Sebagian orang menjalani hidup tanpa berpikir, sementara sebagian yang lain menjalaninya sambil berpikir, tapi tidak pernah mewujudkan pemikiran mereka dalam kehidupan nyata. Padahal sebenarnya yang paling tepat untuk dilakukan manusia adalah menjalani hidup sambil berpikir dan berusaha menemukan terobosan pemikiran baru agar dapat membuka cakrawala pemikiran yang seluas-luasnya.
Sebenarnya, orang yang hidup tanpa pikirannya sendiri dapat disebut sebagai patung yang menjalani hidup untuk mengimplementasikan falsafah hidup “orang lain”. Mereka tidak pernah berhenti melompat dari satu bentuk ke bentuk lain tanpa pernah jemu untuk mengubah bentuk mereka meski sebenarnya mereka menyadari bahwa mereka hidup di tengah kebingungan antara perasaan dan pikiran, kekacauan kepribadian dan selalu harus menjadi bunglon baik dalam penampilan maupun tindakan.
Terkadang, mereka berbagi prestasi yang dicapai masyarakat dan terkadang mereka mengambil kesempatan ketika keadaan sedang tenang. Pada saat itu seakan-akan mereka bertindak berdasarkan pemikiran, perasaan, dan kehendak mereka sendiri. Tapi mereka tidak pernah dapat menenangkan diri dengan kebaikan yang muncul dari kehendak mereka sendiri, tidak akan pernah mampu mencapai keluhuran, dan tidak akan pernah bisa menghantarkan kebaikan apapun ke dimensi keabadian. Mereka laksana kolam air yang penuh air tapi kering dari berkah karena menebarkan bau busuk. Kolam yang berisi air buruk seperti itu pasti hanya akan menjadi sarang penyakit dan kuman sehingga tidak akan memberi manfaat apapun bagi kehidupan. Mereka adalah orang-orang yang sangat dangkal pikirannya sampai-sampai kita dapat mengatakan bahwa mereka adalah orang dewasa yang seperti anak kecil karena hanya meniru semua yang dilihat dan didengarnya. Mereka selalu mengekor di belakang keramaian di manapun adanya, tidak pernah mampu menemukan kesempatan untuk mendengar suara hati mereka sendiri atau untuk menelisik nilai-nilai luhur yang terpendam di dalam diri mereka sendiri. Bahkan sama sekali tak mampu mengetahui keberadaan nilai-nilai kebaikan yang diperuntukkan bagi mereka.
Orang-orang seperti itu akhirnya akan menjalani hidup seperti budak yang tidak memiliki kebebasan untuk merasa. Mereka selalu menghina segala yang telah mereka capai demi memenuhi kebutuhan fisik dan dalam wilayah yang sempit. Mereka telah mengubah anugerah yang Allah berikan kepada umat manusia dalam bentuk hati, kehendak, kepekaan, dan perasaan, menjadi perangkat remeh yang hanya dipakai untuk melampiaskan kesenangan fisik belaka. Mereka gemar menghabiskan hidup sebagai bohemian.
Bagi orang-orang dungu ini, hal-hal seperti kedudukan, popularitas, sikap oportunis, dan ketamakan dalam menjalani hidup adalah segalanya dan menjadi alat yang membuat mereka mau bergerak. Baik sadar maupun tidak, setiap hari dilewati dengan melakukan salah satu di antara sekian banyak hal buruk yang dapat membuat mereka binasa. Singkatnya, mereka adalah orang-orang yang selalu dengan senang hati menggorok leher mereka sendiri berkali-kali. Mereka gemar memperturutkan nafsu hewani dan menganggap dunia sebagai padang rumput gembalaan, tempat melampiaskan hasrat dan syahwat yang mereka asakan. Tidak pernah sedikit pun mereka mau berpikir untuk menjauhi kubangan kotor yang penuh dengan kuman berbahaya yang menjadi tempatnya berenang.
