Seorang laki-laki tua memiliki 12 putra. Bertahun-tahun ia bekerja keras bagi kehidupan mereka dan berjuang untuk mendidik agar semua putranya tersebut tumbuh menjadi laki-laki terbaik. Berpuluh tahun ia bergulat dalam peluh, mencoba menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran agar putra-putranya tersebut menjadi insan yang berakhlak mulia. Namun sayang, anak-anaknya tersebut selalu berada dalam perselisihan, satu sama lain mereka saling bertikai. Padahal, tak ada hal yang amat serius untuk dipertentangkan. Hingga suatu hari sang ayah sakit keras. Semua putranya berkumpul di sekeliling laki-laki tua yang amat mereka cintai itu. Jika ada suatu keperluan atau keinginan beliau, semua putranya itu berlomba-lomba ingin memenuhinya. Akan tetapi sayangnya, tetap saja mereka masih selalu berselisih pendapat di hadapan orang tuanya itu.
Suatu ketika sang ayah meminta salah satu putranya untuk mengumpulkan semua saudara-saudaranya. Setelah semua anaknya berkumpul, laki-laki tua tersebut berkata: “masing-masing dari kalian, pergilah ke kebun dan bawakan aku sebuah kayu bakar yang tidak terlalu besar tidak pula terlalu kecil.” Kedua belas putranya itu pun segera bergegas mencari kayu bakar seperti yang dipinta oleh ayahnya itu, walaupun hati mereka bertanya-tanya apa gerangan yang akan dilakukan oleh ayah mereka dengan kayu tersebut. Semua anaknya dengan patuh membawa sebatang kayu yang ‘tidak terlalu besar tidak pula kecil’, persis seperti keinginan ayah mereka. Laki-laki tua itu meminta pula seutas tali yang cukup panjang, lalu ia mengikat keduabelas batang kayu tadi menjadi satu dengan erat.
“Sekarang katakan padaku, manakah di antara kalian yang mampu mematahkan semua kayu ini?” tanya sang ayah. Satu per satu anak-anaknya mencoba mematahkan kumpulan kayu tersebut namun tak ada satu pun yang berhasil melakukannya, bahkan anaknya yang paling kuat sekalipun tak mampu melakukannya. “Coba berikan kayu itu padaku!” kata sang ayah. “Masa begini saja kalian tidak bisa?” ucapnya. Laki-laki tua itu membuka ikatan tali pada kayu tersebut dan mematahkan kedua belas kayu tadi satu persatu dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Walaupun ada salah satu anaknya yang terucap: “kalau dengan cara itu kami pun bisa Ayah”, celetuknya namun putranya yang lain tetap terdiam sambil memandang ayahnya dengan penuh hormat. Laki-laki tua itu pun memandangi putranya satu per satu dengan tatapan nanar, lalu berkata dengan suaranya yang berat: “Perhatikanlah anak-anakku! Selama ini aku telah mendidik dan membesarkan kalian dengan kesungguhan dan mengajarkan pada kalian sifat-sifat terbaik. Tapi perselisihan di antara kalian membuatku merasa sangat sedih. Kalau tadi terbersit dalam pikiran kalian bahwa begitu mudahnya jika hanya mematahkan kayu kayu itu satu per satu, maka memang itu lah yang ingin kusampaikan.” Laki-laki tua itu meneruskan perkataannya dengan penuh wibawa: “Hidup adalah ujian dan kayu-kayu ini adalah ujian terakhir dari ayahmu yang renta ini untuk kalian. Seperti yang sudah kalian saksikan sendiri, 12 potong kayu yang terikat menjadi satu akan sangat sulit untuk dipatahkan, bahkan oleh orang yang terkuat sekalipun. Seandainya bisa, tetap saja ia harus mengerahkan tenaga ekstra untuk mencapai tujuannya itu. Namun setelah kayu-kayu tersebut dipisahkan dari ikatannya bahkan seorang renta seperti akupun bisa mematahkan semuanya. Begitupun kalian semua, 12 orang putra kebanggaanku. Jika kalian bersatu dan berpadu dalam suatu ikatan yang kuat, saling menggenggam satu sama lain dengan penyatuan terkuat dari rasa kasih dalam hati kalian, maka tak ada satupun orang yang mampu dengan mudah mengoyak ataupun menghancurkan kalian. Akan tetapi saat jabat tangan kalian mulai merenggang, satu sama lain tak peduli akan kepentingan perasaan saudaranya maka satu per satu kalian akan sangat mudah untuk dimusnahkan. Inilah pesan terakhir dari ayahmu ini”, ucap sang Ayah dengan tatapan redup dari wajah penuh kebijaksanaan itu.
Pesan terakhir sang ayah ini memberikan perenungan dalam bagi kita semua, betapa rasa marah, dendam, iri dan dengki terkadang membuat kita melupakan esensi terbesar dari sebuah ikatan mulia, bahkan semua sifat-sifat mulia yang ada dalam diri kita pun seperti dinafikan. Ikatan perkawinan, ikatan persaudaraan, ikatan kebangsaan dan yang tertinggi ikatan dalam iman yang sama menjadi seakan tak bernilai. Seharusnya bukan perbedaan dan persaingan yang membuat kita memacu adrenalin untuk saling menghujat namun justru keindahan persamaan yang harus terus diingat. Jikalau kita membenci seorang saudara seiman karena satu sifat buruknya atau karena perbedaan pola pikirnya namun saat kita melihat lebih dalam, pastinya tetaplah banyak persamaan antara kita dengan dirinya. Apalagi jika dilandasi ikatan yang kuat maka lenyaplah sudah rasa benci dan iri itu. Sebagaimana sepotong kayu bakar di atas, seratus lidi rapuh jika diikat bersama tidak hanya menjadi kuat, bahkan dapat mengerjakan fungsi besar menyapu sebuah halaman nan luas. Bukan hanya menjadi semakin kuat, kita bahkan bisa lebih berdaya guna.
Penulis : Astri Katrini Alafta
Discussion about this post