Selama berabad-abad, manusia berusaha untuk dapat mengukur hampir segala hal yang mereka temui dalam hidupnya. Bahkan, di masa ini masyarakat lebih suka menunjukkan massa, panjang, dan waktu dalam bentuk angka. Walaupun asal usul beberapa pengukuran belum diketahui, alat-alat untuk mengukur massa, panjang, dan waktu merupakan beberapa penemuan yang paling awal ada.
Sudah mafhum bila masyarakat fokus dalam hal ukur-mengukur ini, karena biasanya manusia sangat kritis dengan segala yang berkaitan dengan kehidupan sehari-harinya. Salah satu pengukuran panjang pertama yang pernah ada adalah teknik ‘hasta’ dari Mesir, yang berkembang pada tahun 3000 SM, yang berdasarkan tubuh manusia, salah satu alat terbaik pada masa itu. Satu ‘hasta’ sama dengan panjang dari siku hingga ke ujung jari tangan.
Sama halnya, manusia pada zaman dahulu menggunakan apa saja yang mudah mereka temukan untuk mengukur waktu, yang ditentukan berdasarkan pergerakan matahari. Manusia menggunakan jam bayangan matahari, jam lilin, jam air, dan kemudian jam pasir untuk mengukur waktu. Karena cara yang digunakan untuk mengukur berbeda-beda, maka pengukuran rentang waktu yang dipakai pun sangat bervariasi di suatu tempat hingga ke tempat lain, begitu pula pengukuran yang digunakan untuk mengukur massa dan panjang. Setelah dunia ini menjadi lebih terhubung, manusia membutuhkan suatu ukuran universal yang sama di semua tempat. Agar tidak terjadi kebingungan, maka sebuah unit standar pengukuran yang disebut sistem metrik dibuat oleh Prancis pada tahun 1790.
Konstruksi tak kasat mata
Dalam dua abad terakhir, fokus terhadap pengukuran berubah dari objek yang dapat diamati kepada konstruksi tak kasat mata seperti sifat, sikap, dan kemampuan. Konstruksi tak kasat mata ini didasarkan pada beberapa teori tertentu. Mereka tak dapat diamati maupun diukur secara langsung. Kita dapat mencoba mengukurnya melalui beberapa indikator yang bisa diamati, yang diasumsikan mewakili konstruksi yang mendasarinya. Singkatnya, mengukur karakteristik seseorang yang tidak bisa diobservasi secara langsung telah menjadi tantangan bagi para psikolog selama berabad-abad. Beberapa metode dikembangkan agar dapat mengukur dan menetapkan dengan baik karakteristik tak kasat mata ini. Saat ini, sebagian besar perkembangan pengukuran ini didasarkan pada penelitian terhadap sensitivitas manusia dari psikofisika klasik. Pada abad ke-19, Ernst Weber, Gustav Fechner, dan Herman von Helmholtz adalah beberapa ilmuwan pertama yang mencoba mengukur kesensitifitasan manusia menggunakan rangsangan sensoris seperti cahaya, suara, bau, rasa, dan tekanan.
Banyak ilmuwan sosial yang juga berusaha untuk dapat mengukur dengan angka beberapa fenomena yang tidak dapat diamati, seperti kecakapan, IQ, dan kepribadian. Pada 1905, seorang psikolog Prancis bernama Alfred Binet mengembangkan tes IQ Stanford-Binet untuk mengukur kecerdasan. Sejak saat itu, psikolog lain juga mulai mengembangkan berbagai macam tes untuk mengukur kecerdasan. Tes-tes ini biasanya digunakan untuk kepentingan pendidikan dan bisnis.
Prinsip dasar di balik suksesnya sebuah pengukuran adalah merancang sebuah alat yang mampu memperoleh pengukuran akurat dari apa yang ingin diukur. Terlepas dari kenyataan bahwa semua alat ukur bergantung pada berbagai tingkat kesalahan instrumen psikometrik, yaitu mereka yang mempelajari sains dari ilmu ukur, maka ilmuwan fisika mulai menggunakan pendekatan berbeda untuk menjelaskan dan mengurangi berbagai kesalahan itu. Ada beberapa perbedaan antara dua konsep pengajaran pengukuran ini. Singkatnya, Stanley Smith Stevens (1946), seorang psikolog Amerika, menjabarkan bahwa pengukuran sebagai “penempatan angka pada objek atau peristiwa berdasarkan beberapa aturan”. Definisi ini tentulah berbeda dari definisi ilmuwan fisika yang mengacu pada estimasi angka dan ekspresi dari besaran suatu kuantitas relatif terhadap yang lain (Michell,J.1997).
