Melakukan pengorbanan adalah mengorbankan dari apa yang dimiliki; suatu perilaku yang ditunjukkan oleh hampir setiap makhluk hidup, di setiap penjuru, di alam semesta ini. Secara fitrah jika dilihat dari sisi tempat dan tujuan yang digunakan jika pengorbanan dilakukan dengan sebuah gerakan yang baik akan mampu mewujudkan berbagai hasil yang berbeda pula. Ketika mahluk lain secara tidak sadar melakukan ini dalam kerangka terpaksa, maka yang diharapkan dari seorang manusia adalah mewujudkan hal ini dengan menggunakan iradah atau kendali dirinya secara maksimal.
Seorang ibu bagi anaknya atau seorang prajurit bagi tanah airnya akan mampu melewati malam tanpa tidur. Hati seorang ayah dan ibu akan bergetar seperti hati seekor burung merpati setiap kali memikirkan anaknya, hatinya selalu was-was memikirkan anak- anaknya dalam pengorbanan tiada tara. Seorang guru akan mengajarkan ilmu yang dikumpulkannya dari seribu satu sumber dengan seribu satu kecermatan bagaikan seekor lebah tanpa merasa berat sedikitpun. Seorang istri bagi suaminya ataupun sebaliknya seorang suami bagi istrinya rela melakukan berbagai pengorbanan, dan seperti contoh-contoh tadi hampir semua insan manusia melakukan hal ini baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kemaslahatan orang lain.
Sedangkan bagi mereka yang beriman, akan berada pada banyak kondisi yang menuntut pengorbanan lebih banyak dari segi kehambaannya di atas segala sesuatu. Sholat-sholat yang ditegakkan di awal subuh atau di larut sepinya malam tanpa memikirkan panas atau dinginnya udara, lapar-dahaga yang dirasakan saat berpuasa di musim panas maupun dingin. Terlepas dari pemahaman bahwa harta benda adalah perisai bagi jiwa namun dengan menyisihkan sebagian hartanya zakat tetap harus ditunaikan bagi kaum fakir miskin, juga ibadah haji yang dilaksananakan dengan mengorbankan jiwa dan harta demi memenuhi panggilan yang diperintahkan oleh Rabb kita. Titik tertinggi dari ‘amar ma’ruf nahi anil munkar’ yang harus diperjuangkan sepanjang hidup kita, jika diperlukan adalah semua perang yang dilakukan dengan menafikan arti hidup sekalipun. Dan kesemuanya ini adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam ranah kehambaan kita sebagai mahluk-Nya yang bisa dicapai melalui perahu pengorbanan.
Semua kesuksesan terbesar berumur panjang yang amat sangat diinginkan oleh manusia hanya dapat dicapai dengan pengorbanan dalam makna sesungguhnya. Segala sesuatu yang dikerjakan – baik maupun buruk – hanya akan dapat mencapai hasil terbaik jika dibangun di atas dasar pengorbanan. Hasil positif maupun negatif dari contoh-contoh ini telah memenuhi sejarah manusia.
