Penyair Taufiq Ismail mewakili corak Islam par excellence dalam puisi Indonesia modern. Islam menekankan dua aspek, yaitu hablun minallah (tali ilahi) dan hablum minannas(tali kemanusiaan). Aspek pertama dapat dikristalkan menjadi religiusitas dan spiritualitas, sementara aspek yang kedua dapat dikristalkan menjadi etika sosial. Tali ilahi dan tali kemanusiaan bukanlah dua tali yang terputus, melainkan satu tali yang bersambung. Demikianlah maka Taufiq Ismail menulis cukup banyak puisi religi dan puisi sosial. Sebagaimana tali ilahi dan tali kemanusiaan merupakan satu tali, maka aspek religi dan aspek sosial dalam puisi Taufiq Ismail merupakan satu mata rantai.
Ketika membaca puisi-puisi beliau maka akan segera tampak bahwa Islam merupakan sumber sekaligus landasan moralnya. Hal itu tentu saja mengekspresikan pandangan dan sikap sang penyair. Sebagai seorang penyair muslim, ia menimba banyak inspirasi dari khazanah Islam yang tentu saja kaya, dan dengan cara itu beliau menyuarakan moral Islam. Dalam konteks ini, sumber utama puisi-puisinya adalah Al Quran dan Nabi Muhammad ﷺ. Al-Qur’an menjadi sumber puisi Taufiq paling tidak dalam dua cara. Pertama, ia menggunakan atau mengutip ayat Al-Qur’an dalam puisinya. Kedua, dia mengambil ide dari Al-Qur’an untuk puisinya.
Nabi Muhammad ﷺ tentu saja merupakan teladan praktik keseharian Islam. Maka, Nabi Muhammad mendapat perhatian besar dalam puisi-puisi Taufiq Ismail. Di antara penyair-penyair Indonesia, beliau paling banyak menulis puisi tentang Nabi Muhammad ﷺ. Tak kurang dari 15 puisi merupakan catatan dan renungan atas momen-momen sangat penting dari kehidupan Sang Nabi, di samping keseharian dan teladan-teladan Beliau. Di antaranya adalah turunnya wahyu pertama di gua Hira, Isra mi’raj, peristiwa hijrah, Perang Badar, doa Nabi, dan turunnya wahyu terakhir di Jabal Rahmah. Juga tentang kelahiran dan kemangkatan Beliau. Dari puisi-puisinya tentang Nabi Muhammad ﷺ, tampak bahwa Rasul terakhir itu merupakan sumber kerohanian, sumber moral pribadi, dan sumber etika sosial.
Sejak sebelum menerima wahyu, Nabi Muhammad ﷺ merupakan pribadi yang memiliki kecenderungan kuat pada kehidupan rohani, yang umum diketahui adalah bahwa sebelum menerima wahyu Beliau sudah terbiasa menyepi, menyendiri, dan menyucikan diri di gua Hira. Dengan cara itu Ia menjauhi paganisme yang merupakan praktik umum masyarakatnya di satu sisi, sekaligus menjauhi dekadensi moral yang tak dapat diterima dari sudut etika universal di lain sisi. Ketika Nabi Muhammad ﷺ menerima wahyu pertama di gua Hira, hal itu menandai tingkat tertentu kerohanian Beliau yang sudah cukup terasah dan terlatih. Tentu saja hal tersebut merupakan momen sangat penting dari kehidupan Nabi. Aspek kerohanian ini merupakan landasan bagi tugas kenabian Muhammad ﷺ selanjutnya.