Kalau saja orang-orang itu mau mendengar ucapan Omar Khayyam, pastilah mereka tidak akan bertingkah seperti itu. Dalam syairnya Omar Khayyam berkata:
Jangan sibukkan dirimu dengan masa silam
dan juga dengan masa depan sebelum ia datang
Raihlah kesenangan dari apa yang sekarang
Karena malam biasanya tidak akan tenang
Di pihak lain, orang-orang yang hidup sebagai pemikir, selalu menjadikan hari-hari mereka sebagai pelabuhan atau jalan bagi kemunculan pemikiran atau ide-ide baru yang segar, sesuai dengan kualitasnya masing-masing. Usianya dihabiskan dalam kehidupan luar biasa yang melampaui zamannya, dengan segala kejutan dan keajaiban. Mereka adalah orang-orang yang menjadikan masa lalu sebagai mata air penuh berkah untuk diteliti kandungannya agar menemukan semerbak wangi di dalamnya. Mereka tak jemu membuka lembaran masa lalu layaknya seorang pembaca buku untuk kemudian menemukan bekal demi kehidupan mereka di masa depan.
Mereka siap menyambut masa depan dengan kehangatan jiwa sambil berusaha memberinya warna dan corak dengan cita-cita dan mimpi-mimpinya. Mereka senantiasa sadar bahwa “saat ini” adalah markas tempat menyusun strategi untuk mengimplementasikan pikiran dan ide yang mereka miliki di masa depan. Bagi mereka, “sekarang” adalah laksana bengkel tempat memproduksi berbagai produk yang diperlukan nanti, sekaligus menjadi jembatan untuk mengantarkan “teori” menuju “kenyataan”. Itulah sebabnya, mereka selalu berupaya sekuat tenaga untuk selalu berada di atas waktu dan tempat.
Dari satu sisi, mereka meneliti semua entitas dan zaman yang sedang berlangsung. Sementara di sisi lain, mereka berhasil melepaskan diri dari kungkungan kehidupan jasmani yang sempit menuju alam pemikiran yang luas sehingga dapat berkelana -ketika mereka masih hidup di dunia yang fana dan serba terbatas- menembus cakrawala tak terbatas di alam akhirat yang memiliki dimensi keabadian. Berkelana melintasi keabadian dengan pikiran, perasaan, dan cita-citanya sembari menjalani hidup bersama semangat keabadian. Menelisik ke dalam khazanah potensi yang dimiliki manusia pada kawasan anugerah ladunniyyah yang mereka gali di kedalaman hati mereka sendiri.
Mereka selalu berusaha sekuat tenaga menjaring berbagai macam kejutan dengan menggunakan jaring yang mereka bentangkan ke seluruh relung hatinya, agar dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbayang oleh imajinasi manusia. Dalam usaha itulah mereka dibimbing oleh ilmu, pengetahuan, dan pencapaian luhur yang melampaui batas-batas duniawi, menembus segala yang tinggi, dan bahkan mencapai yang paling tinggi di antara yang tinggi.
Orang-orang yang menjalani hidup seperti ini, menjadikan umur yang mereka miliki sebagai lahan bagi tumbuhnya pohon-pohon pemikiran, merekalah para bijak bestari (ahl al-hikmah) atau pahlawan falsafah hidup (abthâl al-falsafah). Ketahuilah bahwa mereka adalah para pengemban cahaya (rijâl an-nûr) yang telah mengukir sejarah manusia dengan indah bak sehelai kain sutra yang sempurna.
