Bagaimana seseorang bisa mengatur keseimbangan nalar (logika) dan perasaannya?
Logika dan perasaan adalah dua perangkat kecakapan yang ada pada tiap insan. Dua kecakapan ini, dalam porsi yang cukup besar akan terbentuk berdasarkan faktor lingkungan tempat tinggal, tarbiah atau pendidikan yang didapat, buku-buku yang dibaca, interaksi dengan teman-teman, dan unsur-unsur lainnya. Berkat adanya faktor-faktor yang memegang peran penting pada pembentukkan logika atau perasaan seseorang inilah, maka terkadang sisi nalar seseorang dapat menjadi lebih dominan dan tanpa disadari dirinya menjadi lebih condong pada pemahaman rasionalisme. Bahkan jika tidak memperhatikan sumber-sumber penerimaan lain yang diberikan pada manusia dalam bentuk kasih sayang ilahi, manusia seperti itu akan kita dapati sebagai seorang rasionalis yang fanatik. Terkadang pula ada yang lebih cenderung pada perasaannya. Manusia yang berada dalam kondisi ini akan hidup dengan akal, nalar, dan pemikiran yang selalu dikorbankan pada perasaannya; duduk-berdiri dengan wasangka, dan menjadi seseorang yang menerima segala sesuatu hanya dengan perasaannya saja. Menurut saya, kedua kondisi ini sama-sama potensial pada bahaya, dan seperti sebuah jurang yang harus dilewati oleh manusia.
Bahaya ini dapat diatasi dengan menganggap Islam sebagai sumber-sumber ilmu (asbâb-I ilim), memahami dan menggunakan secara baik semua ‘berita terpercaya’, ‘akal’ dan ‘perasaan yang benar’. Jika kita gunakan pendekatan lain, maka semua peristiwa dapat dipahami dengan pendekatan yang dalam ungkapan lamanya disebut kolektif atau dalam ungkapan yang lebih modern disebut komprehensif/menyeluruh. Jika kita bisa meraih falsafah hidup, pandangan terhadap dunia, metode belajar dan pengajaran pada lingkungan teman yang memiliki nilai-nilai yang sama serta dengan buku-buku yang ditulis berdasarkan asas yang sama pula dengan pemikiran seperti ini, maka manusia akan bisa selamat dari bahaya besar ini. Sebaliknya mereka yang selalu berkutat pada ketidakseimbangan, terjatuh entah pada ifrath ataupun tafrith1, dan akan merusak keharmonian dunia maupun kehidupan.
Hingga pada penjelasan ini, jika kita ingin lebih meluaskan pembahasan ini, maka logika atau nalar adalah salah satu dimensi akal. Kita mengenalinya dahulu pertama kali melalui jalan imajinasi dan kita mengetahuinya. Di belakang hal ini, pada takaran tertentu, adalah pendekatan dari filsuf Yunani Aristoteles. Namun, sepanjang sejarah, interpretasi logika selalu dipresentasikan dengan berbagai variasinya. Para pemikir barat seperti Descartes, Bacon, Bernard Russel, dan yang lainnya. Memiliki pemahaman yang sama dengan imajinasi aristoteles dan mereka juga tertarik pada logika-logika alternatif lain yang disuguhkan dalam bentuk konsep-konsep lain seperti logika terapan dan logika hipotetis. Sementara di dunia kita, pada kitab ‘Kızıl İcaz’ (Mukjizat Merah), Ustad Badiuzzaman Said Nursi telah meletakkan sebuah pemahaman yang berada di tengah-tengah antara logika terapan dan logika hipotetik tersebut. Menurut saya, pada masa ketika di sekolah-sekolah masih kebingungan dengan imajinasi Aristoteles tersebut, Ustad Said Nursi telah berhasil melesat ke depan melampaui era-nya dengan sebuah pemahaman logika baru tersebut.
