Kita tak dapat mengingkari akan adanya pengaruh lingkungan sekitar yang membekas pada diri kita. Dalam hal ini, manusia yang memiliki identitas sebagai ‘makhluk sosial’ mirip seperti air. Ia sangat mahir merubah bentuknya sesuai bentuk dari tempat yang mewadahinya. Dan bukankah air memang merupakan substansi asli manusia?
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keadaan seorang manusia yang bertaubat dalam Bukhari dan Muslim. Ada seseorang dari kaum terdahulu yang telah membunuh 99 orang. Namun setelah itu ia ingin mensucikan perbuatan yang telah dilakukannya. Ia pun mulai mencari pintu taubat dan pengampunan. Dia mencari tahu siapakah ulama yang tinggal di tempat itu. Orang-orang pun menunjukkan pada seorang Rahib. Lalu pergilah ia menemui Rahib tersebut dan menjelaskan kondisi dirinya. Ia bertanya apakah ada pintu taubat yang layak untuk dirinya. Ketika Rahib itu mengatakan bahwa orang yang telah membunuh 99 orang tidak memiliki pintu taubat, ia pun membunuhnya. Sehingga jumlah orang yang telah dibunuhnya mencapai angka seratus. Ia kemudian mulai bertanya-tanya lagi dan berusaha mencari tahu siapakah orang yang paling alim di kota itu. Orang-orang menunjukkan kepadanya seorang alim. Lalu ia pun bergegas pergi menemui dan menjelaskan kondisinya. Ia bertanya apakah kemungkinan ada pintu taubat yang layak baginya. Orang alim tersebut mengatakan bahwa kemungkinan untuk taubat pasti ada dan tidak akan ada sesuatu apapun yang dapat menghalangi seorang hamba untuk bertaubat. Kemudian ia memberikan sebuah nasihat yang sangat penting. Nasihat tersebut mengajarkan banyak hal pada kita semua. Ia meminta agar orang itu pergi ke sebuah kota yang jauh, tempat orang-orang yang beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya tinggal. Ia menasihatinya untuk tinggal bersama mereka, ikut beribadah pada Allah bersama mereka dan tidak pernah lagi kembali ke tempat tinggalnya yang lama. Dengan demikian ia akan terjauhkan dari atmosfer buruk yang telah sebelumnya mempengaruhi. Selain itu taubatnya pun dapat mencapai kesempurnaan taubat nasuha.
Coba bayangkan! Jikalau di sekitar kita, orang-orang memiliki kesadaran kehambaan, menjalani hari-harinya dengan penuh keikhlasan, berkeliling mengitari bukit-bukit ihsan, melakukan jual beli di pasar persaudaraan, berenang di samudera ketulusan, melakukan perjalanan dengan kendaraan kesetiaan… Bayangkan ada sekumpulan manusia yang dipenuhi oleh para ksatria qalbu, yang hidupnya penuh dengan rasa qanaah dan syukur, mereka menutup semua pintu-pintu fitnah dan telah menyatu dengan sifat ikhlas… Mereka berkeinginan kuat untuk menegakkan kebenaran, lebih mengutamakan untuk menghidupkan orang lain daripada diri sendiri, seumur hidupnya hanya Ridha Ilahi yang menjadi tujuan, sadar bahwa untuk membuat orang lain tertawa kuncinya ada pada tangisan dirinya dan dengan tetap memperhatikan kondisi zamannya, mereka menjadikan pengabdian pada agama sebagai tujuan kehidupan… Bayangkan sebuah negri yang di segenap penjurunya penuh dengan rasa mahabbah1, makhaafah2, dan khashyah3 terhadap Allah, yang di setiap tempat tercium wangi semerbak harum cinta dari hamba-hamba yang terbakar cinta pada Rabb-nya, yang di setiap sisinya tarikan nafas Habibul Akram Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dapat terhirup dan dirasakan, dalam tataran makna, ilmu serta kebijaksanaan mengepakkan kedua sayapnya dan di setiap bagiannya tercium wangi keberkahan….