Yang mencontohkan pengorbanan pada tingkat tertinggi serta menempatkan perasaan yang luhur ini pada posisi terbaik adalah ‘Kebanggaan Umat Manusia – Rasulullah SAW’. dapat dikatakan bahwa seluruh kehidupan Beliau SAW dilukis di atas kanvas pengorbanan. Dikarenakan hal tersebut Beliau selalu mengorbankan harta benda, kesehatan, serta keinginan dan kepentingan pribadinya bagi keselamatan umat manusia. Dan lagi-lagi demi perasaan luhur ini, pada suatu peristiwa besar yang dianugerahkan hanya pada Beliau yang bahkan tidak ada satupun nabi lain yang mengalaminya yaitu peristiwa Mi’raj, Beliau tetap memilih pulang kembali ke dunia, hingga Adulkuddûs berkata: “Jika saja peristiwa besar itu terjadi padaku, Wallahi… Billahi aku tidak akan mau pulang kembali ke dunia”, kata beliau. Saat harta benda datang ber- limpah, misalnya saat setelah perang Hunain harta ghanimah yang menjadi bagian Beliau seharusnya cukup untuk kelangsungan hidup beliau dan keluarganya selama bertahun-tahun namun alih-alih menikmatinya Beliau SAW justru memilih hidup sederhana dan sering menahan lapar, bagai sebuah angin rahmat beliau menebarkan apa saja yang dimilikinya bagi orang-orang miskin. Persis seperti Beliau, Para Sahabat yang mulia juga selalu mengorbankan jiwa dan membungkus harta milik mereka untuk diserahkan pada Rasulullah tercinta. Jika memang diperlukan mereka akan mengorbankan seluruh harta bendanya, setiap waktunya bahkan malam-malam tanpa tidur, serta buah hati, anak-anak mereka sekalipun. Para penerus setelahnya pun menampilkan pengorbanan serupa seperti apa yang ditunjukkan oleh nenek moyangnya. Hingga saat ini, tentu saja dengan rasa syu- kur ke hadirat Allah SWT, seringkali saya merasakan rasa terima kasih yang amat sangat pada para pendahulu. Oleh karena jika saja mereka tidak berkorban dengan sungguh-sungguh, tidak teguh dalam menghidupkan keyakinannya dan mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama sehingga dengan sayap keteguhan itu terbang hingga ke mari, saya tidak yakin apakah di masa di mana representasi Islam begitu lemah dan pada masa yang penuh dengan intrik ini kita bisa mengenal Islam dan mendapatkan hidayah hanya dengan penalaran dan usaha kita sendiri?
Telah dikatakan bahwa jalan pengorbanan itu bisa bermacam-macam. Misalnya yaitu Lenin, salah satu dari para arsitek faham komunisme yang telah menjadi malapetaka di mana-mana tersebut. Pada masa sebelum ia mewujudkan revolusi besarnya saat menjalani masa penahanan di sebuah penjara di dekat perbatasan Cina, Lenin menghabiskan waktunya dengan membaca ratusan kali buku Das Capital karangan Karl Marx tokoh panutannya. Setelah lepas dari kecamuk perang dunia ke-2, ratusan rakyat Jerman berjanji untuk tidak makan daging hingga negaranya dapat dibangun dan berjaya kembali. Pada zamannya, para siswa dari Jepang yang menuntut ilmu di Eropa membiasakan dirinya untuk tekun dan berusaha keras agar dapat berhasil menamatkan sekolahnya sementara bagi mereka yang gagal lebih memilih jalan harakiri demi menyelamatkan harga diri dan kehormatannya. Terlihat jelas bahwa, semua pengorbanan yang dilakukan dengan penuh ikhlas walau atas nama apapun sesuai dengan janji-Nya tidak akan pernah meninggalkannya tanpa balasan dan tetap diberikan kesuksesan atasnya.
Pengorbanan dalam kepolosan seorang anak dengan ketulusannya bagaikan ukiran indah di atas pualam yang akan menempati pojok paling istimewa dalam ingatan. Apalagi bila semua pengorbanan yang dilakukan dalam jalan Ridha-Nya, jika dilakukan untuk berkhidmah bagi agama-Nya, maka semua malaikat penghuni langit akan bertepuk tangan memuji pada semua mahluk yang ada di bumi dan tidak diragukan lagi akan dapat mendatangkan khazanah Rahmat Allahu Ta’ala yang tak berbatas.
Peristiwa penuh keikhlasan, tanpa pamrih dan sangat menyentuh yang akan saya ceritakan berikut, saya rasa akan dapat menjadi sebuah contoh yang bagus. Cerita ini adalah sebuah kisah nyata yang baru saja terjadi beberapa waktu lalu. Pada sebuah kecelakaan lalu lintas seorang anak perempuan terluka parah. Oleh karena kondisinya yang amat kritis ia harus segera menjalani operasi darurat dan untuk itu dibutuhkan donor darah yang cukup demi keselamatannya. Namun malangnya, pada saat itu tidak bisa didapatkan cadangan dari golongan darah yang tepat untuknya. Lalu kemudian tim medis mencoba mencari tahu apakah dari pihak anggota keluarganya ada yang memiliki golongan darah yang sama. Lalu ditemukan bahwa adik laki-laki dari gadis itu memiliki golongan darah yang sama. Akhirnya dicoba untuk dijelaskan pada anak laki-laki tersebut kondisi yang terjadi, tentu saja dengan bahasa yang bisa dipahami olehnya. Dijelaskan bahwa jika ia bersedia memberikan darahnya maka kakak perempuannya akan bisa sehat dan bermain kembali. Anak kecil itu berfikir sesaat lalu kemudian memutuskan bersedia memberikan darahnya bagi kakak perempuannya. Saat ia dibaringkan di tempat tidur RS untuk mulai diambil darahnya, sesaat anak tersebut menoleh ke kanan, tempat ibunya duduk menunggui. Lalu ia membisikkan kepada ibunya: “Ibu… aku akan mati perlahan-lahan, kan?”. Bayangkan hati seorang anak yang bersih dan suci itu begitu polos ketika bersedia untuk mengorbankan dirinya demi keselamatan kakaknya.