Berbagai pandangan hidup, falsafah hidup yang begitu beragam, ketinggian peradaban universal, dan kekayaan tamadun yang tersebar di keempat penjuru mata angin baik yang berasal dari dunia kuno maupun dunia baru, semuanya tidak lain adalah buah dari pemikiran para pahlawan itu. Maka dengan segala bentuk manipulasi, penyimpangan, dan penyesatan dari akarnya yang sejati, kita dapat mengatakan dengan keyakinan penuh bahwa sebagian besar umat manusia yang ada di bumi masih mengikuti warisan, semangat, dan ajaran masa silam, walaupun amatlah sulit untuk dapat mensinergikan antara kehidupan modern dengan pernyataan ini. Saya mengira bahwa kita semua akan selalu harus siap menerima fakta terhadap adanya kesalahan berkelanjutan, sebagai sebuah kewajaran untuk kita sikapi dengan prasangka baik (husnuzhan) dan interpretasi baik (husn ta’wîl) dan semua itu akan terus berlangsung sampai para “idealis” berhasil menemukan para pahlawan sempurna yang sama sekali tidak pernah menghadapi resiko penyimpangan dan manipulasi.
Berdasarkan kesimpulan ini, yang wajib kita lakukan saat ini –ketika kita masih berpegang kuat
pada akar spiritualitas kita adalah menyiapkan pahlawan-pahlawan yang mampu mengasah diri mereka dengan mendayagunakan potensi yang mereka gali dari diri mereka sendiri; yaitu para pahlawan yang saat ini mampu mengejawantahkan bait-bait syair nenek moyang kita ke dalam kehidupan nyata tanpa kesulitan yang berarti.
Selain itu, mereka juga harus mampu menjaga nyala api kesungguhan yang ada di dalam hati kita yang akan selalu terbarukan di setiap saat. Secara faktual, kita pasti akan selalu mengalami kehancuran parah disebabkan perbuatan orang-orang asing yang kejam, jika kita tidak kunjung dapat menemukan para pahlawan yang kita nanti-nantikan ini. Selama itu terjadi, seluruh umat manusia akan terus disibukkan dengan berusaha menuangkan semua dongeng masa lalu yang mereka miliki untuk mengisi kekosongan nilai-nilai universal yang memang selalu mencari sokongan dari luar. Ketika itu terjadi, maka instabilitas yang selama ini telah terjadi akan berubah menjadi krisis yang jauh lebih mengerikan, yang kemudian akan berlanjut lagi menjadi rangkaian kehancuran massal yang terjadi di mana mana.
Kita harus menyadari bahwa dunia kita saat ini, sejak beberapa abad terakhir- memang tidak lagi memiliki sistem pemikiran atau pun falsafah kehidupan yang dibangun di atas dasar dinamika keislaman yang mampu membentuk akar kebudayaan nasional kita, sehingga kita pun mengalami perpecahan parah, antara kita dan dunia global yang menjadi tempat tinggal kita. Itulah sebabnya, saat ini juga kita harus bisa memisahkan antara paham filsafat dan sistem pemikiran yang muncul dari para tokoh “penerjemah” filsafat Yunani yang berporos pada pemikiran Aristoteles, semisal al- Kindi, al-Farabi (al-Pharabius), Ibnu Rusyd (Averroes), dan Ibnu Sina (Avicenna), dengan sistem pemikiran serta falsafah hidup yang kita anut saat ini yang menghubungkan kita dengan ajaran Ilahi. Alasannya adalah karena ajaran Ilahi yang kita yakini, meskipun ia “kuno” karena berasal dari keabadian, tapi ia selalu “baru” dan bahkan selalu lebih baru dibandingkan “baru” itu sendiri, sebab ia selalu mampu untuk menjadi relevan di setiap masa.
Sistem filsafat hidup kita dibangun di atas penafsiran atas Lâhût (Sifat Ketuhanan), Jabarût (Alam Kemahaperkasaan), Malakût (Alam Samawi), dan Nâsût (Sifat Kemanusiaan), yang kesemuanya telah diketahui dengan baik serta disandarkan pada hakikat penciptaan.
Jika kita mampu memahami penafsiran ini dengan baik, maka kita pasti akan mampu menemukan sistem pemikiran (falsafah) kita sendiri. Dan itu berarti bahwa di saat yang sama kita akan menemukan sebuah jalan yang sangat lebar yang akan menghantarkan kita pada pembaruan seluruh alam semesta.
