Banyak faktor yang membuat seseorang mempunyai kebiasaan dan ketergantungan pada rokok; faktor sosial, pribadi maupun faktor-faktor neurogenetik dan neurokimia berperan besar dalam hal ini. Karena faktor ikut- ikutan, ingin pamer, banyaknya permasalahan, frustasi, stress, bertengkar dengan orang tua, rasa tidak percaya diri, rasa malu, dipaksa oleh teman, sebagai sarana pergaulan, untuk hiburan, kesenangan dan ingin menurunkan berat badan adalah beberapa alasan yang sering digunakan seseorang yang merokok, padahal merokok adalah salah satu kebiasaan berbahaya yang bersumber dari permasalahan psikososial. Sekitar 40% perokok mulai merokok pada usia antara 1519 tahun. Berdasarkan penelitian di seluruh dunia maupun di negara kita, sekitar 3045% dari populasi penduduk yang berusia diatas 15 tahun mempunyai ketergantungan pada rokok. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa pada golongan pemuda berusia sekitar 1319 tahun yang memiliki banyak permasalah psikologis dan sosial maka risiko untuk mulai merokok akan semakin besar. Kebiasaan merokok pada anak-anak dan pemuda ternyata banyak dipengaruhi oleh struktur keluarga dan lingkungan sosialnya yang telah lebih dulu memiliki kebiasaan merokok atau menggunakan zat-zat aditif yang lainnya. Ditunjukkan pula bahwa merokok pada usia puber menjadi faktor risiko yang sangat menentukkan kebiasaan merokok pada usia dewasa nantinya. Dikatakan bahwa pada masa puber, seorang pemuda yang sedang mencari model atau figur yang akan dijadikan contoh atau panutan bagi dirinya akan terpengaruh pada kebiasaan merokok ayah-ibunya di rumah, guru-guru dan teman-temannya di sekolah.
Ditemukan pula bahwa proporsi perokok lebih tinggi pada kelompok pekerja berat yang mengandalkan fisik, buruh, lakilaki, anggota keluarga yang memiliki keluarga atau teman dekat perokok, mereka yang hidup di kota besar, kalangan yang berpenghasilan tinggi, para pekerja yang memiliki tantangan atau tingkat stress tinggi dan pada mereka yang memiliki pengalaman traumatis dalam kehidupannya. Pada masa puber ketergantungan merokok juga memiliki kaitan dengan rendahnya rasa penghargaan terhadap diri sendiri dan adanya permasalahan di sekolah. Ketika seseorang menjauhi lingkungan perokok maka kebiasaan merokok pun akan semakin berkurang. Di samping itu semakin tinggi tingkat depresi seorang perokok maka ketergantungannya pada rokok akan semakin tinggi pula, terbukti bahwa persentase penderita depresi dan tingkat bunuh diri yang terkait dengan depresi lebih banyak terjadi pada orang-orang yang merokok secara teratur dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Tingkat ketergantungan terhadap rokok berkaitan erat dengan usia ketika seseorang pertama kali merokok. Di beberapa negara diperkirakan usia awal seseorang mulai merokok telah menurun hingga usia 1011 tahun. Berdasarkan data statistik secara umum populasi masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap nikotin sepanjang hidupnya berjumlah 20% dan terlihat pula bahwa sebagian besar dari orang yang pernah merokok pada akhirnya menjadi pecandu rokok. Diamati bahwa mereka yang pada mulanya merokok lebih dari tiga batang sehari, maka terlihat bahwa 94% nya akan memiliki ketergantungan terhadap rokok pada kurun waktu yang lama.
Walaupun kebiasaan ini sudah diketahui secara umum amat berbahaya namun kenapa masih banyak orang yang tetap meneruskannya atau walaupun mereka sangat ingin sekali berhenti namun mengapa tetap tidak bisa melepaskan jeratannya? Banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya. Pertama-tama kita harus memahami bahwa manusia bukanlah makhluk yang hanya menggunakan akal, logika, dan kesadaran saja dalam membuat keputusan maupun bertindak. Di dalam rokok terdapat zat-zat yang dapat membentuk rasa ketergantungan yang ditunjukkan pada pusat rasa senang dan penghargaan yang terdapat pada otak pusat. Ketergantungan adalah unsur yang akan melemahkan kekuatan kehendak atau tekad pada manusia. Sehingga begitu banyak orang yang walaupun menyadari bahaya ketergantungan ini tidak berdaya melawannya dan pada akhirnya mengalami kesulitan ketika menggunakan kehendaknya untuk menolak keinginan tersebut. Dalam bertindak manusia tidak hanya menggunakan pengetahuan yang dimilikinya, namun kekuatan perasaan pun akan sangat mempengaruhi.
