Halaman sekolah tergetar oleh bunyi bel. Sesaat kemudian suasana kehidupan mulai terasa di lapangan bermain ketika anak-anak mulai mengalir keluar dari ruang-ruang kelas menuju ke kehangatan sore hari. Bagaikan anak ayam yang baru terlepas dari kandangnya, mereka mulai bertebaran ke segala arah menuju ke teman-teman maupun orangtua mereka yang telah setia menunggu di sana.Pintu ruang kelas no. 153 terbuka dan seorang bocah laki-laki berambut pirang bermata biru berjalan keluar sendirian. Matanya segera menuju ke arah dimana ia tahu sedang ditunggu di sana.

“Mommy !” jeritnya, dengan sebuah senyum yang lebih cerah dari hangatnya sinar matahari menghiasi wajah bocahnya. Kaki kurusnya menendang keluar dengan gerakan menyudut yang sedikit aneh seraya berlari menuju seseorang yang telah dinantikannya sejak pukul 8:30 pagi tadi.
Begitu ia mendekat, dilungsurkannya ranselnya.Segera saja sang ibu menyambutnya ke dalam pelukan,dekapan itu hampir saja menjatuhkan si ibu.“Aku merindukanmu, Mommy!”
Suasana inilah yang akan anda temui pada dirisaya setiap hari sekolah, sekitar pukul 2:30 sore,sepanjang tahunnya. Nama saya Kimberly Parker. Saya seorang ibu dari tiga anak. Anak tertua saya,Cooper, menyandang autisme.
Ketika Cooper lahir, saya mengakhiri karir saya sebagai Direktur Sales & Marketing di sebuah perusahaan untuk kemudian lebih memilih tinggal dirumah dengannya. Saya memang merencanakan hal ini, karena selain bisa dengan leluasa menghabiskan banyak waktu dengan putra kami, akhirnya saya juga dapat memiliki waktu untuk mengerjakan proyek proyek kreatif saya, khususnya menulis, yang telah lama saya tinggalkan saat sibuk meniti piramida karir di perusahaan tempat saya bekerja dulu.
Ketika Cooper berusia 16 bulan, kami menyadari bahwa secara signifikan perkembangan bahasanya sangat terhambat. Setelah diperiksakan pada dokter spesialis, segera akhirnya kami tahu bahwa tantangan yang kami hadapi itu bernama: autisme.
Lima tahun berlalu dengan sangat cepat. Keluarga kami sekarang terdiri dari Cooper, berusia 8 tahun;Benjamin, berusia 6 tahun, dan Kacey, berusia 4 tahun. Suami dan saya telah bekerja keras untuk mengawasi perkembangan anak-anak sambil tetap memenuhi kebutuhan keluarga kami dan dalam hal ini keluarga besar dan teman-teman sangat membantu kami. Walaupun dengan segala bantuan, sayalah orang yang lebih memahami putra saya lebih baik daripada siapapun orang lain di planet ini. Saya tidak mengatakan ini untuk membanggakan diri namun inilah faktanya. Suami saya adalah seorang ayah yang hebat, namun karena sayalah orang yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Cooper -terlepas dari segala keputusasaan yang seringkali saya alami akhirnya saya harus dan telah belajar bagaimana cara memahami anak saya hanya dengan melihat ke kedalaman matanya. Gangguan pengolahan bahasa yang dideritanya membuat sulit bagi Cooper untuk memahami benda dengan cara yang dipahami anak-anak normal yang sedang berkembang pada umumnya.
Kebanyakan orang tua dengan anak autis berada dalam posisi yang sama. Merekalah yang menjadi ahli dalam menangani anak-anak mereka. Karena fungsi sehari-hari mereka akan sangat tergantung pada hal itu, kita sebagai orang tua harus belajar bagaimana membangun hubungan dengan anak-anak kita.Hubungan tersebut akan menjadi dasar untuk segala hal lain yang mungkin terjadi.
Permasalahnya adalah bahwa ribuan anak yang mengalami autisme tersebut suatu hari nanti akan tumbuh menjadi orang dewasa dengan autisme.
Adalah suatu kebohongan jika saya katakan bahwa pertanyaan, “Apa yang akan terjadi pada putra saya ketika saya mati?” tidak membuat saya terjaga dimalam hari. Adakah satu orangpun yang memahami dia lebih baik dari saya? Bisakah seseorang nantinya memiliki hubungan yang lebih dalam dengannya suatu hari kelak? Adakah seseorang yang akan mencintainya lebih dari cinta saya dan ayahnya? Ketika para pengasuh yang penuh cinta dan memiliki pengetahuan ini suatu hari nanti meninggal (dalam hal ini pasti akan terjadi), apakah masyarakat kita telah siap untuk merawat orang-orang yang tidak dapat sepenuhnya merawat diri mereka sendiri ini? Sekarang mungkin belum siap, tapi hal ini bisa terjadi .
