Sudah sepekan ini ia sangat bahagia dengan hasil perjuangannya selama tiga tahun, bahagia dengan kelulusannya sebagai siswa kelas tiga pada salah satu SMA di Bima.
Alek, seorang siswa kelas tiga SMA. Baru sepekan lalu mendapatkan kabar gembira bersama teman-teman seangkatannya, kabar tentang kelulusannya. Walaupun tak bisa menjadi siswa dengan nilai terbaik di sekolahnya, namun ia tetap merasa bahagia dan bersyukur. Apalagi hari ini, kebahagiaan itu dilengkapi dengan dengan kabar yang lebih menggembirakannya. Bahwa Ina Sei1 Ibunya, meridhoi niat Alek untuk melanjutkan studi ke kota pendidikan, Yogyakarta. Rencana yang telah dirancangnya tiga bulan lalu. Itupun setelah mendapatkan kabar dari Agil, abang satu kampungnya yang sedang menempuh studi di kota Budaya, Yogyakarta.
Sore itu, usai solat ashar keesokan harinya, sarangge2 di depan rumahnya cukup ramai, tidak seperti hari sebelumnya. Selain ramai, sore itu sarangge di penuhi oleh para sepuh yang terkenal bijak di kampungnya, Ncera. Suasana dan pandangan baru yang membahagiakan itu bukanlah tanpa alasan. Angin adalah pembawa berita gembira akan datangnya hujan. Begitupun dengan kehadiran para sepuh yang memenuhi saranggeIna Sei sore itu. Berita keberangkatan Alek putranya telah di ketahui oleh orang-orang di kampung mereka, termasuk para sepuh yang sedang duduk dalam satu sarangge dengan Alek sore itu. Masih kentalnya tradisi oral di kampung, membuat berita sangat cepat menyebar, tak butuh brosur atau sekedar selebaran apalagi spanduk berukuran besar untuk menyebarkan berita di kampung tersebut. Kabar apapun akan mengalir dari mulut ke mulut bak air dalam sungai. Walaupun kadang-kadang berita yang menyebar, membuat mereka yang terpelajar seperti Alek “tertawa” karena berita kematian semut akan berubah menjadi kabar kematian seekor gajah.
Bagi orang-orang di kampungnya. Merantau ke tanah yang jauh, apalagi untuk memperdalam ilmu pengetahuan adalah perjalanan yang hampir sakral. Selain seorang yang merantau harus mampu secara ekonomi, yang terpenting adalah harus diimbangi dengan niat yang tulus dan keyakinan yang kuat untuk mencapai tujuan. Serta harus dilandaskan pada kesadaran pengabdian kepada dana ro rasa3 dan dou labo dana4. Hal tersebut pun berlaku pada Alek, sebagai salah pemuda pangkuan harapan masyarakat dan bangsanya.
Suasana sore yang damai nan bersahaja, dirasakan oleh Alek. Kedamaian dan kesahajaan yang dilengkapi kehadiran para sepuh di sekitarnya, membuat hatinya terasa nyaman. Terlebih lagi apa yang dibicarakan oleh sepuh-sepuh bijak itu, berisi tentang pentingnya ilmu dalam kehidupan suatu masyarakat.
“Ilmu itu ibarat obor dalam suatu ruangan luas nan gelap” kata pak Ahmad, salah satu sepuh di kampung itu. “Tidak sembarang orang bisa mengambil obor itu untuk menerangi sudut-sudut yang tak terjangkau cahayanya, kecuali orang yang sadar. Orang yang sadar itulah yang berilmu itu”. Lanjut beliau penuh kehalusan.
Kedamaian dan kebahagiaan menyertai suasana sore itu. Ditemani para sepuh bijak dengan petuah-petuah mereka yang mengandung pesan-pesan nilai kebajikan. Membuat keyakinannya makin kuat dan kepribadiannya terbentuk. “Enam hari lagi, saya akan meninggalkan kampung ini,” kata Alek pada para sepuh dan sahabatnya Arif, yang baru saja bergabung dan duduk bersama dalam satu sarangge dengan mereka. Dirinya akan melewati dua pulau dan menyeberangi tiga lautan untuk sampai pada kota miniatur Indonesia, Yogyakarta. Dua setengah atau hampir tiga hari adalah waktu yang akan ia habiskan dalam perjalanan. Enam hari adalah waktu yang cukup lama, jika menunggu momen keberangkatannya. Enam hari juga bukanlah waktu yang lama, karena harus meninggalkan daerah, kampung dan terutama Ibunda serta kebersamaannya dengan teman-teman dan orang-orang di kampung. Ia merasakan dilema jika memikirkan tentang itu, enam hari lagi akan segera pergi dan harus meninggalkan orang-orang yang telah bersamanya selama ini. Namun tiba-tiba dilema itu hilang dan sirna, bagai debu diterpa badai, setelah ia menyimak pesan Guru Hima sapaan untuk Pak Mahmud Guru Ngaji di kampungnya.