Oleh karena itu walaupun sudah diketahui bahayanya, kebiasaan merokok tetap berlanjut. Dikarenakan adanya kecenderungan untuk meniru teman-teman yang disukai pada lingkungan pergaulannya maka keinginan untuk meniru perilaku mereka berdasarkan sel neuron cermin, ketakutan akan dikucilkan dari kelompok, perasaan saling memiliki, merupakan faktor-faktor yang berperan penting pada pilihan ini. Di sisi lain unsur psikologis, tingkat kekosongan mental dan spiritual, unsur dominasi atau kelemahan karakter terhadap pengaruh dari pihak lain dan kebutuhan-kebutuhan pada ego diri yang tidak terpenuhi secara sehat adalah faktor-faktor penting lainnya.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ketergantungan didefinisikan sebagai: “penggunaan zat-zat psikoaktif yang membuat seseorang tergantung terhadap suatu zat, dan mengurangi kebutuhannya terhadap zat lain yang sebelumnya dinilai lebih penting.” Seseorang yang memiliki ketergantungan pada rokok yang pada awalnya bermula dari sebuah pemikiran saja, kemudian sampai pada tingkat hasrat tertentu dan pada akhirnya akan sulit untuk keluar dari wilayah tersebut ketika telah masuk dalam lingkaran perilaku yang tidak diinginkan.
Dalam kondisi seperti ini neurotransmitter dalam otak manusia yang meresponnya adalah nikotin dan reseptor-reseptor nikotin. Akibat dari konsumsi nikotin yang terus menerus dalam waktu lama akan menyebabkan neuroadaptasi berkembang dan jumlah reseptor nikotin di otak pun akan terus bertambah. Beberapa efek nikotin akan ditoleransi di otak. Seseorang yang mempunyai ketergantungan secara neurofisiologis, ketika telah dapat meninggalkan rokok, di luar kemauannya akan mengalami tanda-tanda kehilangan nikotin. Efek nikotin pada tubuh kita tergantung pada dosisnya dan memiliki saling keterkaitan di antara keduanya. Berkurangnya kadar nikotin dalam darah akan menjadi indikasi ketiadaan-Nya, sedangkan bertambahnya kadar nikotin akan membuka kemungkinan adanya indikasi keracunan. Pada akhirnya keinginan untuk merokok pada orang tersebut akan bertambah, kemudian selama ia tidak mengalami kesulitan dalam mendapatkan atau memperoleh rokok maka jumlah konsumsi rokoknya pun akan terus meningkat, dan akhirnya batas toleransi tubuhnya terhadap nikotin pun akan meningkat pula. Pada masa seperti ini, si pecandu akan memiliki keyakinan tak berdasar yang membuatnya beranggapan bahwa merokok akan dapat membantu menyelesaikan permasalahannya. Hal ini juga dikarenakan nikotin juga merupakan zat pembangkit psikologis dan mental dan pemberi ketenangan sementara, maka rokok menjadikan seseorang sesaat tidak memedulikan lagi permasalahan yang dihadapinya, dan faktor inilah yang membuat usaha seseorang untuk lepas dari jerat rokok dengan menggunakan nalar dan tekadnya akan menurun.
Berdasarkan penelitian, jika kuantitas merokok bertambah setiap harinya, maka kondisi ketergantungannya akan bergerak dari tahap kritis ke arah superkritis, sementara kecanduannya akan berubah dari ketergantungan secara psikologis menjadi kecanduan neurofisiologis. Sekitar 7580% dari para pecandu rokok ingin meninggalkan rokok, dan sepertiga dari para perokok tersebut paling sedikit telah tiga kali mencoba untuk meninggalkan rokok.