Jangankan 72 jam, 72 tahun pun mungkin tidak akan cukup untuk sepenuhnya mempersiapkan anak ini untuk siap menghadapi dunia tanpa ibu yang selalu bersamanya. Namun, saya percaya bahwa dalam 72 jam, saya bisa menyalakan api semangat yang dapat membantu mempersiapkan dunia untuk anak saya.
Banyak sekolah telah mulai menjalankan program yang mengajarkan pada siswa-siswanya tentang berbagai gangguan dan ketidakmampuan yang dialami anak-anak autis yang akhir-akhir ini jumlahnya meningkat dalam angka yang mengkhawatirkan. Setiap tahun ajaran sekolah, teman-teman sekelas Cooper belajar, dalam taraf tertentu, bagaimana caranya bersikap dalam kelas dengan seorang teman yang memiliki kebutuhan khusus. Pada awal tahun ajaran, guru akan membahas dengan teman-temannya beberapa hal yang harus mereka ketahui tentang autisme. Teman-temannya belajar bahwa Cooper memiliki sebuah tantangan khusus, yang berbeda dengan orang kebanyakan dan mereka diberitahu bahwa mereka harus menerima membantu sepenuhnya dalam hal ini.
Ini adalah permulaan yang baik. Tapi itu hanyalah sebuah awal. Apakah cukup hanya dengan mengajarkan pada mereka bagaimana hidup berdampingan di dunia dengan orang-orang yang berpikir secara berbeda,yang berkomunikasi secara berbeda, dan memiliki kebutuhan yang luar biasa pula?
Saya tidak yakin akan hal itu.
Anak-anak tidak hanya perlu belajar bagaimana untuk bersikap toleran satu sama lain akan tetapi lebih dari itu, mereka juga harus belajar bagaimana caranya membangun hubungan satu sama lainnya. Anak-anak dengan kebutuhan khusus tidak cukup hanya diakui atas perbedaannya lebih dari itu mereka juga membutuhkan orang untuk berada di samping mereka, orang orang yang akan berusaha untuk memahami kedalaman individualitas mereka tersebut.
Ketika seorang anak penyandang autisme sendirian di taman bermain maka adalah tidak cukup hanya dengan anggapan bahwa setidaknya anak-anak lain menahan diri untuk tidak mengganggu dia. Bisakah setidaknya satu saja ada anak yang berani mendekati dan berusaha untuk mengajaknya bermain bersama?Dan ketika ajakan itu tidak berhasil, akankah dengan senang hati anak tersebut bisa tetap duduk di dekatnya dan berbagi ruang nafas yang sama dengannya? Karena ia memahami bahwa bagi seorang dengan autisme, mendapati ada seseorang berada di dekatnya adalah cukup untuk mendorongnya merasakan bahwa ia diterima.
Visi saya adalah bahwa suatu hari nanti kita akan melihat sebuah sistem yang diterapkan di sekolah-sekolah dimana anak-anak belajar bagaimana membiasakan diri dalam membangun hubungan yang lebih baik. Kita dapat memberdayakan dan memperlengkapi anak anak untuk lebih peduli pada rekan-rekan mereka yang berkebutuhan khusus dengan cara yang lebih dari sekedar toleransi. Tidak peduli berapa usia mereka, anak anak bisa mempelajari keterampilan ini pada tingkatan yang dapat mereka mengerti. Pembinaan atas keterampilanini selama pendidikan mereka bukan hanya dimaksudkan untuk membangun dunia yang lebih baikbagi anak-anak dengan autisme – tetapi juga akan membangundunia yang lebih baik bagi semua orang.
Banyak ahli yang telah mendedikasikan hidup mereka untuk membantu anak-anak autis dan orangtua mereka belajar untuk membangun hubungan lebih baik antara satu dengan yang lain. Sebagian lagi telah mengembangkan sesi pelatihan ‘peer-to–peer’ untuk diterapkan pada beberapa sekolah. Saya percaya bahwa kita bisa mengambil pengetahuan inidari para ahli, menggabungkannya ke dalam sebuah program yang lebih lengkap, dan mengajarkan tentang keterampilan ini di sekolah-sekolah sehingga orang tua bukanlah satu-satunya orang yang memegangkunci bagi hubungan pergaulan anak-anak mereka.
