ketiga adalah aspek sosial. Kota Mekkah merupakan pusat bertemunya berbagai umat muslim dari berbagai penjuru dunia sehingga mereka bisa saling bertukar pendapat mengenai kehidupan yang merdeka tanpa adanya penindasan dan penjajahan. Inilah yang membuat pemerintah Hindia-Belanda merasa takut dengan para jemaah haji yang telah pulang dari tanah suci Mekkah. Mereka, para jemaah haji ini, dikhawatirkan akan menyebarkan pemikiran dan kesadaran kebangsaan kepada penduduk nusantara lainnya. Karena hal ini berangkat ke haji sempat dilarang oleh pemerintah penjajah.
Para jemaah haji yang berangkat ke tanah suci Mekkah pada masa penjajahan tersebut merupakan orang-orang pilihan yang memiliki kesungguhan hati dan niat tulus akan Ridha Allah SWT. Bagaimana tidak? Mereka rela melawan berbagai jenis cobaan yang silih berganti. Ketika masih berada di wilayah Hindia-Belanda orang-orang tersebut harus berjuang agar bisa diberangkatkan (mereka harus diasramakan terlebih dahulu di pulau Onrust yang jauh dari pusat kota yang terletak di Kepulauan Seribu di sebelah utara kota Batavia, dan diawasi dengan ketat untuk meminimalisir berkembangnya pemikiran yang radikal yang dianggap akan mengancam kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda), juga dalam perjalanan yang medan dan jaraknya sangat jauh harus ditempuh dengan menggunakan kapal api hingga berbulan-bulan agar sampai di Mekkah. Hal itu belum cukup, ketika telah sampai di tanah suci, mereka melaksanakan ibadah haji dengan fasilitas yang pastinya sangatlah minim, jauh berbeda dengan masa sekarang. Semua perjuangan seperti inilah yang semakin menimbulkan reaksi yang sangat berarti bagi para jemaah haji tentang makna dari kemerdekaan, seperti halnya sebuah bola ketika ditekan terus menerus ke dalam air maka bola tersebut akan muncul kepermukaan dengan lesatan yang sangat cepat dan berkekuatan penuh. Begitu pula jemaah haji pada masa itu yang mengalami berbagai tekanan terus menerus sehingga mereka lambat laun mengalami penguatan mental baja yang semakin hari semakin menebal dan akan sulit untuk ditembus oleh doktrin-doktrin Pemerintah Hindia-Belanda.
Para jemaah haji pada masa kolonial memang sangat penting peranannya bagi pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan. Mereka dengan giat menimba ilmu pengetahuan di negeri Arab yang merupakan pusat dari kegiatan agama Islam. Mereka bertemu dengan muslim dari berbagai belahan dunia yang menularkan semangat dan mengajak mereka bertukar pikiran mengenai kebebasan dari kolonialisme.
Berbeda dengan jemaah haji terdahulu, saat ini berbondong-bondong orang dari tanah nusantara ini berangkat ke tanah suci namun sayangnya sebagian dari mereka tidak mengetahui apa arti dari perjalanan spiritual tersebut. Beberapa dari jemaah hanya ingin mendapatkan gelar haji untuk kepentingan dunia semata, keinginan untuk dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Inilah yang menjadi pertanyaan mengapa bangsa Indonesia yang setiap tahunnya memberangkatkan ratusan ribu jemaah haji namun keadaan Indonesia tak kunjung membaik.
Mari kembali kita melihat pengorbanan para jemaah haji ketika wilayah Nusantara masih dijajah oleh Belanda, mereka para jemaah haji pada masa penjajahan merelakan waktu bahkan nyawanya dipertaruhkan demi beribadah dan menimba ilmu di tanah suci yang nantinya akan berguna bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam melawan penjajah. Lalu ke manakah jemaah haji sekarang? Semoga sekembalinya dari Mekkah hajinya mabrur, semakin rajin dalam beribadah, beramal saleh serta bermanfaat bagi bangsa dan umat untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Penulis: Ahmad Faizal Bakhtiar
Discussion about this post