Jika kita tidak memiliki kesamaan dalam perasaan, pemikiran, dan karakter, maka kesatuan bangsa dan solidaritas antarkita hanya akan menjadi impian kosong belaka. Dalam semua sistem, logika bangsa, pemikiran, pertimbangan, inspirasi spiritual (wâridât arrûh) amatlah penting. Sistem pemikiran apapun selalu dapat mewujudkan kesatuan kepekaan, kesatuan logika, kesatuan pertimbangan, dan kemudahan untuk hidup bersama sebagai satu bangsa, dengan standar dan ukuran yang terbentuk dari kesadaran kolektif bangsa.
Sebaliknya, ketika perasaan, pemikiran, interpretasi, dan karakter bangsa saling bertentangan satu sama lain. Dan ketika pertimbangan dan rasionalitas saling berlawanan, maka semua gerakan dan tindakan pasti tidak akan membuahkan apa-apa. Dalam kondisi seperti ini, biasanya kehancuran total akan terjadi. Dalam sebuah masyarakat yang mengalami konflik atau kekacauan pemahaman dan interpretasi, setiap usaha yang dilakukan akan menjadi seperti ombak lautan yang saling
bertabrakan satu sama lain. Ketika itu terjadi, segala usaha akan selalu gagal karena masuk ke tengah pusaran kehancuran. Tapi jika kita mau sedikit mencermati kondisi seperti itu, kita mungkin akan dapat menemukan hikmah di balik ombak laut yang terus saling bertabrakan satu sama lain.
Di tengah masyarakat, tabrakan seperti itu hanya terjadi dalam bentuk pembusukan, disintegrasi, dan pengrusakan diri sendiri. Di tengah masyarakat rusak seperti ini, setiap orang akan menjadi serigala yang akan memangsa orang lain dan setiap pemikiran hanya akan menjadi rencana menuju kematian. Meskipun langit menurunkan hujan rahmat bagi masyarakat semacam itu, tapi mereka akan selalu berada di bawah ancaman kehancuran. Selain itu, nilai-nilai historis juga akan menjadi sasaran kehancuran, dan kesucian harus berhadapan dengan kebinasaan. Dalam masyarakat seperti ini, tidak ada tempat bagi loyalitas kaum tua, sebagaimana juga tidak ada tempat bagi keperwiraan kaum muda.
Generasi muda yang diharapkan dapat menjadi pahlawan dan kekuatan dinamis yang akan memikul tanggung jawab masa depan yang cerah di punggung mereka, ternyata di satu sisi justru merekalah yang mengejek bendera kebangsaan sambil mengutuk sejarah tanah air mereka sendiri, sementara di sisi lain mereka mengira bahwa masa depan adalah sebuah wilayah edan yang menjadi tempat untuk menampilkan kebobrokan mereka.
Sementara itu, kaum tua dan para cendekiawan yang telah mempersembahkan diri mereka untuk omong kosong yang mengerikan, mereka semua bertingkah seperti para pendukung kekotoran. Anda akan melihat mereka mempromosikan bohemianisme ke mana-mana sambil menuangkan air keras ke mata masyarakat dengan ucapan, tulisan, ekspresi, dan program-program acara yang mereka siarkan melalui media massa.
Pada masa seperti ini, ilmu pengetahuan dan sikap cinta pada ilmu dan pemikiran tidak akan pernah bisa merasuk ke dalam jiwa manusia. Kekuatan yang menjadi juru kampanye ideologi tertentu akan terus mempermainkan para pemegang kekuasaan seperti layaknya dalang yang memainkan wayang sehingga mereka akan saling memangsa satu sama lain. Pada masa seperti itu, logika dan inspirasi akan dipaksa untuk berjalan di gang-gang sempit yang rumit dan bersembunyi di balik simbol-simbol.
