Bacalah ! ”(Alaq , 96/1) merupakan perintah, seruan, dan tugas Ilahiah yang ditujukan kepada makhluk termulia-Nya, Nabi Muhammad SAW, perintah itu kemudian ditujukan pula kepada seluruh manusia. Alam terhampar di hadapan kita untuk kita perhatikan dan kita pahami makna serta isinya. Alam juga merupakan bukti atas tatanan yang dibuat Sang Pencipta dan atas kekuasaan, keagungan, dan keindahan-Nya. Alam semesta tidak lain adalah sebuah penampakan dan manifestasi Lauhil Mahfuzh.
Allah SWT telah menjadikan segala sesuatu di alam ini, baik makhluk hidup maupun benda mati —selain manusia— sebagai “pena” yang menuliskan berbagai manifestasi dan hikmah di dalamnya. Setiap entitas, baik makhluk hidup maupun benda mati, tak ubahnya sebuah buku. Karena itu, perintah tidak turun dengan redaksi “Lihatlah dan perhatikanlah!”, tetapi dengan bentuk: “Bacalah!” Hal itu karena buku memang untuk dibaca. Alam raya ini laksana perpustakaan Ilahi. Itulah mengapa, ketika setiap entitas —selain manusia— ditugaskan untuk “menulis”, maka manusia secara khusus ditugaskan pula, di samping menulis, untuk “membaca”.
Ilmu tak lain adalah pengetahuan tentang berbagai manifestasi sistem-ilahiah dan keterkaitan, susunan, serta keteraturan segala sesuatu di alam ini. Sistem yang amat cermat dan seimbang ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan semata. Pasti ada pembuat dan peletak sistem itu, yang begitu jelas (keniscayaan) keberadaannya. Sebelum sebuah sistem dibuat, konsepnya disempurnakan terlebih dahulu. Seorang arsitek bangunan, misalnya, tentu sudah memiliki konsep sebelum ia menggambar desainnya di atas kertas. Apabila di satu sisi kita melihat konstruksi fisik dan pemikiran manusia serta bagaimana konstruksi tersebut memengaruhi konsepnya tentang alam, maka kita bisa mengatakan bahwa jika Lauh Mahfuzh merupakan sistem yang komprehensif tentang alam, Al-Qur’an adalah sistem yang tercatat dan tertulis. Al-Qur’an adalah cermin Lauhil Mahfuzh.
Karena itu, manusia harus membaca dan berusaha memahami setiap kali membaca. Bisa jadi ia keliru dalam memahami serta melewati pengalaman salah dan benar ketika ia berusaha dengan inti ilmu untuk sampai kepada tingkat yakin dan berpegang teguh. Melihat, menyaksikan, memahami, serta mengukir apa yang telah dipahami dan diterima di dalam hati dan perasaan, masing-masing adalah sesuatu yang berbeda. Demikian pula, sesudah semua itu, menerapkan apa yang telah diterima dan menyerukannya kepada pihak lain juga merupakan sesuatu yang berbeda. Tetap saja, semua aktivitas berbeda-beda yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan ini selalu ada. Itu karena ada hukum-hukum yang cermat dan harmonis di alam ini yang dibuat oleh Sang Peletaknya. Di antara hukum-hukum itu adalah:
- Perjalanan dari satu menjadi banyak;
- Adanya persamaan, perbedaan, dan pertentangan di antara yang banyak ini;
- Adanya keseimbangan aktual di antara berbagai hal yang bertentangan;
- Perwakilan, yakni adanya perwakilan dalam tugas/fungsi;
- Adanya proses belajar dan lupa, lalu belajar lagi;
- Pengerahan upaya dan usaha;
- Analisis dan konstruksi;
- Ilham dan penyingkapan. Semua hukum di atas terwujud dalam diri manusia. Karena itu, adalah wajar dan alami apabila terdapat persamaan, perbedaan, dan perselisihan di antara manusia dalam hal pemikiran, pandangan, keyakinan, perangai, dan tindakan.