Meneguhkan Langkah
Sementara saat ini kita hidup dalam sebuah masyarakat yang aneh, pada zaman yang aneh, dimana materi telah menguasai kehidupan kita dan melahirkan cara berpikir yang materialistis. Di dalam dunia yang seperti ini kita terhibur dengan khayalan-khayalan ini. Sama seperti kutukan seorang tua Cina yang ketika marah kepada seseorang ia akan berkata: “Semoga kau hidup di zaman yang aneh!” Dan begitupun jika sadar, kita sekarang hidup pada suatu masa dimana nilai-nilai telah terbolak-balik. Tentu saja mau tidak mau gaya hidup orang-orang di sekitar kita yang bersikap egois, bermuka dua, jauh dari ketulusan dan penuh dengan harapan-harapan itu pada takaran tertentu akan mempengaruhi rasa kemanusiaan kita atau mereka yang beriman. Saya mencoba untuk berhati-hati ketika mengatakan hal ini, karena saya tidak bisa mengatakan bahwa semua orang telah menjadi pelanggan gaya hidup rusak seperti ini. Alhamdulillah, masih ada hati nurani beriman yang masih berusaha menjaga jati dirinya, bersifat hasbi4, memiliki rasa sensitif untuk menanggung beban atas permasalahan umat, masih menapak tegap di atas kakinya sendiri, memiliki pemikiran terbuka dan kepalanya masih tegak lurus ke atas.
Ada ucapan seorang profesor medis yang tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun, yang masih terngiang di telinga saya. Suatu hari beliau berkata, “Hati-hati, jangan sampai kalian terbawa arus lingkungan dan kehilangan jati diri. Orang-orang di sekitar kita masih amat sangat membutuhkan pertolongan. Jangan terkecoh dengan penampilan mereka yang seolah tak membutuhkan pertolonganmu. Di tahun-tahun pertama ketika aku baru menjadi dokter, ada banyak rahib gereja yang datang ke rumah sakit tempatku bekerja. Jika datang, mereka akan menunjuk ke arahku dan berkata pada bagian administrasi RS: “Tolong atur agar dokter itu yang mengobati kami”. Rahib-rahib itu tidak terlalu percaya pada dokter yang lain. Mereka menyadari betapa berharganya permata yang ada dalam diri kalian. Jika saja mereka melihat keindahan agama kita terpancar dari diri kalian, maka mereka akan lebih memilih kalian dibandingkan orang lain. Jika kalian bisa meneguhkan pijakan langkah kakimu, maka ada banyak hal yang bisa kau berikan pada orang-orang ini. Cukuplah jika kalian, menjadi diri kalian sendiri”, ujar beliau. Alhamdulillah, di kemudian hari kami pun berkesempatan untuk menyaksikan beberapa contoh yang mengandung kebenaran dari ucapan beliau tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar kami mulai menunjukkan sikap ramah dan hangat pada berbagai sikap yang kami tunjukkan, ada yang menunjukkannya pada pemahaman Islam akan kebersihan, ada yang menunjukkannya pada keindahan ibadah seperti shalat dan puasa, ada yang menunjukkannya pada keindahan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an dan ada pula yang menunjukkannya pada sikap hangat dari mereka yang mencoba menjadi contoh dari kitab suci tersebut.
Hari-hari dengan wangi musim semi
Bersamaan dengan semua ini, seringkali ada beberapa momen yang terjadi, hingga dunia yang begitu luas ini kemudian terasa menghimpit dan menekan persis seperti peci sempit di kepala kita. Terkadang dalamnya lubang kemalasan, kezaliman orang zalim, ketidak acuhan para sahabat, tekanan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi, rasa terasing yang pedih dan masyarakat yang terselubung dalam tirai tebal kelalaian, mengingatkan manusia akan kebutuhannya untuk menarik nafas pada koridor lebar masa lalu. Ada saat saat tertentu dimana manusia tak bisa hidup tanpa mengenang masa lalunya. Ya, sangat sulit bisa melupakan hari-hari khidmah (pengabdian) itu, dimana setiap hari berlalu laksana kota penuh cahaya yang berbeda, dimana orang-orang mengabdikan dirinya untuk meraih Ridha Ilahi meski mengorbankan kepentingan diri dan harus melewati masa-masa sulit, hari-hari dimana semua bersemangat bersama, berlari bersama, menangis dan tertawa bersama, meneteskan peluh bersama dan berteriak bersama. Terkadang sulit untuk tidak mengenang hari-hari saat udara surga seolah menjelma dalam kehidupan, saling mencintai, menghormati, dan berbagi cinta yang tulus satu sama lain. Hari-hari tanpa pamrih, tanpa syarat, penuh ketulusan, malamnya penuh warna sebelum bekerja di siangnya dan siangnya pun cemerlang bercahaya, hari-hari dimana persaudaraan lebih utama dari segalanya serta mereka yang mengabdikan dirinya pada dakwah saling mencintai melebihi cintanya pada saudara kandung sendiri itu, seakan terhampar di hadapan mata.