Suatu hari ketika saya diberikan kesempatan oleh pihak sekolah untuk berbicara tentang hal ini maka dalam72 jam itu saya melibatkan tiga orang ahli di bidang tersebut: Dr Steve Gutstein (Spesialis Intervensi Pengembangan Hubungan pada Anak Autis), Dr Gordon Neufeld (Ahli Pengembangan Ikatan dan Anti-intimidasi) dan Heather McCracken (pendiri Friend 2 Friend Learning Society). Masing-masing dari para ahli ini telah mengembangkan materi yang mengacu pada komponen yang berbeda-beda dari permasalahan ini. Namun, jika kita bisa menggabungkan pendapat dari para ahli ini, saya yakin bahwa sebuah strategi yang lengkap dan dapat merubah kehidupan akan bisa dirancang dan disajikan bagi para pendidik.
Dalam waktu 72 jam, saya mengumpulkan ke-tiga ahli tersebut untuk menghabiskan satu hari ‘brainstorming’ agar rencana ini menjadi penting, dan kemudian mengumpulkan sebanyak mungkin pendidik untuk membagikan visi dan menyalakan semangatini: dari orang tua dan guru hingga ke Kepala Departemen Pendidikan Universitas, hingga ke para pendidikdi seluruh Negara Bagian Amerika, lalu ke Kementerian Pendidikan Kanada dan hingga sampai ke semuajalan yang mengarah kepada Sekretariat Pendidikan Negara AS. Api semangat ini akan menggerakkan mereka kepada tindakan untuk melihat pada sebuahpersiapan baru yang sedang dipersiapkan masukke sekolah-sekolah. Bukan karena ada kepentinganprogram lain atau “sesuatu” yang harus dilakukan,tapi demi membangun sebuah masyarakat yang terdiridari orang-orang yang tahu bagaimana mengasihitanpa pamrih, untuk mempersiapkan mereka pada kehidupanbersama.
Dengan saya sendiri sebagai orang tua -‘sangjuara’, Cooper di samping saya, serta Dr. Gutstein ,Dr. Neufeld dan Mrs. McCracken, kami membicarakan tentang manfaat psikologis dan aspek-aspek teknisnya,kami memperkenalkan juga kepada mereka carabaru untuk “bertoleransi” dalam bentuk membangun keterikatan dan hubungan di antara sesama.
Bayangkan …dalam periode 72 jam, penuh dengan riuhnya aktivitas, bersama-sama dengan para ahli dibidangnya, kami – ibu dan anak – berbicara lantang di hadapan ratusan orang untuk menyajikan sebuahvisi yang saat itu dipandang radikal. Kami menjelaskan betapa besarnya masalah yang ditemui anak dan orang dewasa penderita autis. Kami juga mulai memberikan kesadaran akan kebutuhan untuk mempersiapkan dunia yang akan datang. Kami melihat wajah wajah di hadapan kami saat itu mulai menyala dengan gairah dan para pendidik tingkat tinggi itu pada akhirnya berkomitmen untuk tidak membiarkan mimpi tentang adanya masyarakat yang hidup tanpa pamrih itu memudar.
Sebagai seorang ibu ketika suatu hari nanti ia akan memeluk anaknya untuk yang terakhir kalinya, makakelak hatinya tidak akan terasa berat lagi – karenahati itu kini dipenuhi harapan. Di sekitar mereka akanada ratusan tangan terulur yang ia tahu akan mampu menggantikan posisinya untuk membantu anak ini selama sisa hidupnya jika ternyata sang ibu harus pergi terlebih dahulu. Dan saat ia mengatakan “Aku mencintaimu”untuk yang terakhir kalinya, maka sang ibu tahu bahwa hidupnya telah dijalani dengan baik.
Pada tahun 2004, putra Kim didiagnosis mengalami gangguan spektrum autisme atau yang disebut juga sebagai ‘autism spectrum disorder’. Kim banyak menulis untuk memberikan penjelasan pada oranglain agar lebih memahami autisme dan bagi keluarga yang mencintai penyandang autis . Ia menikmati waktuyang dihabiskannya bersama para orang tua yang sedang menghadapi tantangan yang sepertinya takdapat teratasi dari autisme tersebut dan membantu mereka menemukan kebahagiaan bersama autisme. Kim juga merupakan seorang penulis dan pembicara di banyak seminar. Buku pertamanya yang diterbitkannyaberjudul ‘Radical Love… Forever Changed’.
Semoga tulisan ini akan menginspirasi banyak orang tua hebat dari anak-anak istimewa dengan autisme yang sedang pula berjuang untuk membangun dunia yang lebih ramah bagi anak-anak tersebut.
Penulis: Kimberly Parker
Discussion about this post