FOMO Berimbas pada Manusia Segala Usia
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau “rasa takut akan ketinggalan” telah menimpa kebanyakan dari kita dalam satu titik tertentu. Di era media sosial kini, seringkali kita membandingkan diri dengan orang lain: teman, keluarga, atau bahkan selebriti terkenal. Apa yang orang lain miliki, apa yang mereka lakukan dan yang tidak kita lakukan mungkin dapat menggiring kita pada pemikiran negatif terhadap diri kita sendiri. Pikiran tersebut dapat mengarahkan kita pada kegelisahan, kesedihan, kedengkian, dan kemarahan. Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa FOMO yang pada awalnya diyakini sebagai permasalahan hanya bagi para remaja saja, ternyata juga dapat menjangkiti siapa pun, tak pandang usia.
Para ilmuwan mengadakan sebuah survey pada lebih dari 400 orang di seluruh Amerika Serikat dari rentang usia 14 hingga 47 tahun. Mereka mengajukan serangkaian pertanyaan berkaitan dengan persepsi diri, kepuasan hidup, dan penggunaan media sosial. Para ahli menduga bahwa FOMO akan lebih banyak terjadi pada kelompok remaja saja, mengingat remaja mengalami begitu banyak perkembangan sosial dalam rentang waktu singkat. Namun ternyata, hasil yang didapatkan menunjukkan sebuah pola persebaran pada semua usia. Terlebih lagi, mereka menyangka bahwa media sosial menjadi faktor utama penyebab FOMO atau rasa takut akan ketinggalan. Namun ternyata mereka menemukan bahwa prediksi itu tidaklah tepat bagi kondisi tersebut. Misalnya, dua orang dengan konsumsi media sosial yang hampir sama ternyata memiliki tingkat rasa takut ketinggalan yang berbeda. Satu orang mungkin merasa minder melihat kesibukan orang lain, sementara yang satunya lagi malah merasa kesal. Terlebih dari itu, media sosial dianggap memperkuat kecemasan orang yang seakan-akan telah mengalami kondisi FOMO ini. Pada akhirnya, bukanlah usia maupun konsumsi media sosial, melainkan persepsi diri yang membentuk pola pikir sejauh mana tingkat rasa takut ketinggalan memengaruhi mental seseorang. Peneliti mengatakan bahwa kesendirian, rendahnya rasa percaya pada diri sendiri, dan kurangnya rasa cinta pada diri sendiri berkontribusi besar pada munculnya perasaan cemas.
Studi ini menyimpulkan bahwa salah satu solusi utama kecemasan yang didorong oleh FOMO tak lain adalah dengan membatasi penggunaan media sosial atau bahkan tidak menggunakannya sama sekali untuk beberapa saat. Sebagai tambahan, berkonsultasi pada orang yang ahli di bidangnya guna mendapatkan dukungan dalam mengatasi persepsi negatif pada diri sendiri, yakni dengan mengubah “kesalahan” atau “kekurangan” menjadi sebuah tantangan yang dapat diatasi.
Barry CT et al. Fear of missing out (FoMO): A generational phenomenon or an individual difference? Journal of Social and Personal Relationships, August 2020.
Bahkan Senyum Palsu Dapat Memanipulasi Otak Menjadi Lebih Positif
Benarkah bahwa sebuah senyuman dapat membuat segalanya lebih baik? Apakah ada bukti ilmiah atas pernyataan tersebut? Sebuah studi terbaru menunjukkan bahwa meskipun kita tidak merasa ingin benar-benar tersenyum atau saat kita tersenyum palsu, ternyata hal itu tetap dapat memberikan dampak positif. Temuan ini terasa begitu relevan dengan kondisi dunia yang saat ini berkutat dengan krisis pandemi Covid-19, yang menyebabkan munculnya gejala gangguan kekhawatiran dan depresi secara global.
