Diet “Seolah Sudah Kumakan” yang Efektif
Jika berkesempatan mengunjungi daerah Fatih di Istanbul, maka Anda mungkin akan melihat sebuah masjid terkenal di sana bernama “Masjid Seolah Aku Sudah Memakannya” (Sanki Yedim Camii). Sejarah masjid ini sama menariknya seperti nama masjid tersebut. Pada abad ke-18 tersebutlah seseorang bernama Kececi Hayrettin Efendi, yang tinggal di Istanbul. Beliau memiliki pola hidup hemat dan biasa menahan dirinya dari berbagai kesenangan hidup seperti makan makanan yang berlebihan. Setiap kali ia pergi ke sebuah restoran, ia mensugesti dirinya bahwa “seolah ia sudah memakan makanan yang disajikan” sehingga ia merasa sudah kenyang dan tak merasa perlu lagi membelinya. Tahun-tahun berlalu, dan suatu hari Kececi Hayrettin Efendi memutuskan untuk menghitung uang yang disimpannya dengan cara ini. Kagetlah ia ketika menyadari bahwa ia telah menabung cukup banyak untuk membangun sebuah masjid. Penelitian yang dilakukan oleh para ahli perilaku manusia dari Carnegie Mellon University telah menunjukkan bahwa pendekatan seperti yang dilakukan Kececi Hayrettin Efendi “seolah sudah kumakan” mungkin juga dapat menjadi cara yang efektif untuk mengekang nafsu makan seseorang. Selama penelitian, sekelompok relawan diminta untuk membayangkan makan banyak permen secara berulang-ulang sebelum makan M&Ms sebanyak apapun yang mereka mau. Sementara kelompok kedua diminta untuk membayangkan memasukkan koin ke dalam mesin cuci sebelum memakan permennya. Ternyata kelompok yang membayangkan makan permen akhirnya secara signifikan makan lebih sedikit M&Ms dibandingkan dengan kelompok kedua. Para peneliti melakukan percobaan yang sama dengan berbagai makanan lain dan menunjukkan bahwa orang yang terus-menerus membayangkan makan suatu makanan berkali-kali, ternyata hanya akan makan lebih sedikit dari makanan yang dibayangkannya tersebut daripada individu yang lebih sedikit membayangkan makan makanan yang akan dimakannya tersebut, atau pada mereka yang membayangkan makan makanan yang berbeda, atau tidak membayangkan makan makanan apapun sama sekali. Penelitian ini menunjukkan efektivitas dari pendekatan “seolah sudah kumakan” ini sebagai salah satu cara diet.
Morewedge C.K. et al., Science 330, 1530 (2010).
Otak Menegaskan: Belajar Membaca Tak Mengenal Batas Usia
Di masa ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini, pendidikan mempengaruhi setiap orang secara drastis. Selain untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik atau status sosial yang lebih tinggi, kemampuan membaca memiliki dampak yang amat menguntungkan bagi fungsi otak. Dalam sebuah penelitian, para ahli saraf kognitif mengidentifikasi bagian-bagian otak yang menjadi aktif pada saat seseorang membaca. Tiga kelompok (buta huruf, melek huruf yang belajar membaca di usia dewasa dan melek huruf yang belajar membaca sejak kecil) dibandingkan untuk melihat kegiatan otak mereka dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional. Penelitian ini tidak hanya membantu untuk menggambarkan kompleksitas dari sirkuit saraf otak saja, tetapi juga menunjukkan keunggulan fungsi otak kelompok yang melek huruf, seperti bagaimana mereka bereaksi atas rangsangan visual dan lisan. Hal yang menjadi kejutan dari studi ini adalah bahwa orang-orang yang belajar membaca di usia dewasa ternyata memiliki kegiatan otak yang sama dibandingkan dengan mereka yang belajar membaca di masa kanak-kanak. Hal ini menunjukkan bahwa literasi dapat mempengaruhi otak pada usia berapa pun. Padahal sebelumnya selalu diasumsikan bahwa otak menjadi kurang fleksibel seiring dengan pertambahan usia. Mengacu pada temuan baru ini, Brian Wandell, seorang ahli saraf di Stanford University, menekankan tentang kemampuan otak untuk beradaptasi dan berubah setelah memperoleh kemampuan membaca. Ia mengatakan, “Menunjukkan bahwa organ ini lebih responsif untuk belajar sepanjang hidup merupakan sebuah kontribusi yang nyata.”