Di tengah masyarakat yang rusak seperti itu, tentu saja kehidupan akan menjadi siksaan yang mengerikan karena disesaki oleh konflik dan pertentangan, dan karena akal sehat telah digusur oleh ambisi dan hawa nafsu. Kita harus menyadari bahwa sistem pemikiran dan falsafah hidup kita sangatlah luas, karena ia mampu menjangkau alam yang “wujud” (existence), alam yang “belum wujud” (pre-existence), dan alam yang “di luar wujud” (beyond existence); ia juga menjangkau seluruh fenomena alam dan segala yang ada di baliknya sebagai sebuah kesatuan; bahkan ia juga mampu menjelaskan karakter dari seluruh kehidupan kita secara lengkap dan komprehensif.
Sistem pemikiran dan falsafah hidup adalah sebuah kerangka yang akan mewujudkan keadilan universal yang selalu ditunggu kemunculannya di bumi, dengan mengubah tatanan moral manusia menjadi sesuatu yang “mengalir” di tengah masyarakat berikut seluruh individu yang ada di dalamnya. Ia akan memenuhi semua kebutuhan umat manusia, sehingga dengan berada di bawah naungan falsafah hidup yang mereka yakini, masyarakat mampu melakukan pembaruan diri melalui pendidikan rohani, akhlak, keluhuran dan intelektual.
Selain itu, pemahaman kita terhadap peradaban dan kekayaan budaya kita juga akan menjadi kekayaan yang tak ternilai harganya di seluruh penjuru bumi. Dengan semua itu, kita dapat memperluas jangkauan pertolongan yang kita lakukan ke seluruh dunia untuk menunjukkan keunggulan pemikiran kemanusiaan, filsafat moral, pemahaman kita atas keluhuran, dan prinsip keadilan yang kita miliki. Kepala kita selalu tegak, karena pemahaman terhadap dunia dan akhirat selalu seimbang. Dengan tarikan napas stabil, berjalan menuju kebangkitan baru.
Saat ini, kita sedang menunggu fajar lain setelah fajar zaman ini. Jika kita dapat mengukur dengan baik dunia yang menjadi tempat kita hidup dari perspektif hikmah, kita pasti akan dapat menjelaskan segala hal dan semua kejadian dengan tepat. Kita juga akan dapat mengetahui kebutuhan dasar untuk membangun struktur internal masyarakat kita, dan sekaligus dapat berpegang teguh pada ide-ide yang muncul sampai kapanpun.
Apakah kiranya yang dapat menghalangi sebuah generasi berpandangan tajam untuk maju, sementara mereka mampu menghimpung masa lalu, masa kini, dan masa depan di satu tempat; mampu menjaga budaya, tradisi, dan dinamika sejarah masyarakat; dan mampu menjelaskan perputaran sejarah dengan kepribadian yang baru?
Terakhir, saya ingin kembali menjelaskan bahwa tanggung jawab kita yang paling dasar saat ini adalah membangkitkan kesadaran umat akan beratnya beban yang harus kita pikul sejak masa yang lalu, akidah keimanan yang meresap dalam jiwa, dan budaya yang mengakar kuat sesuai dengan kedalaman kepribadian bangsa. Semua itu dapat kita lakukan dengan meningkatkan kesadaran sejarah di tengah umat. Jika kita berhasil melakukan ini semua, maka setelah dua atau tiga generasi, kita tidak perlu membayangkan bahwa kita akan tetap hidup di negeri ini sambil bergantung pada lembaga-lembaga asing untuk menggerakkan spiritualitas dan moral kita. Ya. Kita memang sedang mencari bekal hidup di masa depan dari khazanah kekayaan masa lalu. Jika kita berhasil memadukan semua itu dalam budaya kita dengan bimbingan cahaya agama dan ilmu pengetahuan, niscaya kita akan berhasil membangun sebuah bangsa yang kokoh abadi sepanjang masa.
Discussion about this post