Sementara mari kita sisihkan sejenak tentang proses perkembangan logika pada sejarah, para pelopor, sumber-sumber, maupun sistem-sistemnya; dengan lebih berkonsentrasi pada hubungan antara konsep ‘Logika dan Kekosongan’: sebuah konsep yang hingga hari ini telah coba beberapa kali saya singgung dan khususnya akan sangat sesuai dengan kondisi saat ini. Satu hal, saat ini kita hidup di sebuah masa dimana Islam dikenali bukan dengan identitas sebenarnya. Pada masa dengan kondisi seperti ini, kita yang datang ke dunia ini dengan takdir Ilahi, keberhasilan kita, baik individu perorangan maupun secara masyarakat, dalam takaran yang besar bergantung pada logika, pertimbangan, dan kesenjangan yang ada antara kekosongan perasaan. Dengan pernyataan ini, saya ingin menyampaikan bahwa kita harus mempertimbangkan dan memikirkan setiap permasalahan yang hadir pada makna yang lebih umum dan mutlaknya dalam hubungan sebab-akibat. Sehingga berdasarkan hal ini, berpikir logis adalah berarti menggunakan 100% semua bagian yang berkaitan dengan akal kita. Persis seperti yang dilakukan para Nabi. Walaupun tentu saja, kita tidak tahu secara tepat bagaimana akal para Nabi dan sejauh mana mereka menggunakannya. Berapa persen akal mereka yang mengarah pada dunia fisik dan berapa persennya yang terbuka pada alam metafisik? Apalagi seberapa terbukanya kita pada cakrawala bait ini?
Tak lagi menjadi ruang, ruangku
Telah sepenuhnya milik-Nya, tubuhku
Tatapan Ilahi telah jelas beradu
Kulihat pada perjumpaan, terpukaunya diriku
Dalam konteks ini, setiap kata dari bait tersebut menunjukkan betapa tidak mungkinnya kita menganalisis atau sedikitpun masuk pada pemikiran para nabi sehingga kita seperti buta, tuli, bisu dan lumpuh tentang hal ini. Yakni, tak ada satupun ilmu yang bisa menjangkaunya. Sejauh ini, sesungguhnya hal-hal luar biasa yang ditunjukkan oleh para nabi dan rasul menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan kemanusiaan pada batas akhirnya, sehingga perihal logika atau nalar juga dapat kita pahami seperti ini juga. Sesuatu yang secara istilah kita sebut sebagai ‘fatanah’2 ini, adalah sebuah kecakapan khas milik para nabi yang tak mungkin dicapai atau dipahami oleh siapa pun. Oleh karena tingkatan ini adalah sebuah batas akhir dan kesempurnaan, yang merupakan kekhasan para nabi. Sehingga ketika sampai pada titik itu, maka hal biasa telah habis; sementara kehebatan, kecemerlangan dan hal-hal spektakuler akan dimulai.
Ya, sebagaimana jasad tubuh adalah selubung bagi struktur spiritualitas kita; hati yang terdapat pada bagian eksternal adalah sisi luar dari kehidupan kalbu manusia, begitu pula otak adalah wadah bagi akal, logika dan pertimbangan yang sesungguhnya serta kulminasi ini ditunjukkan pada makna yang paling sempurna oleh para nabi dan rasul.
Pada tulisan ini ingin saya sampaikan juga kekhawatiran bahwa teknik dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang ini, juga dapat memengaruhi kepasifan otak manusia pada ukuran tertentu. Misalnya, para siswa tidak lagi merasa perlu untuk menghafalkan tabel perkalian karena merasa yakin dapat setiap saat memecahkan masalah perkalian tersebut menggunakan telepon genggam atau jam pintarnya. Hal-hal seperti ini akan menghambat aktifnya bagian-bagian otak. Tentu saja, manusia harus bisa memanfaatkan fasilitas teknologi yang ada, namun dengan syarat tidak merusak keseimbangan dirinya. Pada contoh tentang tabel perkalian di atas misalnya, kita tidak boleh melalaikan fungsi memori ingatan, jika yang kita temui hanya masalah perkalian sederhana, maka tidak seharusnya menggunakan komputer atau kalkulator, karena di satu sisi ketika keberadaan komputer membantu memudahkan kerja memori otak, namun di sisi lain juga harus ada rencana atau persiapan agar pikiran tetap terus dilatih.
