Ayat Al Qur’an menyatakan, “Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa disesatkan-Nya, maka engkau tidak akan mendapatkan seorang penolong yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” Sementara, ayat lain menyatakan, “Barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang menghendaki (kafir) hendaklah ia kafir.” Artinya, manusia diberi kehendak untuk memilih. Bagaimana kita memahami kedua nas tersebut?
Ada dua bagian pada pertanyaan di atas. Pertama, apakah semua urusan berjalan menurut kehendak universal Tuhan? Ataukah menurut kehendak manusia? Pada ayat lain yang terkait dengan ini adalah Q.S Al-Isrā’ ayat 97: “Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa Dia sesatkan, maka Engkau tidak akan mendapatkan penolong-penolong bagi mereka selain Dia.” Pengertian petunjuk (hidayah) adalah jalan yang lurus dan benar, yaitu jalan para Nabi, sedangkan kesesatan adalah jalan yang menyimpang, tidak benar, dan jauh dari kelurusan.
Apabila kita cermati, kita bisa melihat bahwa masing-masing merupakan amal perbuatan. Setiap perbuatan kembali kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla. Tidak ada satu pun amal yang tidak kembali kepada-Nya Karena itu, ia wajib dikembalikan kepada Allah. Sebab, sebagaimana telah disebutkan, setiap perbuatan kembali kepada Allah Subhânahu wa Ta’âla. Tidak ada satu pun amal yang tidak kembali kepada-Nya. Benar bahwa kesesatan terkait dengan nama-Nya: Yang Maha Menyesatkan, dan petunjuk terkait dengan nama-Nya: Yang Maha Menunjuki. Benar, Dialah yang memberikan keduanya. Namun, ini bukan berarti tidak ada campur tangan dan keterlibatan hamba. Seorang hamba, suka atau tidak suka, bisa didorong kepada kesesatan ataupun digiring menuju petunjuk. Dengan demikian, dalam kondisi pertama ia menjadi sesat dan menyimpang, sementara dalam kondisi kedua ia mendapat petunjuk dan hidayah. Singkatnya, kita bisa memahami persoalan ini sebagai berikut: Apabila sampainya seseorang kepada petunjuk atau jatuhnya ia dalam kesesatan merupakan amal perbuatan seberat sepuluh ton, misalnya, manusia tidaklah memiliki sepersepuluhnya sekalipun. Keseluruhan amal itu milik Allah Subhânahu wa Ta’âla.
Kami akan memberikan sebuah contoh yang lebih jelas. Allah memberikan petunjuk. Tentu saja pemberian petunjuk disertai dengan beberapa sarana dan sebab, seperti pergi ke masjid, mendengarkan nasihat, serta mendidik akal. Semua itu termasuk sarana untuk mencapai petunjuk. Mendengarkan Al Qur’an dan menyelami maknanya juga termasuk sarana petunjuk. Mempelajari dan memerhatikan sabda Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan kalbu yang khusyu’, meminta bimbingan dan mengambil pelajaran dari seorang mursyid, masuk dalam dunia spiritual wilayah kerasulan dan kenabian, serta membuka hati untuk menerima hembusan manifestasi wujud-Nya pun merupakan jalan petunjuk. Sebab, dengan semua itu manusia bisa meniti jalan yang mengantarnya kepada petunjuk. Benar, datang ke masjid adalah salah satu aktivitas sederhana, namun Allah menjadikannya sebagai sarana dan sebab untuk meraih petunjuk. Artinya, petunjuk berasal dari Allah tetapi hamba memiliki keterlibatan dan usaha tertentu untuk meniti jalan petunjuk.
Bisa jadi manusia memasuki tempat-tempat minuman keras, bar, dan berhala. Artinya, ia masuk ke wilayah nama-Nya: Yang Maha Menyesatkan, dan meminta kesesatan untuk dirinya. Karena itu, jika mau, Allah bisa menyesatkannya, dan jika mau pula, Dia bisa meletakkan penghalang yang mencegahnya dari tindakan menyimpang dan sesat. Dengan demikian, jelaslah bahwa hal kecil yang dilakukan manusia tidak cukup dan tidak bisa menjadi sebab petunjuk dan kesesatan.
Pada contoh lain, mungkin Engkau mendengarkan Al Qur’an al-Karim dan berbagai nasihat, atau mungkin engkau membaca buku pengetahuan yang bagus, lalu merasa seolah-olah ada cahaya masuk ke dalam kalbumu. Sementara, ketika orang lain mendengarkan azan, nasihat, munajat, dan doa-doa khusyu’ yang keluar dari lubuk hati, ia justru merasa risau dan berkata, “Suara apa yang memuakkan ini?!” Ia bahkan mengeluh ketika mendengar azan.
Jadi, Allah Subhânahu wa Ta’âla -lah yang memberikan petunjuk atau kesesatan. Namun, apabila seseorang meniti jalan kesesatan karena durhaka, Allah memberikan untuknya 9,999 % amal yang kembali kepadanya tak ubahnya seperti sekadar penekanan satu tombol untuk menggerakkan sebuah alat besar. Selanjutnya, Dia akan menghisab orang itu karena ia cenderung kepada dan menyenangi kesesatan, kemudian Allah menghukum atau mengampuninya.
Discussion about this post