Kondisi-kondisi pengukuran yang tak bisa diobservasi
Mengukur objek tak kasat mata jauh lebih sulit daripada mengukur fenomena kasat mata, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi sebelumnya. Pertama, mereka harus diidentifikasi berdasarkan teori tertentu. Sebuah teori mendasar harus dapat menjelaskan penyebab dan hasil dari berbagai macam fenomena abstrak, sebagaimana hubungan fenomena itu sendiri dengan konstruksi lainnya. Kondisi kedua yang penting bagi sebuah objek, baik fisik ataupun tak kasat mata adalah adanya variasi. Seandainya kita mencoba untuk mengukur kecerdasan. Jika dalam satu kelompok, individu yang ada di dalamnya memiliki kecerdasan yang sama, maka tidak perlu ada perbandingan dan pengukuran. Sebagai tambahan dari dua kondisi ini, model matematika sangatlah penting untuk menghubungkan teori tersebut dan menjadi indikator yang dapat diamati. Karena model-model ini hanya dapat mengasumsikan variabel yang dapat diukur dengan adanya kesalahan, maka pengukuran kita mungkin tidak memperlihatkan kuantitas yang tepat.
Rene Descrates (1644) mengatakan bahwa, “jika sesuatu itu eksis, maka hal itu ada dalam jumlah tertentu. Jika sesuatu ada dalam jumlah tertentu, maka ia akan dapat diukur.” Di satu sisi, filosofi ini mengajarkan kita bahwa mungkin ada beberapa hal yang eksis dan belum terukur di dunia ini. Secara singkat, sebelum Santorio Santorio menciptakan termometer pertama, tak seorangpun dapat mengukur temperatur dengan angka. Bagaimanapun, temperatur itu ada, bahkan sebelum terciptanya manusia. Karena itu, ketidakmampuan manusia untuk mengukur sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu itu tak ada. Di sisi lain, seorang ulama dapat mengatakan bahwa ada beberapa objek metafisik yang dipercaya ada tetapi tidak bisa diukur. Oleh karena itu, keberadaan sesuatu tidak ditunjukkan dengan apakah hal tersebut dapat diukur secara kuantitas – atau mungkin, bukan oleh manusia.
Ada beberapa alasan mengapa kita harus optimis tentang pengukuran hal-hal yang tak kasat mata. Pertama, adalah karena hal yang tak kasat mata memiliki konsekuensi yang terlihat. Dengan demikian, kita dapat memperkirakan banyak karakteristik yang tak kasat mata dengan mengamati konsekuensi dari sifat seseorang misalnya. Mari kita ambil kepribadian sebagai contoh. Seorang introvert akan kesulitan berbicara di depan orang banyak. Pengamatan ini akan memberikan gambaran tentang tingkat percaya diri seseorang. Pengukuran dapat berfokus pada tujuan, refleksi perilaku dari sifat tertentu. Hal ini dapat diraih dengan membuat sebuah alat yang dirancang untuk mengukur karakteristik yang diinginkan. Pasien diberikan daftar pertanyaan tentang sifat yang ingin diukur. Jawaban dari persepsi pasien itu sendiri dapat menjadi indikasi tingkat percaya diri mereka. Tingkat persepsi diri sendiri tersebut berperan sangat penting.
Namun, berpegang hanya pada persepsi kita sendiri atau orang lain bukanlah hasil yang sempurna dari suatu pengukuran, sama seperti kita tidak mungkin melihat semua tentang diri atau dunia di sekitar kita. Pengetahuan kita sangatlah terbatas. Jika kita tidak dapat mengukur sesuatu karena hal itu tersembunyi atau karena ketidakmampuan kita untuk mengukurnya, bukan berarti hal itu tidak ada atau tidak dapat diukur. Meskipun Anto tidak akan pernah bisa menjawab dengan tepat pertanyaan sang istri tentang seberapa banyak ia mencintainya, tentu lebih aman jika ia mengatakan bahwa cintanya ada, walaupun kita tidak dapat mengukurnya.
Referensi:
Descartes, R. Principia philosophiae, Amsterdam 1644. Pt, 2, 57-59.
Michell, J. (1997). Quantitative science and the definition of measurement in psychology. British Journal of Psychology, 88, 355–383.
Stevens, S. S. (1946). “On the Theory of Scales of Measurement”. Science 103 (2684): 677–680.
Discussion about this post