Semua perbedaan dan pertentangan alamiah itu tidaklah kosong dan hampa, namun merupakan perbedaan yang hidup dan aktual dalam koridor keseimbangan. Oleh karena itu, adalah wajar dan alami pula apabila perkembangan yang hanya bertujuan iman semata terhalang dari ilmu dan, sebaliknya, perkembangan yang hanya bertujuan ilmu semata akan mengabaikan dan kehilangan iman.
Itulah mengapa terdapat pengetahuan dan kebodohan, pengakuan dan pengingkaran, kemuliaan dan kehinaan, keadilan dan kezaliman, cinta dan benci, damai dan perang, kehidupan yang diliputi kemalasan, kelemahan, serta ketidakberdayaan dan kehidupan yang melihat bahwa manusia bisa melakukan segala sesuatu seorang diri. Itulah mengapa kita melihat kehidupan diwarnai ketergesaan, kerusakan, kegilaan, dan syahwat. Kehidupan kadangkala membangun namun kadangkala merobohkan. Itulah pula mengapa ada kemungkinan manusia untuk lupa bahkan terhadap apa yang telah diajarkan oleh Sang Manusia Istimewa dan Kebanggaan Umat Manusia yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Tetapi ajaran ini harus diingatkan kembali dan harus diajarkan lagi. Demikian pula ketika melakukan analisis dan pemetaan ini akan muncul pemahaman baru, pandangan baru, serta ilham dan penampakan baru.
Semua itu telah terjadi dan pasti terjadi serta akan terus terjadi. “Sepuluh Perintah” diwahyukan kepada Nabi Musa as untuk menata kehidupan sosial. Nabi Isa as diberi sifat santun, kasih sayang, cinta, dan sabar dalam berinteraksi dengan manusia. Termasuk semua hal di atas, Nabi Muhammad SAW bahkan dianugerahkan ilmu, kehendak, kebijaksanaan, keberimbangan, kemampuan menganalisis dan menyusun, serta kalam dan penjelasan yang komprehensif.
Oleh sebab itu, menjadi seorang muslim dari satu segi harus lebih bertanggungjawab dan lebih sulit daripada yang lain, namun pada saat yang sama tentu saja lebih mulia dan lebih luhur.
Hal itu dikarenakan fungsi seorang muslim harus memenuhi sepuluh perintah Ilahi selain itu harus pula memenuhi prinsip-prinsip bermasyarakat dan sosial seperti sifat cinta, toleran, sopan santun, kasih sayang, lemah lembut dan sabar, serta menuntut adanya karakteristik dan sifat luhur seperti ilmu, kehendak, kebijaksanaan, keseimbangan, analisis dan kemampuan menyusun serta membangun.
Karena itulah bahwa berbagai penemuan yang terwujud dalam bidang fisika, kimia, dan biologi serta kemajuan yang dicapai oleh para ilmuwan dan penemu layak mendapatkan penghargaan dan apresiasi, sebab penemuan-penemuan itu telah membantu kita mengerti dan menjadi lebih mudah memahami peristiwa dan asas-hukum di alam semesta ini. Selain itu penemuan-penemuan tersebut telah menyingkap banyak kebenaran yang termaktub dalam Al-Qur’an, kitab yang tertulis dalam Lauh Mahfuzh tentang sejumlah prinsip berbagai hubungan yang terdapat di berbagai penjuru alam semesta ini.
Namun, pada saat yang sama, umat manusia pun harus dilindungi dan dijaga agar mereka tidak terjatuh ke dalam kesesatan pemikiran-pemikiran, seperti: pengingkaran adanya Pencipta alam dan Maha Kuasa, penolakan adanya ilham, petunjuk dan wahyu Ilahi, atau sikap menuhankan manusia dan menjadikan kehendak manusia sebagai penguasa mutlak.