Setelah semuanya ini, ada sebuah kisah hikmah yang terlintas di benak saya. Suatu hari orang-orang bertanya kepada seorang alim: “Anda mengatakan bahwa ada perbedaan antara orang yang mengatakan cinta dengan orang yang menghidupkan cintanya. Apakah perbedaan tersebut?” “Tunggu, akan kutunjukkan”, ucapnya. Kemudian ulama itu mengundang orang-orang yang mengucapkan cinta di lidahnya namun tak sampai ke hatinya, untuk makan bersama. Ketika semua telah duduk, sup hangat yang wanginya sangat menggoda disuguhkan. Kemudian dibawakan pula “sendok-sendok darwish5” yang panjangnya satu meter. Ketika tuan rumah membagikan sendok-sendok panjang ini, ia memberikan persyaratan. “Anda semua hanya diizinkan memegang ujung sendok-sendok ini!” Mereka yang setuju pun mengambil sendok itu dan berusaha untuk menikmati hidangan sup tersebut. Namun apa yang terjadi? Karena sendok sangatlah panjang maka setiap usaha mereka pun sia-sia. Mereka sama sekali tidak dapat menyendokkan ke dalam mulut dan sup-sup panas itu tumpah ke sekujur tubuhnya. Pada akhirnya sadarlah mereka bahwa hal itu tidak mungkin bisa dilakukan. Mereka pun pulang dengan rasa lapar.
“Wahai teman dan sahabat!” ucap orang bijak itu. “Sekarang panggillah si fulan dan si fulan ke jamuan kita…”Lalu datanglah orang-orang yang berwajah cerah, mata mereka berbinar penuh cahaya cinta, di bibirnya tersungging senyum dan duduk di hadapan meja makan yang tersedia. Setelah sejenak menunggu tuan rumah berkata, “Silahkan, selamat makan!” mereka pun berucap “Bismillah” dan memegang ujung sendok panjang tersebut lalu mulai menyendokkan ke dalam sup dan menyuapkannya ke mulut orang yang ada di hadapannya. Sehingga setiap orang memberi makan pada teman yang ada di hadapannya kemudian mereka pun bersyukur dan pulang dari jamuan itu. “Ya, Inilah perbedaan antara kedua hal tadi”, ucap Waliyullah tersebut dengan senyum mengembang di wajahnya.
Sekarang dan disinilah waktu yang tepat untuk menebarkan semerbak wangi cinta, udara persaudaraan dan warna keikhlasan yang silir-semilir berada di sekitar manusia-manusia ksatria seperti ini. Terlebih lagi ini adalah saatnya meniupkan nafas pada seluruh aspek kehidupan dengan sepoi angin khidmah, dengan lantunan wirid dan doa, dengan nyaringnya suara ibadah, dengan kebahagiaan penghambaan tanpa kelambanan dan tanpa ada waktu yang terbuang. Inilah hari-hari untuk menyampaikan tabligh pada kalbu-kalbu dengan mendalami diri, menyatukan individu-individu berdampingan dalam ikatan dan dengan kekuatan ukhuwwah. Saya berdoa kepada Allah, semoga harapan kita ini tidak akan menjadi sia-sia. Karena kita tahu bahwa;
Jalan ini panjang,
Persinggahannya amat banyak,
Tak ada jalan pintasnya,
Sementara air dalam menghadang di mana-mana…
Keterangan:
- Mencintai secara mendalam. Dalam kajian tasawuf, mahabbah berarti mencintai Allah dan mengandung arti patuh kepada-Nya dan membenci sikap yang melawan-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali Allah serta menyerahkan seluruh diri pada-Nya.
- Rasa takut, segan.
- Menurut pengarang kamus al-Muhith, al-Khasyah berarti al-Khauf (rasa takut). Selain itu ada yang mengartikan al-Khasyah itu sebagai al- Khauf yang bercampur dengan pengagungan terkadang dimaknai juga sebagai pengharapan (ar-Rajâ`).
- Melakukan sesuatu tanpa menuntut balasan/tanpa pamrih; sikap sukarela.
- Seseorang yang menempuh jalan tasawuf/ sufi.
Discussion about this post