Bertahun-tahun sudah kita merindukan seorang yang akan menyelamatkan kita. Seorang yang akan membalut luka, dan menjadi penawar bagi setiap kepedihan kita. Apalagi ketika cuaca sudah semakin gelap dan jalanan semakin kacau, ia semakin kita butuhkan sebagai oksigen, cahaya, dan air bagi kita. Andaikan keadaan sudah tidak memungkinkan untuk berjumpa dengan dirinya pun, ia tetap menjadi seorang yang kita nanti dan rindukan. Akan kita tanyakan kepada semua orang, dan akan kita dendangkan melodi tentangnya di setiap tempat.
Dalam keputusasaan yang paling mengerikan, Dio genes di tengah-tengah masyarakatnya menyerukan akan ketiadaan manusia yang mau memikirkan bangsanya. Entahlah, sudahkan masyarakat kita kembali sadar untuk sekedar menyadari keadaan yang menyedihkan ini. Sungguh masyarakat ini lapar dan butuh akan kehadiran ‘seseorang’ yang akan mendekapnya dalam pelukan, yang akan meringankan derita kesakitannya, yang akan menyelamatkan dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah mengakar. Sebenarnya semua yang diderita selama ini adalah akibat belum hadirnya sosok yang kita cari ini. Tidak diketemukanya sosok yang melupakan kesenangan hidupnya, karena ia hanya akan hidup untuk menghidupkan orang lain. Sosok ‘mustarib’ (penderita) yang hatinya penuh dengan bara kepedihan ummat. Dalam beberapa masa yang lalu beberapa orang dengan kriteria seperti ini dapat kita temukan? Namun hanya berapa orang jumlahnya? Yang mampu benar-benar menjadi sosok yang memahami rahasia penciptaan? Sosok yang memenuhi kriteria sebagai Khalifah dari Sang Pencipta?
Iya, sosok yang kita cari jauh sebelumnya adalah seorang ‘ksatria kalbu’ berjiwa besar. Ksatria kebenaran yang akan selalu mencoba memberikan jawaban atas segala ketidakjelasan yang dihadapi dalam setiap detik kehidupan ini, yang menelaah setiap sisi penciptaan, dan yang setiap pertanyaannya selalu ia cari jawabannya dari alam keabadian yang lekat pada hatinya. Ia bagai berlari mengikuti Khidir as. untuk mencari sumber mata air keabadian, mencari hakikat dan ketika telah menemukan akan mereguknya agar bisa mencapai keabadian; kemudian dunia iman dan cinta yang disusunnya dalam kerangka keirfanan(ilmu dan kebijaksanaan); sisi luarnya dekat pada langit sementara sisi dalamnya menyibak alam rahasia Ilahi. Ia menjadi lidah bagi setiap rahasia dalam segala benda dan penciptaan, penerjemah bagi hati nurani dan ruh, dengan dunia imajinasi pemikirannya, surga-surga yang ditaklukkannya satu per satu dengan kehendak-Nya adalah kemenangan bagi sang ksatria kebenaran ini. Sementara itu mereka yang acuh tak acuh terhadap hakikat kebenaran, orang-orang malang yang tidak mampu membaca kitap alam semesta, orang-orang jahil yang tidak tahu menahu tentang kedalaman jiwa dan perjuangan iradah, sama sekali tidak akan pernah bisa mengisi tempat bagi sosok manusia yang kita rindukan ini. Apalah artinya kehadiran mereka yang hanya memanfaatkan kekosongan untuk tampil di hadapan masyarakat, berlaku sebagai pemain palsu di muka masyarakat seraya bersenang-senang dengan keadaanya. Namun mereka sama sekali tidak akan pernah melekat di hati masyarakat, dan mereka tidak akan pernah mendapat sanjungan sebagai sosok yang dinanti. Orang-orang yang dengan penuh kesenangan rela memberikan jiwanya pada sosok yang dirindu ini adalah mereka yang mampu menggapai esensi dan makna dengan keilmuannya, mampu naik ke alam para malaikat untuk kemudian menyatu dengan jati dirinya; ketika hanya sebesar zarrah ia mampu menjadi mentari, ketika menjadi setetes air dapat menjadi menjadi hamparan samudera, dalam keadan parsialnya ia menjadi satu kesatuan utuh seluruh entitas. Seorang pemikir yang terbebas dari dualisme dunia kesadaraan dan materi. Dirinya adalah manusia yang mampu membaca tanda-tanda dan memahami; memiliki jati diri dengan ilmu dan kebijaksanaan, dengan imannya ia akan mampu menangkap rahasia untuk mencapai keagungan. Sosok pemikir yang mampu menghadirkan surga ke dalam hatinya dengan kelezatan-kelezatan ruhani. Sosok manusia yang dinantikan ini, yang hatinya dibekali dengan pemahaman agung seperti ini adalah pribadi yang menyandingkan Sang Haq dalam kalbunya saat bersama dengan khalayak. Pada setiap perilakunya terdapat ketulusan, dalam setiap perkataannya terucap rintihan yang diderita rakyat.
Padanya tidak ada pertanda keegoisan yang mendominasi perasaan, tidak ada pula kesombongan dalam kesuksesan, maupun keriangan dalam kemenangan. Sebaliknya, dalam keadaan yang membanggakan, dalam saat-saat kemenangan, ia justru akan berada dalam sikap dan perasaan yang paling santun dan bersahaja. Kepentingan pribadi dan golongan sama sekali tidak akan pernah mengotori cakrawala pemikirannya. Kebencian dan kekejian sama sekali tidak akan pernah mengaburkan pandangannya. Bagi seorang ksatria kebijaksanaan ini, mencintai, memaafkan, dan tabah terhadap segala yang datang dari orang-orang yang dicintainya adalah idealismenya yang agung. Sementara itu bagi mereka yang menjanjikan kebahagiaan kepada umat manusia dengan keji dan pertumpahan darah, tidak lain hanyalah orang-orang malang berjiwa bocah yang bahkan telah ditolak oleh empat kitab agama-agama samawi. Seandainya saja umat dapat menyingkap sandiwara dari para kurcaci aktor intelektual ini maka mungkin mereka akan mampu melawan ketidaknyamanan yang diakibatkan. Namun sayang, Ia masih terlampau jauh dari kemampuan untuk dapat memberikan pada apa yang menjadi keharusan keberadaanya.
Discussion about this post