Seorang ibu mengaku amat resah saat menyadari anak laki-lakinya yang telah beranjak SMA belum juga memiliki seorang pacar. Lalu sang ibu sibuk mengajari anak tersebut bagaimana agar segera bisa memiliki kekasih hati. Belum cukup dengan hal itu ibu dan ayah dari anak ini bahkan memberikan ‘iming-iming’ tambahan uang saku dan fasilitas kendaraan bila si buah hati berhasil mendapat pacar. Keadaan ini semakin diperparah dengan banyaknya film dan tayangan televisi yang mengarahkan generasi muda untuk mengikuti pola hidup hedonis. Maka tak heran jika beberapa waktu lalu dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan adanya pesta bikini yang diadakan sebelum dan sesudah UN dalam rangka pelepas kegembiraan para remaja tersebut. Lebih miris lagi saat perayaan hari kasih sayang atau valentine day lalu, beberapa anak usia SD mengirimkan tweet atau status FB yang mengumbar status bernada mesra pada ‘teman khususnya’ dengan bahasa yang masih belum pantas mereka gunakan.
Jika ditelusuri lebih jauh kita dapat melihat mata rantai yang hilang dari pendidikan agama anak-anak dan generasi muda saat ini, dan mungkin sudah sejak lama, yaitu rasa malu atau hayâ yang terlupa untuk diajarkan bahkan seringkali disalah artikan. Benar adanya bahwa betapa beruntungnya anak-anak di Indonesia yang bisa belajar mengaji dan shalat sejak usia mereka amat dini, sementara mungkin di belahan bumi yang lain ‘nikmat’ ini sulit untuk didapat. Namun sayangnya pelajaran agama yang didapatkan anak dari sejak mereka kecil tidak dibarengi dengan pemahaman moral dan iman yang benar-benar terpatri di hatinya, dan sesungguhnya salah satu cabang dari iman adalah malu. (HR. Muslim, al-Îmân 57 , 58)
Konteks malu ini sendiri seringkali salah dipersepsikan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat kita mengartikan malu sebagai perasaan tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang tidak baik atau karena memiliki kekurangan. Sehingga sejak kecil anak-anak telah diajarkan untuk ‘berani tampil’ dan tidak merasa malu. Padahal malu yang dalam bahasa Arab disebut al-hayâ, al-khajal atau al-hisymah diartikan sebagai menjauhi segala yang tidak diridhai Allah karena takut dan segan kepada-Nya. Ketika sikap ini berpadu dengan perasaan malu yang telah ada secara naluriah di dalam watak manusia, maka hal tersebut akan membentuk orang tersebut memiliki hubungan erat dan jalinan kuat yang sesuai dengan nilai-nilai adab dan kehormatan.¹ Sementara menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, hayâ adalah sebuah tabiat yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan dan mencegahnya dari meremehkan kebaikan.²
Betapa kontras kedua pemaknaan malu ini sehingga para orang tua yang belum memahami esensi dan pentingnya rasa malu justru mendorong anak-anaknya dari sejak balita untuk justru mengurangi bahkan menghilangkan rasa malu yang sesungguhnya adalah fitrah manusia. Jika dalam sabdanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: “Malu hanya akan mendatangkan kebaikan” (HR. Bukhari, Adab: 77). Maka bisa kita bayangkan keburukan apa yang akan menimpa sebuah generasi yang terus ditekankan untuk tidak malu. Padahal perasaan yang pertama muncul pada seorang manusia adalah hayâ atau rasa malu.³ Begitu pentingnya rasa malu ini hingga dalam hadis yang lain beliau mengingatkan kita: “Jika kau tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari, Adab:78). Maka amatlah jelas terlihat bahwa perilaku sesuka hati yang terus menggejala semakin parah akhir-akhir ini adalah karena manusia seringkali telah amat kehilangan fitrahnya dalam menjaga malu yang sesungguhnya adalah akhlak seorang mukmin sejati.