Tahapan-Tahapan Terapi
Beberapa tahapan penyembuhan bagi pecandu rokok
Maksud dari terapi ini adalah untuk meninggalkan ketergantungan terhadap rokok dalam jangka waktu yang lama. Target terapi ini, pertama-tama adalah mengontrol perilaku merokok, mengurangi jumlah rokok dan pada akhirnya meninggalkan kebiasaan merokok. Bagi mereka yang berniat untuk meninggalkan kebiasaan merokok disarankan untuk terlebih dahulu mengatasi beberapa permasalahan psikologis-Nya. Jika permasalahan tersebut telah teratasi maka akan lebih besar kemungkinan untuk melewati hambatan-hambatan sosial dan psikologis lainnya.
- Jika bahayanya belum disadari, tidak akan ada langkah perubahan: Pada tahap ini jika seorang perokok tidak menyadari kemungkinan akan bahaya besar dari rokok maka dia tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkan rokok. Pada masa ini ia pun harus mempunyai mekanisme pertahanan khusus untuk melewatinya. Setiap orang yang ingin membantunya harus memahami keadaan ini dan jangan pernah memperdebatkannya, mereka harus dapat menjelaskan dampak buruk rokok ini dengan cara yang halus dan penuh kesabaran.
- Kemantapan pemikiran untuk meninggalkan rokok: Pada tahapan ini seorang perokok harus sesering mungkin menyatakan secara verbal keinginannya untuk meninggalkan kebiasaan merokok tersebut setiap kali ada percakapan yang membahas topik tersebut. Ia harus selalu mengatakan bahwa ia tau persis betapa berbahayanya rokok dan bahwa ia membutuhkan bantuan untuk meninggalkan kebiasaan buruknya tersebut. Walaupun bisa jadi terwujudnya perkataan tersebut menjadi aksi nyata membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Pada masa ini, agar perokok dapat benar-benar merealisasikan keinginan tersebut, maka dibutuhkan evaluasi diri dan lebih peka untuk mendengarkan hati nuraninya. Ketulusan dan empati orang-orang yang akan membantunya adalah unsur paling berpengaruh dalam usaha melepaskan jerat rokok. Satu tatapan, satu perkataan sekalipun; bisa memberikan efek negatif dan kemunduran.
- Persiapan: Perokok sudah siap meninggalkan rokok. Pada tahapan ini harus disiapkan sebuah rencana dengan menggunakan tips-tips dari orang-orang yang sudah berhasil meninggalkan rokok dengan disesuaikan pada masing-masing individu. Orang tersebut harus menetapkan tanggal saat ia akan meninggalkan rokoknya (tetapkan pada hari atau tanggal yang memiliki makna khusus bagi orang tersebut, misal tanggal lahir atau tanggal pernikahannya). Sampaikanlah hal ini pada keluarga, rekan kerja atau teman-teman di lingkungan-Nya satu hari sebelum tanggal yang ditetapkan sebagai sebuah dukungan moral baginya.
- Aksi: Rokok sudah ditinggalkan. Membuat sebuah perayaan ketika meninggalkan rokok akan menghasilkan sebuah ikatan psikologis dan sosial bagi diri orang tersebut, selanjutnya adanya dukungan keluarga dan lingkungan sekitar pada masa setelahnya sangatlah penting. Jauhi orang atau keadaan yang bisa mengingatkannya pada rokok, dan menyibukkan diri pada pembicaraan positif yang bisa mengingatkan pada Sang Pencipta. Setiap hari paling sedikit selama dua puluh menit harus melakukan aktivitas atau olahraga yang bisa mengeluarkan keringat. Ketika datang hasrat untuk merokok, tariklah nafas yang panjang, kemudian setelah ditahan beberapa saat, lepaskan dengan perlahan. Biasanya keinginan kuat untuk merokok hanya berlangsung dua atau tiga menit dan kemudian akan berlalu dengan sendirinya.
