Meski telah bertahun-tahun berlalu, mengapa dosa-dosa yang pernah kita lakukan tak juga hilang dari ingatan, bahkan bisa pula menjadi pendorong kepada dosa-dosa yang sama?
Jawaban:
Ya, meskipun telah bertahun-tahun berlalu, sering kali dosa-dosa yang pernah kita lakukan tidak juga hilang dari ingatan kita, bahkan menjadi pendorong bagi dosa-dosa yang sama untuk kembali dilakukan. Kini, pemandangan-pemandangan yang mengingatkan kita pada dosa-dosa semacam ini telah menguasai jalanan kita. Kita pun menjadi bingung harus berbuat apa. Terkadang kita hanya dapat berdoa agar bisa meraih derajat syahid dan berharap menemukan jalan untuk membersihkan diri dari berbagai potensi dosa-dosa.
Ini bukan sebuah pertanyaan, melainkan suatu pengharapan dari hati yang murni. Ini adalah ekspresi penderitaan dari hati yang meniti perjalanan mendekati dan menuju pada Para Sahabat. Meskipun pasar dan jalanannya dipenuhi kubangan dosa, kita telah memutuskan untuk tinggal dan berada di dalam masyarakat ini. Dalam sebuah kesempatan yang berbeda, saya pernah menyampaikan curahan isi hati, tetapi mohon izinkan saya untuk menyampaikannya kembali sekali lagi.
Ketika saya berkesempatan menziarahi Rasulullah untuk pertama kalinya, dalam perjalanan ke Raudhah al-Thahirah1, meski sekejap saya merasa seperti hampir gila. Saya merasa seolah-olah akan bertemu Beliau secara langsung. Kiranya di mana Beliau, saya bertanya-tanya dalam hati sambil terus-menerus mencari dan melihat ke kanan dan ke kiri. Jika sekali pun pada saat itu semua pintu surga dibuka dan dikatakan “Masuklah!”, maka suasana hatiku saat itu menolaknya. Bisa dikatakan kondisi ini dikarenakan kecintaan yang teramat dalam pada Kampung Halaman Sang Nabi.
Namun saya memiliki wasiat bagi teman-teman semua. Jika misalnya, pada suatu hari nanti saya akan meninggalkan tempat ini dan pergi ke sana untuk kepentingan pribadi, maka biarkan mereka mencengkeram kerahku dan menyeretku untuk di bawa kembali ke sini. Jika tidak, di hadapan Tuhanku, maka kedua tanganku yang akan berada di kedua kerah kalian…
Nah, inilah dua sisi berbeda dari permasalahan ini. Di satu sisi, kerinduan yang tak terbendung pada ‘Kampung Halaman’ Sang Nabi, tetapi di sisi lain ada kewajiban untuk bertahan terhadap tugas yang ada di sini. Yang pertama adalah permasalahan yang sepenuhnya pribadi, sedangkan yang kedua adalah sebuah permasalahan khusus berkaitan dengan nasib seluruh bangsa, bahkan dunia Islam secara keseluruhan.
Satu per satu, kita semua dihadapkan pada pilihan yang sama. Kalian semua, setidaknya sebagaimana diri ini, pasti pula telah berada ada kecintaan pada akhirat sana. Namun kalian juga merasa berkewajiban untuk tetap tinggal di sini. Karena di sinilah bangsa kita kehilangan posisinya sebagai penyeimbang antarbangsa. Di sinilah generasi kita mulai binasa dan semuanya juga akan berakhir di sini. Jika suatu saat nanti secercah harapan akan kembali bersinar bagi bangsa kita menuju cakrawala yang bersinar, maka hal itu akan dimulai dari sini. Kita akan bertahan terhadap penderitaan, mengorbankan kemakmuran materi dan rohani, dan bertahan untuk tetap berada di sini.
Ya, saya mengakui bahwa dosa menghambat jalan kita, dan di setiap saatnya kita berhadapan dengan luka jiwa kita ini. Namun, terlepas dari hal itu, niat kita tulus dan lurus. Hanya ada satu pemikiran yang menghiasi hati kita. Dan itu adalah menjunjung tinggi agama Tuhan, menakhtakan Rasulullah di singgasana hati generasi penerus kita. Dan demi tujuan itu, kita rida dan rela terhadap segala musibah dan bencana yang akan menimpa, kita bertekad untuk tetap tinggal di sini. Oleh karena itu, kita memilih untuk tinggal di antara orang-orang dan bertahan terhadap siksaan mereka daripada menyendiri di gunung, mengasingkan diri di sana, dan berzikir di sudut-sudut guanya.2 Kita akan berdiri tegak di tengah-tengah masyarakat, dan kadang-kadang terlindas di antara paletnya. Meski begitu, kita akan tetap tinggal di dalam masyarakat, karena kita perlu melakukan tugas kita di sini, bahkan itu adalah sebuah kewajiban yang harus kita tunaikan di sini…!
Referensi:
- Istilah untuk menyebut makam Rasulullah di Masjid Nabawi.
- Tirmidzi, shifatul qiyamah 55; Ibnu Majah, fitan 23.
Discussion about this post