Banyak perilaku sehari-hari yang sering kita anggap sepele namun perlahan-lahan telah mengikis fitrah malu yang ada pada diri kita. Dengan gampang kita memuji wanita lain di depan suami atau sebaliknya bangga saat ketampanan suami dikagumi oleh wanita lain adalah pintu malu yang seringkali lupa kita tutup. Bahkan maraknya media sosial berbasis internet telah membuat kita menjadi-jadi dalam sikap tanpa malu massal. Di masa ini orang dapat tahu pasti apa yang kita lakukan dengan suami, kemana kita pergi dengannya dan kegiatan pribadi lain yang seharusnya menjadi batas privasi kita dan keluarga lalu justru menjadi konsumsi publik hanya dengan melihat status dan foto yang kita unggah di internet. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata: Janganlah seorang wanita memandang dan mengagumi wanita lain, lalu ia menceritakan sifat-sifatnya kepada suaminya seakan-akan suaminya sedang memandangnya.(HR .Bukhari dan Muslim)
Hayâ, Adab dan ‘Iffah
Menurut Dr. M. Selim Ark secara singkat hayâ atau malu adalah akhlak saat seseorang meninggalkan yang buruk dan memilih pada yang baik, sedangkan ‘iffah adalah meletakkan akhlak baik terpilih tersebut menjadi karakter dalam dirinya. Bahkan kaum Nabi Luth diazab oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala karena mereka telah kehilangan sifat hayâ dan ‘iffah tersebut. ‘Iffah dapat dipahami dalam konteks yang amat luas namun yang berhubungan dengan malu dan adab adalah yang didefinisikan oleh Imam Al-Jahiz sebagai kontrol jiwa yang dapat menghindarkan seseorang dari kendali nafsu syahwat.Sementara Adab adalah perasaan kebersamaan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan berada dalam pengawasan-Nya. Adab lah yang akan mengantarkan kita pada usaha untuk selalu melakukan segala sesuatu dan bersikap sesuai dengan apa yang akan menjadi keinginan Allah dan Ridha-Nya (QS. Al Fajr:14 dan QS. An-Nisa:1). Bagi seorang Mukmin, adab juga merupakan senjata yang akan menghancurkan bisikan syaitan. Maka amatlah merugi jika kita menghilangkan bagian besar hayâ, ‘iffah dan adab dalam rangkaian pendidikan akhlak bagi anak-anak kita. Dikatakan bahwa jika kita tidak mengajarkan adab bagi generasi sesudah kita maka hal tersebut sama artinya kita telah memudahkan jalan bagi mereka yang mau menghancurkan generasi tersebut. Sekelompok anak muda yang tak lagi memiliki rasa malu, menjauhkan dirinya dari ‘iffah dan kehormatan dirinya serta tak lagi menghias perilakunya dengan adab mulia maka jalan kerusakan telah membentang di depan mata. Diriwayat dalam sebuah kisah di masa lampau bahwa seorang tuan amat menginginkan bersama istri dari tukang kebunnya yang amat cantik. Maka dibuatlah alasan darinya untuk mengirimkan si tukang kebun ke tempat yang jauh agar ia berkesempatan hanya berdua dengan wanita tersebut. Setelah si tukang kebun pergi, si tuan memerintahkan wanita itu untuk menutup semua pintu tamannya yang luas. Menyadari niat jahat sang majikan wanita tersebut bersembunyi di balik sebuah pohon sambil mengatakan bahwa ia sudah menutup semua pintu namun ada satu pintu yang tidak juga mampu untuk ditutupnya. Sang majikan bertanya pintu yang manakah yang ia maksudkan. Wanita itu berkata bahwa itu adalah pintu Allah yang dengan sifat Basyir-Nya mampu melihat segala yang kita lakukan. Mendengar jawaban wanita tersebut malulah sang majikan pada Allah dan ia mengurungkan rencana buruknya itu.
Teladan sifat hayâ dan ‘iffah pada masa Lalu
Al-Qur’anul Karim mengabadikan banyak kisah yang menunjukkan sifat-sifat mulia ini. Pada awal masa kenabian Musa as meninggalkan negeri Mesir dan diperintahkan untuk menuju Madyan. Di negeri itu, tinggallah Nabi Syuaib as dan keluarganya. Ketika Nabi Musa sampai di sebuah sumber air ia menjumpai sekelompok orang sedang meminumkan ternaknya pada mata air tersebut. Musa mendapati, di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang membawa ternak untuk keperluan sama. Mata air tersebut ditutup oleh sebuah batu besar yang konon membutuhkan 10 orang laki-laki untuk menggesernya. Namun dengan izin Allah, Nabi Musa yang amat kuat tersebut mampu menggeser batu besar tersebut dan ia membantu kedua putri Nabi Syuaib memberi minum ternak mereka. Pada Surat Al Qashash ayat 25 diceritakan mengenai sikap malu putri Nabi Syuaib yang menutup wajahnya saat bertemu Nabi Musa. Ayat tersebut menjelaskan, seharusnya begitulah sikap seorang wanita yang senantiasa menjaga kehormatan dirinya saat berhadapan dengan laki-laki yang belum dikenalnya.