Apabila tidak diberikan arahan dan tujuan baru bagi ilmu-ilmu fisika, kimia, dan biologi terkait dengan hukum-hukum yang tersingkap dan didasarkan pada eksperimen laboratorium, maka kita akan berhadapan dengan bahaya besar seperti adanya manusia dan masyarakat yang —karena tertipu oleh berbagai penemuan itu— mulai congkak dan berusaha melepaskan diri dari semua ikatan kemanusiaannya, bertambah berani, serta kurang bertanggung jawab. Karena itu, manusia semacam ini —yang telah menjadi seperti hewan percobaan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan— harus menyadari bahwa dirinya telah menjadi seperti manusia percobaan saja dan bahwa masyarakat bukanlah laboratorium untuk dijadikan objek dalam berbagai eksperimen.
Sangat penting menyelamatkan sains yang ada saat ini dari berbagai kekakuan, kekeringan dan kesia-siaan. Ini akan membantu untuk memahami persoalan berbagai hal yang menjadi perhatian ilmu pengetahuan, di samping juga mengantarkan manusia untuk bisa melakukan apa yang terdapat dalam kehendak dan pikirannya sehingga bisa menyaksikan berbagai hal yang didapatkan oleh perasaan dan kalbunya secara batin.
Kalau ini terjadi, saat itu pulalah sang cendekiawan akan berbalik menjadi lisan yang fasih dan kalbu yang bisa membaca alam semesta yang terhampar luas di hadapannya persis sebagaimana ia membaca sebuah buku yang terbuka, kata demi kata, baris demi baris. Mustahil kita mengabaikan kesamaan alam semesta dengan buku, apalagi dalam urusan-urusan penciptaan, karena ‘pena’ (qalam) adalah hal yang pertama kali diciptakan dan karena itulah, perintah pertama dalam Al-Qur’an adalah “Bacalah!”(QS. Al-Alaq:1)
Namun, persoalan ini tidaklah mudah seperti tampak pada mulanya. Sebab, meskipun ada pandangan yang mengatakan bahwa kekuatan pengindraan (lahir) dan perasaan (batin) tergantung pada kekuatan indra lahir dan indra batin, adanya kerusakan apa pun pada salah satu indra berdampak negatif kepada indra lainnya.
Karena itu, kita mengetahui bagaimana tuli, buta, dan bisu disebutkan secara bersamaan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebab meskipun mata dapat membaca hal-hal yang diciptakan(al-awâmiral-takwîniyyah), pendengaran merupakan indra yang dipenuhi banyak rahasia sebagai tempat pertama yang menerima hal-hal yang diturunkan (al-awâmir al-tanzîliyyah, seperti Al-Qur’an), sementara lisan adalah alat yang menerjemahkan penyaksian dan pendengaran. Oleh karena itu, siapa saja yang tidak bisa menyaksikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di alam jagat raya dan pada dirinya, ia pun tidak bisa mendengar apa yang sampai ke telinganya. Kalaupun mendengar, ia tidak akan bisa memahaminya.
Demikian pula kalbu yang tidak tersambung dengan hal-hal ilahiah (al-awâmir al-ilâhiyaah, antara lain perintah Tuhan), ia tidak memahami apa yang didengar telinganya dan ia melihat kesibukan diri dengan agama yang fitri ini hanya sebagai sesuatu yang percuma.
Jadi, perintah “Bacalah!” adalah simbol tauhid, keterpaduan, dan penyempurnaan. Ia juga merupakan simbol pengindraan dan penilaian, sehingga menjadi ekspresi lisan terhadap pengetahuan batin ini. Ia mengandung makna dan petunjuk yang tinggi dengan melihat keberadaannya sebagai perintah pertama untuk kita.
Kami telah menjelaskan masalah ini secara panjang lebar karena memang demikian penting, dan mungkin kami sampai keluar dari konteks pembicaraan.
Discussion about this post