“Menuntut ilmu itu penting nak, walau harus meninggalkan tanah kelahiran dan keluarga.”
“Jangankan kau yang masih muda.” katanya sambil memandang wajah Alek
“Yang sudah tua pun sangat penting, jika memungkinkan”. Lanjut beliau, seakan menantang kesungguhan Alek.
Hari semakin sore, di ufuk barat matahari hampir tak terlihat dan sebentar lagi akan bersembunyi di balik gunung. Menyisahkan pantulan cahaya jingga pada atap-atap langit dan kepulan awan sore. Mungkin sebentar lagi suara beduk di Masjid besar akan terdengar, pertanda waktu magrib sudah tiba. Tapi, kini suara khas benda itu belum jua menggema.
“Nak, tiada uang dan emas yang mampu kami berikan kepadamu.” Kata Pak Karim yang sering di sapa Guru Kero itu usai menyirup kopi yang disuguhkan Ina Sei sedari awal tadi.
“Hanya ini…, hanya ini yang bisa kami berikan, hanya ini bekal dari kami.”
“Maja labo dahu.”6 Lanjut Guru Kero. Oh, adagium itu sering Alek dengar, tetapi ia belum terlalu paham dengan maksudnya. Apa pula makna yang terkandung dalam kalimat itu? Bisiknya dalam hati
“Rasa malu diiringi rasa takut yang muncul dari kesadaran hati yang terdalam.”
“Rasa malu diiringi rasa takut pada diri sendiri, pada masyarakat, dan pada Penciptamu. Jika melakukan perbuatan yang seleweng atau lari dari tanggung jawabmu sebagai manusia, masyarakat, dan hamba-Nya”. Lanjut Guru Kero, dengan nada yang ramah perkataan itu makin menambah wibawa yang tampak di wajahnya sembari menunjuk ke atas di akhir kalimatnya.
Kini adagium yang cukup terkenal di kampung asalnya itu, telah ia pahami dan resapi dalam dirinya. Rupanya adagium itu mengandung pesan kebajikan yang cukup dalam nan luas. Kini kalimat itu tak lagi menjadi misteri dalam diriku. Bisiknya dalam hati.
“Tookk….tookk…tookk…., duumm…duumm…duumm”. Suara ketukan bambu yang diikuti suara dentuman beduk secara beriringan dan semakin cepat. Pertanda waktu magrib telah tiba. Alek meyalami setiap sepuh sembari mencium tiap punggung tangan mereka sebagai bentuk hormatnya pada para sepuh.
“Allahu Akbar Allaahu Akbar”. Suara khas Guru Bila7 menggema mengantar langkah kaki Alek meninggalkan kampung halamannya yang tercinta.
Ket.
- 1 Ina = ibu, Sei = sapaan hormat dan sapaan tanda rasa sayang dari nama Asiah.
- Sarangge adalah tempat duduk yang berbentuk persegi, terbuat dari bambu dan kayu. Biasanya di gunakan untuk sekedar duduk mengisi waktu luang dan banyak juga yang menggunakannya untuk membahas masalah ilmu agama dan kehidupan sosialnya, terutama orang tua.
- Dana = tanah, ro = dan, rasa = bangsa, berarti ‘bangsa dan tanah air’.
- Dou = Orang, Labo= dengan, Dana= tanah, berarti ‘Manusia dengan Tanah air’nya.
- Maksudnya merujuk pada petuahpetuah bijak yang di sampaikan sedari tadi.
- “maja labo dahu” adalah adagium yang hidup dalam masyarakat Bima. Secara harfiah ia berasal dari kata maja = malu, labo = dan, dahu = takut. Artinya, malu dan takut.
Discussion about this post