- Melanjutkan kebiasaan baik yang telah berhasil dicapai: Pada tahap ini usahakan agar perokok harus benar-benar berusaha agar tidak kembali jatuh pada tahap pertama. Pada titik ini yang terpenting adalah bertekad bulat dengan penuh kesadaran. Ia harus mau memberikan penghargaan kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya, penghargaan dari orang di sekitarnya pun akan sangat bermanfaat. Salah satu terapi yang sangat penting adalah menyibukkan diri dengan kesibukan atau hobi-hobi positif untuk mengalihkan perhatiannya agar tidak kembali mulai dari awal lagi. Selain itu, dukungan positif dari orang disekitar mutlak diperlukan.
Menarik untuk menyimak perkataan Maulana Jalaludin Rumi yang menegur para muridnya ketika mereka mengusir seorang pemabuk yang masuk ke perguruannya: “Orang itu yang minum arak namun justru kalian yang mabuk”. Sebagaimana perkataan-Nya ini menyiratkan keluasan hati dan sifat toleransi yang dimiliki oleh beliau maka kita juga harus juga bersikap sabar dan bertoleransi ketika mengembangkan strategi untuk menyelamatkan saudara-saudara kita dari ketergantungan.
Merokok adalah kebiasaan yang bisa ditinggalkan
Apakah baik jika kita seketika meninggalkan kebiasaan merokok? Apakah hal ini mungkin terjadi? Apakah lebih disarankan untuk meninggalkannya dengan cara menguranginya sedikit demi sedikit atau berangsur-angsur? Jawaban dari pertanyaan ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing perokok.Hal utama yang menentukan apakah rokok bisa ditinggalkan atau tidak adalah keinginan, keputusan dan kehendak perokok itu sendiri. Merokok adalah kebiasaan yang bisa ditinggalkan. Menurut definisi WHO ketergantungan merokok adalah salah satu penyakit biasa yang bisa ditangani oleh dokter. Sebagai hasil dari program-program pencegahan dan penyuluhan anti rokok didapati bahwa di Amerika terdapat 36 juta orang, di Perancis 8 juta orang dan di Swiss 1 juta orang yang mampu meninggalkan kebiasaan merokok. Di saat angka keberhasilan meninggalkan rokok tanpa bantuan apapun hanya kurang dari 10% , maka justru ditunjukkan adanya peningkatan persentase bagi para perokok yang mendapatkan dukungan dan bantuan saat berusaha meninggalkan rokoknya, selain itu terbukti mereka juga memiliki tingkat kehidupan yang jauh lebih sehat setelah meninggalkan rokoknya.
Tidak ada satu metode pun yang bisa secara tunggal berhasil 100% melepaskan seseorang dari ketergantungannya terhadap rokok. Pada kasus-kasus yang paling berhasil ditunjukkan bahwa hal tersebut hanya dapat dicapai dengan penyembuhan obat dan bersamanya ada dukungan` psikologis, mental dan spiritual pula. Pada penyembuhan dengan obat diberikan obat-obatan yang dapat mengurangi keinginan merokok serta penyembuhan “Symptomatic” berdasarkan zat-zat yang diinginkan oleh tubuh saat seseorang berhenti merokok dan gejala- gejala lain yang ditunjukkan ketika seseorang menghentikan kebiasaan merokoknya.
Jika dilihat dari perspektif rohani dan spiritual, unsur paling penting dalam upaya meninggalkan rokok adalah doa, baik dari diri perokok sendiri maupun dari orang-orang yang mencintainya. Hal yang berat bagi kita, hanya akan teratasi jika kita meminta dan memohon dengan penuh ketulusan sembari merasakan betapa semua beban berat tidak mungkin terangkat kecuali dengan pertolongan Allah SWT. Oleh karena segala sesuatu yang disangka tidak akan terpecahkan oleh rencana hamba dan individu, akan bisa terlewati dengan kehendak-Nya dari Ia Yang Maha Berkuasa.
Sumber:
- web site resmi WHO http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index.html tanggal diunduh: 9 Maret 2013
- JC Norcross, Krebs PM, Proschaska JO. Stages of Change. J. Clin. Psychol. 2011 Feb;67 (2):14354. –
- Heatherton, Todd F. et al. 1991. The Fagerström Test for Nicotine Dependence: a revision of the Fagerström Tolerance Questionnaire. British Journal of Addiction 86:11191127.
Karya: Dr. Mücteba Müezzinoğlu
Discussion about this post