Tentang hal ini, dengan segala keterbatasan, saya ingin sedikit membahas bagian yang berkaitan dengan bidang kedokteran walaupun bukan merupakan bidang keahlian saya, namun lebih karena terkait dengan perhatian saya atas kepentingannya: saat ini ketika ilmu kedokteran terbagi pada berbagai bidang berbeda, maka ilmu ini mengalami sebuah periode spesialisasi yang sangat penting. Spesialisasi penyakit dalam, kulit, mata, telinga-hidung-tenggorokkan dll. Namun ada satu prinsip yang tak bisa dilupakan, bahwa manusia adalah ‘Kullun la yatajazza’- yakni manusia adalah sebuah kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karenanya, masalah pendengaran, telinga yang berdengung, dan penyakit-penyakit serupa lainnya, jika sebabnya karena sebuah masalah pada kelenjar atas ginjal, maka ahli THT akan kesulitan mengambil kesimpulan hanya berdasarkan bidang spesialisasinya saja. Oleh karena itu, analisa yang benar hanya dapat diambil dengan memandang manusia sebagai satu kesatuan dan dengan memahami hubungan antara setiap bagiannya. Hal inipun, bersama-sama dengan bidang spesialisasi THT, dibutuhkan pula kerjasama dari bidang-bidang lain, setidaknya di tataran ensiklopedia pengetahuannya. Jika tidak, kekosongan yang ada pada bidang-bidang di luar spesialisasi tersebut, harus ditutupi dengan teknologi komputer.
Ya, manusia adalah sebuah semesta kecil; sebagaimana alam semesta adalah sebuah kesatuan yang tak mengabulkan separasi dan diferensiasi; maka begitu pula mulut, lidah, mata, telinga adalah sebuah kesatuan dengan semua organ-organ serta unsur lain di tubuhnya. Salah satu sisi lain dari masalah ini adalah pada awal pertimbangan akal dan logika: memisah-misahkan (diferensiasi) dari segala sesuatu dapat menyebabkan kekacauan. Padahal segala sesuatu tidak bisa diibaratkan sebagai materi semata. Badiuzzaman memiliki pendapat yang luar biasa tentang hal ini ‘Barang siapa selalu mencari segala sesuatu pada materi, maka akalnya akan turun ke mata. Sementara mata, buta pada spiritualitas’.1 Maka pada hal di mana mata telah buta, basirah atau mata batin haruslah yang mengambil alih. Saat ini para ahli yang mati-matian melakukan penelitian di laboratorium, di samping penemuan dan inovasi secara fisik, hingga saat ini saya masih jarang menemukan mereka yang juga memperhitungkan hal-hal metafisik, anti-materi, atau anti-neutron. Biasanya mereka sangat tertutup pada alam metafisik. Ketika segala sesuatu hanya dinisbahkan pada materi semata, maka logika dan pertimbangan mengabaikan banyak dimensinya. Semesta tampak sebagai sebuah permukaan bumi yang luas, namun pertimbangan pemikiran selalu berada pada bidang yang sempit.
Pendapat seorang pemikir berikut ini menjelaskan hakikat ini dengan sangat jernih dan kita semua mengalami sebuah kekosongan pada logika dan pertimbangan dalam makna yang sesungguhnya: ‘Agama tanpa ilmu akan pincang, sementara ilmu tanpa agama akan buta.’ Saya rasa akan sangat bermanfaat jika kita tutup pembahasan ini dengan memerhatikan kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, berkaitan dengan pembahasan logika, pertimbangan dan pendapat Beliau tentang hal ini. Ya, karena bagi kita, Beliau adalah sumber kehidupan. Oleh karenanya, siapa saja yang tak meniru Beliau dalam keyakinan, pemikiran, dan perbuatannya, tak berjalan di belakang petunjuk-petunjuk Beliau, takkan bisa memahami arti kehidupan yang sesungguhnya Takkan mungkin menemukannya, karena mereka tak menemukan sumber kehidupan yang sebenarnya. Di satu sisi, manusia seperti itu akan kehilangan Akhiratnya, sebagaimana ia kehilangan dunianya. Oleh karena itu, siapa saja yang tak ingin kehilangan dunia maupun akhiratnya, harus berusaha selalu berada di bawah cahaya panduan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Referensi:
- Ifrath dimaknai sebagai sikap berlebih-lebihan sementara tafrith adalah lawannya, yang berarti sikap meremehkan/memudah-mudahkan sesuatu.
- Fatanah berarti pintar, cerdik, cerdas, sebuah kemampuan yang menjadi ciri Rasulullah SAW.
- Ungkapan ini bermakna bahwa orang seperti ini hanya akan percaya pada penglihatan saja tanpa mempertimbangkan unsur ruhani
Discussion about this post