Dalam hal pengorbanan ini ada sebuah pertimbangan yang bisa kita kaitkan dengannya. Setiap ayah dan ibu, saat mengingat tentang kelebihan yang dimiliki anaknya akan selalu mencari kesempatan untuk bisa membanggakannya di depan orang lain, mulai dari kepintarannya, kecerdasan, kehebatannya karena sudah bisa membaca di usia dini, rapor terakhirnya yang meraih nilai tinggi… Dalam hal ini persis seperti sebuah kecemburuan. Misalnya seseorang yang berkesempatan berbicara berjam-jam di sebuah majelis namun tak sekalipun pembicaraanya diarahkan untuk mengagungkan Sang Maha Pencipta, jika orang tersebut tidak sedikitpun merasa perlu untuk menjelaskan kebesaran Allah SWT, maka amat perlu direvisi kembali tentang hubungan pribadi tersebut dengan Rabb-nya. Persis seperti ini juga dalam hal pengorbanan, berkorban untuk Allah, bahkan saya fikir ketika kita berkorban di jalan-Nya, semua yang dilakukan haruslah tetap berada dalam kerangka kecemburuan sehingga sensitif untuk terus menja- ganya agar tetap berada pada jalan yang benar-benar diinginkan Allah SWT. Manusia dalam setiap tahapan kehidupannya, mau tidak mau akan selalu melakukan pengorbanan dalam berbagai hal. Namun kesemua pengorbanan itu tidak semuanya yang akan mem- buahkan hasil bagi dirinya bahkan ada sebagian yang justru mendatangkan musibah. Akan tetapi Allah SWT berjanji bahwa tidak akan ada satupun hal yang dilakukan bagi-Nya akan sia-sia. Bahkan pengorbanan yang ditujukan demi menggapai Ridha-Nya dalam perasaan yang paling tinggi, bukan hanya akan mendatangkan kebaikan di akhirat namun juga akan menjadi wasilah yang paling besar bagi ketenangan hati kita di dunia. Beban suci yang mau tidak mau harus kita tanggung selayaknya kita sebagai seorang hamba ini pun hanya dapat terangkat dengan bentuk pengorbanan mulia layaknya Para Sahabat dahulu. Semua yang mengaku memiliki iman seharunya memiliki kesadaran bersama untuk menyingsingkan lengan, bersama-sama berderap menuju ladang pengorbanan seraya menghirup nafas keceriaan dari semangat ini.
Satu hal yang menjadi poin penting adalah manusia yang kalbunya hidup tidak akan pernah merasakan ratapan kesedihan dari keinginannya, ketidakmampuannya, keterasingannya, kesengsaraannya, bahkan hasil dari dari pengorbanan yang dilakukannya di du- nia ini karena ia sangat yakin bahwa semuanya hanya akan mendapat balasannya di tanah air aslinya yaitu di akhirat kelak. Orang-orang seperti ini hanya akan melakukan kewajibannya dengan terus bermuhasabah apakah ia telah menunaikan kewajiban tersebut sesuai dengan haknya ataukah belum di dunia ini dan kemu- dian akan pergi ke dunia berikutnya. Tanpa rasa pamrih, tidak mengambil keuntungan, tidak ragu, tanpa tawar menawar, tanpa menghitung-hitung keutungan…. hanya karena mengharap Ridha-Nya.
***
Karya : Dr. Ali Ünsal
Discussion about this post