Ahmat Bahjat dalam bukunya Sejarah Nabi-Nabi Allah menyebutkan, ketika salah seorang anak perempuan Nabi Syuaib memintanya untuk datang menemui orang tuanya, Musa berjalan di belakang wanita tersebut. Musa senantiasa menundukkan pandangannya ke bawah, tanpa melihat ke arah depan, di mana perempuan itu menjadi penunjuk jalan. Ketika angin bertiup kencang sehingga menerpa tubuh, tersingkaplah kain yang menutup kaki si wanita. Maka dengan serta merta Musa merasa malu. Maka ia meminta si wanita berjalan di belakangnya dan Musa di depan. Ia berkata: “Saya akan berjalan di depanmu dan tunjukkanlah jalan kepadaku.” Dalam keterangan lain disebutkan: “Jika saya salah jalan lemparkanlah batu ke arah jalan yang benar.”4 Betapa mulia cara Nabi Musa dan kedua putri Nabi Syuaib menjaga kehormatan mereka. Walaupun sesungguhnya dalam kisah tersebut jelas tergambarkan betapa perkasa dan kuatnya Nabi Musa as. namun fisik yang kuat justru semakin bertambah hebat dengan kekuatan hayâ dan ‘iffah beliau dalam bersikap sehingga polesan adab yang luar biasa ini justru menjadikan kecintaan Nabi Syuaib pada pemuda Musa dan menikahkannya dengan putrinya tersebut. Betapa rindunya kita pada sosok pemuda dan pemudi saleh seperti ini.
Pada masa Kesultanan Utsmaniyah masyarakat memiliki tradisi yang amat menjaga adab dan hayâ seseorang. Bahkan di depan pintu rumah setiap penduduk disediakan dua jenis kayu pengetuk pintu. Satu buah kayu ukiran berukuran besar sementara kayu yang satu lagi berukuran kecil dan ramping. Jika tamu yang datang laki-laki maka ia akan memakai kayu yang besar untuk mengetuk pintu sehingga menghasilkan suara ketukan keras. Hal ini menjadi penanda bagi si empunya rumah bahwa yang datang adalah tamu laki-laki sehingga yang akan membukakan pintu pun laki-laki yang ada di dalam rumah. Jika sekiranya di dalam rumah tersebut hanya ada perempuan maka setidaknya ia tidak akan membuka pintu terlalu lebar dan akan berbicara dari balik pintu. Sebaliknya kayu yang kecil akan dipakai oleh tamu perempuan dan akan menghasilkan suara ketukan yang lebih ringan. Suara ketukan ini akan membuat laki-laki yang ada di rumah masuk ke dalam ruangan lain agar tamu perempuan lebih leluasa berkunjung. Dengan cara ini adab dan hayâ tuan rumah maupun tamu akan saling terjaga. Masih pada masa yang sama di jendela rumah penduduk akan diletakkan bunga sebagai perlambang atau tanda. Warna bunga mencerminkan pesan yang ingin disampaikan oleh si pemilik rumah. Jika di jendela rumah diletakkan bunga berwarna merah maka hal ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tersebut ada seorang anak gadis yang sedang tumbuh dewasa, bunga ini memberi simbol agar orang-orang yang lalu lalang di depan rumah tersebut lebih menjaga pembicaraannya sehingga si gadis terjaga dari mendengar perkataan yang buruk. Bisa dibayangkan betapa pada masa-masa itu akhlak seorang anak perempuan yang kelak adalah calon ibu amat dijaga tidak hanya oleh keluarganya tetapi juga oleh lingkungannya.5
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah mengingatkan kepada para sahabat mengenai pentingnya bersikap malu. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra. bahwa Rasulullah bersabda “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” Kami menjawab: ‘Ya Rasulullah kami sudah merasa malu kepada Allah.’ Rasulullah bersabda lagi: “Bukan begitu yang disebut malu! Sesungguhnya yang disebut sebenar-benar malu kepada Allah adalah menjaga kepala beserta apa yang dikandungnya, menjaga perut serta apa yang ada di dalamnya, dan hendaklah ingat pada kematian dan musibah. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka ia harus meninggalkan perhiasan dunia, dan barangsiapa yang telah melakukan demikian, maka dia termasuk orang yang benar-benar malu kepada Allah.”(Al-Hakim, Al-Mustadrak: Kitab Ar-Riqaq no:7915).
Sumber:
- M.Fethullah Gülen, Kalbin Zümrüt Tepeleri, Nil yayıları, 2001, hal. 129
- Mahmud Musthafa Sa’ad, Dr.Nashir Abu Aamir Al-Humaidi, Golden Stories, Kisah-Kisah Indah dalam Sejarah Islam, Pustaka Al-Kautsar, 2013, hal. 768
- Prof. Dr. Ibrahim Canan, Hz. Peygamber’in Sunnetinde Terbiye, Işık yayınları, 2013, hal. 123
- Syahruddin El-Fikri, Situs-Situs dalam Al Quran; Dari Banjir Nuh hingga Bukit Thursina, Republika, Jakarta, 2010, hal. 186-187.
- htttp ://Osmanlı Kulturunu Yasatma Dernegi.com
Penulis : Astri Katrini Alafta
Discussion about this post