Mereka terlahir ke dunia dalam usia kehidupan yang sesaat. Sebelumnya ia ditakdirkan menjadi seekor ulat untuk kemudian menjadi keajaiban seni beribu warna. Sebenarnya kupu kupu adalah simbol dari sekian banyak penderitaan, kepedihan, kerja keras, dan pengorbanan. Bayangkanlah ketika ia masih menjadi seekor ulat, sebagaimana makhluk ciptaan lainnya, si ulat kecil membuka matanya di dunia yang asing ini, semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan nutrisi dirinya untuk tumbuh, berkembang, dan menjadi kupu kupu. Bukankah manusia juga sama makan, belajar, dan mencerna hakikat penciptaan yang terkandung pada benih termurni dalam penciptaan?
Demikianlah, dalam hal ini manusia memiliki titik kesamaan dengan kupu kupu. Si ulat memahami bahwa hakikat penciptaannya adalah untuk menjadi kupu kupu, demikian pula manusia yaitu untuk mengenal hakikat kemanusiaannya. Sebagaimana dikisahkan mengenai empat ekor kupu kupu:
Empat ekor kupu kupu melihat sebuah nyala api. Keempatnya merasa penasaran dengan api itu? Kupu kupu pertama tak mampu membendung rasa penasarannya, dan ia pun mendekati api itu, lalu kembali ke arah teman-temannya. Ia berkata: ”Teman-teman, api adalah sesuatu yang mengeluarkan cahaya”. Dalam hal ini ia telah sampai pada derajat makrifat (mengetahui).
Agar dapat menjadi kupu kupu, biasanya seekor ulat terlebih dulu menunggu dirinya hingga berubah menjadi kepompong. Begitupun manusia, ia berjalan ke alam maknawi, menyelami kedalaman samudera kalbu. Kepompong adalah jalan perlintasan bagi ulat untuk membuka matanya memandang dunia barunya, sebelum mencapai identitas aslinya. Manusia pun dengan mengenali dirinya akan mengenali siapa Penciptanya. Dan jalan menuju kesempurnaan pun terbuka baginya.
Si kupu kupu kedua pun tak bisa menahan rasa penasarannya, Ia terbang lebih dekat untuk bisa mengetahui lebih banyak dari temannya tadi dan ia pun merasakan panasnya api itu. Ia terbang kembali ke arah kawan-kawannya dan menjelaskan apa itu api ala kadarnya. “Ternyata api adalah sesuatu yang memancarkan panas” ujarnya.
Seekor kupu kupu akan dengan sabar menanti di dalam kepompong dalam waktu yang lama. Mulai sejak masa awal ia diselimuti lapisan kepompong hingga akhirnya ia beranjak menjadi kupu kupu dewasa. Ada banyak ujian yang bernama penantian. Khayalan kerinduan memeluk jiwa kita, ‘kerinduan’ yang sebenarnya adalah rindu untuk kembali, kerinduan akan waktu pertemuan, yang begitu membakar dada kita.
Lalu, apakah kupu kupu ketiga bisa tenang? Rasa penasaran meliputi sekujur tubuhnya. Ia pun melesat cepat mendekati sang api. Sebagian sayapnya hangus tersentuh api. Ia pun segera menghindar dan dengan tergopoh-gopoh menghampiri kawan-kawannya. “Api,” ujarnya sambil terengah-engah, “juga adalah sesuatu yang membakar.”
Dan akhirnya waktu yang ditunggu pun telah tiba. Si ulat dengan manifestasi 1001 keindahannya mengoyak kepompongnya. Sedangkan manusia memecah rantai yang membelenggu jiwanya. Jika sebelumnya ia adalah hewan yang melata di atas dedaunan dan tanah, kini ia menggembara di angkasa mengelilingi alam. Sedangkan manusia dengan alam ruhaninya bagaikan ”jasad yang menemukan nyawanya.” Ia mengenyahkan semua rasa kepemilikannya akan dirinya. Ia akan berkata “Aku lenyap, hanya “Dia” yang ada. Segala sesuatu adalah Dia, segala sesuatu berasal dari-Nya.” bergumam, “aku harus mengetahui apa itu api.” Ia pun mendekati api, awalnya ia merasakan cahayanya, kemudian ia beranjak lebih dekat, kini ia merasakan panasnya. Ia mendekat lagi, kini ia merasakan sayapnya mulai terbakar. Tetapi ia masih penasaran. Sedikit lagi ia mendekat, dan “puf” kupu kupu itu pun hangus dan lenyap terbakar. Tentu saja ia tak bisa kembali lagi dan menjelaskan apa itu api kepada kawan-kawannya. Akan tetapi hanya ialah satu-satunya dari sekawanan kupu kupu itu yang mengetahui apa api itu yang sebenarnya.
Tahukah kamu tentang sekumpulan kupu kupu yang senantiasa berputar di sekitar cahaya? Ketika ia melihat ada api, ia pun segera berputar di sekelilingnya. Mereka sengaja menenggelamkan dirinya ke dalam cahaya, berputar-putar dan melupakan dirinya. Secara zhahir mereka mati, akan tetapi secara batin mereka bangkit di alam yang abadi.
Seperti insanul kamil. Secara lahir mereka mengabaikan kehidupan dunia yang singkat. Secara batin mereka berseru: “Mereka yang kehilangan Ia (Allah SWT) akan mampu menemukan apa? Dan mereka yang telah menemukan Dia (Allah SWT), akan kehilangan apa? Kematian mereka pun menjadi sebuah malam pertemuan.
Pertemuan dengan “Sang Kekasih” terjadi di titik ini.
Abaikan dahulu segala sesuatu yang tidak penting. Sebelumnya harus disampaikan amanah-amanah kepada Pemilik sebenarnya.
Demikianlah ada banyak sosok pengabdi seperti kupu kupu. Untuk menemukan hakikat dan untuk mengisi kalbu mereka yang dahaga, satu kakinya berada di atas api sedangkan kaki lainnya berdiri di semua tempat di dunia ini. Terdapat banyak sekali pahlawan yang menggiring para calon pahlawan menuju tujuan asli penciptaan, dengan sumber murni yang dengannya ia memenuhi kebutuhannya, ia juga memenuhi kebutuhan orang lain serta mengabaikan dirinya dan kasihi semuanya.
Di satu sisi ia menjelaskan apa yang ia pelajari ke dalam dada mereka yang menderita, deritanya pun membakar hatinya. Di sisi lain kerinduan oleh perpisahan membakar sekujur tubuhnya. Dalam dilema ini mereka berjalan dalam suasana bercahayakan emas. Bagi mereka terbakar di dalam api hanyalah sebuah penundaan. Ini adalah sebuah contoh dari sebuah pengorbanan. Demi orang lain mereka bersabar untuk hidup. Masih belum tiba waktunya untuk bisa mewujudkan semua keinginan mereka, terbakar di dalam api atau menjadi setetes air dari sebuah samudera.
Jika tetesan air yang merindukan pertemuan dengan samudera akan hidup dalam kehausan, namun tetap saja ia tidak rela jika ia harus bertemu dengan samuderanya (Penciptanya) sendirian. Tetesan-tetesan itu harus dikumpulkan terlebih dahulu, bara-bara api harus dikipasi, bersama barulah ia bisa mencapai keharibaan-Nya dengan ketenangan. Persis seperti kupu kupu, yang membuka, mengepakkan sayapnya demi pengetahuan yang tak terbatas.
Penulis: Yasemin Yıldırım
Discussion about this post