Dehaene S. et al., Science 330, 1359 (2010).
Pencarian Ekstra Dimensi Bukanlah Pseudo-Sains Lagi
Hal masuk akal bahwa dimensi pendamping yang ada di luar 4 dimensi ruang (3 spasial + 1 dimensi waktu) bukanlah sesuatu yang baru. Upaya untuk mendamaikan mekanika kuantum dan relativitas umum menyebabkan perkembangan dari teori string di akhir tahun 60-an. M-Theory adalah sebuah ekstensi khusus dari teori superstring yang memprediksi bahwa sebenarnya terdapat 11 dimensi. Dikemukakan bahwa semua partikel sub-atom, seperti elektron dan quark bukanlah benda 0-dimensi, melainkan 1-dimensi getar “garis” atau “string.” String ini melengkung pada pola tertentu untuk membentuk partikel-partikel sub-atomik, yang kemudian bergabung melalui kekuatan nuklir untuk membuat atom-atom dan materi seperti yang kita ketahui. Meskipun dasar matematika telah lama didirikan untuk teori string, namun hingga saat ini belum teruji karena kurangnya penelitian resmi tentang hal ini. Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa masih mungkin untuk mengamati efek dari dimensi ekstra dengan menggunakan lubang hitam supermasif. Dikarenakan sangat terkonsentrasi pada gravitasi, lubang hitam membentuk kurva pada ruang di sekitarnya. Kurva ini mempengaruhi bahkan cahaya yang melewati mereka. Sebuah bintang yang berada tepat di belakang lubang hitam akan tampak seperti lengkungan atau sumber astronomi yang diterangi. Bahkan mungkin untuk membentuk apa yang disebut sebagai “cincin Einstein,” dimana latar belakang bintang muncul sebagai cincin cahaya sebagai gantinya. Satu studi baru-baru ini berpendapat bahwa, jika dimensi-dimensi ekstra tersebut tidak menyatu secara erat, maka cahaya yang melewati ruang-waktu melengkung mungkin akan menunjukkan anomalinya yang pada prinsipnya dapat dideteksi oleh teleskop yang sangat sensitif.
Bin-Nun A. Y. et al., Physical Review D 82, 064009 (2010).
Culturomics: Pengukuran Tingkat Budaya Melalui Buku
Sebuah tim peneliti dari Harvard University dan Google Books membuka sebuah tempat kuantitatif baru bagi kegiatan ilmu-ilmu sosial yang mereka namakan “Culturomics.” Mereka mengggunakan set data raksasa, yang dihasilkan sebagai hasil digitalisasi lebih dari 15 juta buku (yang diterbitkan antara tahun 1800 dan 2008, sekitar 12% dari total buku-buku yang pernah diterbitkan) dalam bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, Rusia, Cina, dan Ibrani. Set data ini mencakup lebih dari 500 miliar kata, dan dengan menggunakan perangkat online baru (http://ngrams.googlelabs.com/) Kita dapat dengan mudah mengetahui berapa kali suatu kata tersebut digunakan selama dua abad terakhir. Penelitian ini menunjukkan bagaimana umat manusia berubah di abad ke-20 ini. Misalnya, kemajuan teknologi di abad dua puluh menjadi bagian dari budaya hampir tiga kali lebih cepat dari sebelumnya di abad ke-19. Rata-rata, seseorang dapat menjadi terkenal dan kemudian kehilangan ketenarannya itu dua kali lebih cepat daripada di abad ke-19, dan penulis mengklaim bahwa tren untuk menjadi terkenal dan kehilangan ketenaran ini akan menjadi lebih cepat lagi di masa depan, dimana secara rata-rata “siapapun dapat menjadi terkenal selama 7,5 menit”. Para peneliti juga melihat sistem sensor pada masa Nazi Jerman dengan membandingkan buku-buku yang diterbitkan di Jerman dan Inggris dengan membandingkan popularitas ilmuwan dan penulis Yahudi yang terkenal. Tentu saja masih terlalu dini untuk menganggap bahwa pendekatan baru ini akan sepenuhnya mengubah cara para ilmuwan sosial melakukan pendekatan pada masalah mereka, namun yang pasti akan memberikan perspektif yang belum pernah terjadi sebelumnya pada ilmu-ilmu humaniora.
Michel J.B. et al., Science 331, 176 (2011)..
Discussion about this post