Taufiq Ismail mencatat peristiwa Hira dalam puisinya “Sesudah Gua Hira”. Yang menarik adalah, berbeda dengan pandangan umum bahwa turunnya wahyu di gua Hira merupakan peristiwa penting yang menandai kerasulan Nabi Muhammad, puisi “Sesudah Gua Hira” menyiratkan bahwa yang lebih penting justru tugas-tugas Nabi Muhammad setelah turunnya wahyu di gua Hira itu. Turunnya wahyu di gua Hira memang menandai landasan rohani yang telah dicapai Nabi, namun yang lebih penting lagi adalah tugas-tugas kenabian yang mesti dijalankan sesudahnya. Sebab, Zaman telah lama/Termangu/Dalam resah, dan Langit yang dahaga/Berkejaran. Di atas landasan kerohanian itu, tugas kenabian adalah mengatasi zaman yang telah lama termangu dalam resah, sekaligus menghilangkan rasa haus langit yang dahaga. Dengan demikian, tingkat kerohanian Nabi Muhammad ﷺyang dicapainya di Hira —sampai taraf apa pun— sudah cukup bagi tugas kenabian selanjutnya.
Tapi Nabi Muhammad terus mempertinggi tingkat spiritualnya. Puncaknya adalah peristiwa Isra’ mi’raj, yang tentu saja merupakan momen kerohanian sa-ngat penting dalam kehidupan Beliau. Taufiq Ismail mencatat peristiwa tersebut dalam dua puisi, yaitu “Muhammad Menjelang Baytil-Maqdis” dan “Jamaah Baytul-Maqdis”. Puisi “Muhammad Menjelang Baytil-Maqdis” melukiskan tingkat kerohanian yang dicapai Nabi Muhammad menjelang Isra’ mi’raj:
Langit yang melengkungkan dada, biru hitam
Muka tengadah denyut darah tertahan
Kutoreh dadamu al-Amin, jantung baiduri
Kubuka langit Ku bagimu, mata hujan dan salju
Di tangannya waktu meleleh
Lumat gurun dan lembah. Berlalu
Gerimis cahaya melinangi bumi
Lekah dada dan langit baginya. Selalu.
Lebih jauh, puisi “Jamaah Baytul-Maqdis” mengemukakan bahwa Nabi Muhammad telah mencapai tingkat kerohanian yang sedemikian tingginya, yang membuatnya memiliki supremasi dan keistimewaan di antara para nabi dan rasul. Dikisahkan bahwa setelah tiba di Baytul Maqdis, Nabi Muhammad ﷺ yang datang mengendarai Buraq disambut oleh para Nabi dan Rasul:
para Nabi dan Rasul
dalam waktu yang lebur
mengelukan
lelaki berkuda itu
Lalu mereka saling berjabat tangan dengan hangat. Selanjutnya, meskipun jauh lebih senior, Nabi Ibrahim mempersilahkan Nabi Muhammad yang lebih muda untuk memimpin shalat dua rakaat, lalu seluruh Nabi dan Rasul/ bersaf-saf dalam jamaah rohaniah/ meluluh abad demi abad. Setelah memimpin shalat seluruh nabi dan rasul, barulah Nabi Muhammad berangkat ber-mi’raj, diapit Jibril/ dan Mikail.
Dengan demikian, peristiwa Isra’ mi’raj menandai supremasi dan keistimewaan Nabi Muhammad ﷺatas para nabi dan rasul lainnya, sebab hanya Nabi Muhammad yang mencapai tingkat kerohanian yang sangat tinggi itu. Penting diingat bahwa Isra’ mi’raj terjadi dalam periode Makkah, ketika Nabi Muhammad belum memiliki prestasi kenabian yang cemerlang —prestasi kenabian yang cemerlang baru dicapai nabi kelak dalam periode Madinah. Jadi, dalam periode Makkah Nabi Muhammad telah mencapai tingkat kerohanian yang sedemikian tinggi, yang menjadi landasan bagi kesuksesannya dalam menjalankan tugas kenabiannya kemudian. Maka, bagi Beliau peristiwa ini merupakan sumber kerohanian dan sebagai landasan bagi berbagai tugas kenabian dalam sejarah.
Dengan tingkat kerohanian yang sedemikian tinggi itu, Nabi Muhammad ﷺ merupakan sumber moral pribadi. Nabi Muhammad adalah teladan terbaik: mencintai anak yatim, hidup sederhana, banyak bersedekah, memiliki semangat juang, kesabaran, ketabahan, keuletan, dan sifat-sifat mulia lainnya —semuanya ditulis Taufiq dalam puisi-puisinya. Nabi Muhammad ﷺ memiliki empat sifat yang terkenal, yaitu shiddîq (jujur), amânah (dipercaya), tablîgh (menyampaikan pesan Tuhan), dan fathânah (cerdas). Sebagaimana tersurat dari puisi Taufiq Ismail “Meniru Sifat Rasul”, sifat-sifat nabi ini tentu saja merupakan teladan bagi moral pribadi.
Lebih dari itu, Nabi Muhammad ﷺ adalah sumber etika sosial. Tugas kenabian pertama-tama memang untuk memupuk tingkat kerohanian lewat berbagai praktik keagamaan, juga untuk memupuk moral pribadi dengan sifat-sifat yang terpuji, namun pada akhirnya semangat kerohanian dan moral pribadi itu harus dipancarkan ke dalam kehidupan sosial yang konkret. Tugas kenabian adalah tanggung jawab kemanusiaan dalam sejarah, yang mesti dijalankan dengan motif religiusitas.
Puisi Taufiq Ismail yang dengan jelas mengemukakan Nabi Muhammad ﷺ sebagai sumber etika sosial adalah puisi “Rasulullah Menyuruh Kita”. Dikatakan bahwa Rasul menyuruh kita mencintai anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang lapar, dan orang-orang tergilas. Rasul juga menyuruh kita santun dalam beda pendapat. Melakukan semua perintah Rasul ini merupakan ekspresi cinta kepada Rasul sendiri: mencintai anak yatim piatu adalah mencintai Rasul kita; Mencintai orang miskin adalah mencintai Rasul kita; Mencintai orang lapar adalah mencintai Rasul kita; Mencintai orang tertindas adalah mencintai Rasul kita; santun dalam beda pendapat adalah mencintai Rasul kita.
Puisi tersebut mengemukakan juga bahwa Nabi Muhammad merupakan sumber etika satwa dan lingkungan: Rasul menyuruh kita mencintai hewan, pohon, dan lingkungan/ Rasul sendiri lemah lembut pada kucing kesayangan/ Mencintai satwa dan alam lingkungan adalah mencintai Rasul kita.
Dengan tingkat kerohanian, moral pribadi, etika sosial, satwa, dan lingkungan yang demikian tinggi, ditambah lagi dengan seluruh prestasi kenabiannya, Nabi Muhammad ﷺ adalah sosok yang penuh pesona. Dia amat dicintai. Maka nabi adalah pribadi yang terus-menerus dirindukan, betapapun tak mudah menjumpai sosoknya. Puisi Taufiq yang dengan baik mengemukakan kerinduan pada Nabi adalah “Ya Rasul”. Puisi ini di satu sisi menggambarkan betapa tidak mudah, atau mungkin “tak pantas” menjumpai sosok Sang Nabi, dan di sisi lain mengemukakan rasa rindu dan cinta yang amat dalam kepadanya. Perjumpaan dengan Nabi sendiri adalah sesuatu yang tak terjangkau. Dalam puisi itu, bahkan gamisnya pun hanyalah bayang-bayang, gemuruh langkahnya hanyalah gema, yang melintas hanyalah bayang sosoknya, yang lewat pun hanya gemersik gamisnya. Tapi hal itu justru mengekspresikan kerinduan yang sangat dalam dan menyala-nyala, juga mengemukakan api cinta yang berkobar-kobar:
Dari sela rimbun daun
Sejarah
Kuintip bayang-bayang gamismu Ya Rasulku!
Rasulku!
..
Dari sela-sela daunan
Sejarah
Melintas bayang sosokmu
Di antara tahiyat
Gemerisik gamismu lewat
Lamat
Lamat
Ya Rasul, Rasulku!
Pustaka
Jamal D. Rahman, penyair dan pemimpin redaksi majalah sastra Horison.
Penulis : Jamal D Rahman
Discussion about this post