Studi ini menguji para peserta yang diminta untuk meletakkan sebuah pena di antara gigi-gigi mereka (menggigitnya), dengan tujuan memaksa wajah mereka menggunakan otot selayaknya ketika tersenyum. Hasilnya menunjukkan bahwa aktivitas otot wajah tidak hanya mengubah ekspresi wajah tetapi juga ekspresi tubuh seseorang, yang keduanya menghasilkan lebih banyak emosi positif. Praktik tersenyum “terpaksa” ini mampu menstimulasi amigdala, yang tak lain merupakan pusat emosional pada otak manusia, untuk melepaskan neurotransmiter guna mendorong keadaan emosional yang positif.
Studi ini memiliki implikasi menarik bagi kesehatan mental, yakni jika kita dapat memanipulasi otak dengan rangsangan perasaan “bahagia”, maka kita dapat menggunakan mekanisme ini untuk mambantu meningkatkan kualitas kesehatan mental. Penemuan ini memberi menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara aksi dan persepsi. Sistem persepsi dan motorik bekerja bersama-sama ketika kita memroses rangsangan secara emosional. Ungkapan “Berpura-puralah sampai kau benar-benar berhasil melakukannya” ternyata lebih realistis daripada yang orang-orang bayangkan.
Ramos FM et al. Your Face and Moves Seem Happier When I Smile. Experimental Psychology, May 2020
Terapi Berbasis Sel Dapat Digunakan dalam Penyembuhan Obesitas dan Diabetes
Obesitas merupakan pemicu utama penyakit diabetes tipe 2 dan terhubung pada berbagai penyakit kronis yang akan memicu kematian global tahun ini, lebih banyak daripada kasus kematian yang diakibatkan oleh virus corona. Para ilmuwan baru-baru ini berhasil mengembangkan sebuah konsep terapi berbasis sel baru dalam pengobatan obesitas. Terapi potensial bagi obesitas ini akan mendayagunakan sel HUMBLE (human brown-like) atau sel lemak kecokelatan, atau sel lemak putih manusia yang telah dimodifikasi secara genetika agar menyerupai sel lemak kecokelatan sesungguhnya yang menghasilkan panas tubuh. Sel lemak kecokelatan maupun sel lemak putih tidak menyimpan energi, tapi membakarnya. Dalam proses ini, lemak kecokelatan mampu mengurangi kadar glukosa dan lemak berlebih dalam darah yang terhubung pada penyakit metabolisme seperti diabetes. Sayangnya, orang yang kelebihan berat badan atau obesitas cenderung memiliki lebih sedikit lemak kecokelatan yang bermanfaat ini. Keberadaan sel HUMBLE diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini.
Tim peneliti mula-mula memproduksi sel HUMBLE dari preadiposit putih lalu menggunakan sistem modifikasi genom CRISPR-Cas9 untuk menstimulasi ekspresi dari gen UCP1 yang nantinya dapat mengubah preadiposit putih menjadi sel lemak kecokelatan. Ketika sel HUMBLE ditransplantasikan ke tikus, sel-sel itu lalu secara mengejutkan berfungsi selayaknya lemak kecokelatan milik si tikus sendiri. Dalam diet tinggi lemak, tikus yang menerima modifikasi sel HUMBLE menunjukkan sensitivitas lebih tinggi terhadap insulin, dan kemampuan menghilangkan glukosa dari darah lebih baik daripada tikus yang ada di grup kontrol. Selain itu, berat badan tikus-tikus tersebut juga berkurang.
Hasil uji coba hewan ini sangat memuaskan tim ilmuwan. Harapannya, mereka dapat segera mengaplikasikan sel cokelat HUMBLE ke tubuh pasien. Prosedur ini akan dimulai dengan pengambilan sejumlah kecil preadiposit putih dari pasien, memisahkan sel-sel prekursor, memodifikasi sel-sel tersebut untuk menstimulasi ekspresi dari gen UCP1, dan terakhir mentransplantasi ulang sel HUMBLE ke dalam tubuh pasien. Meski begitu, tantangannya adalah bahwa prosedur ini sangat rumit dan mahal. Solusi alternatifnya adalah dengan menggunakan sel tak teradaptasi yang kemudian dienkapsulasi dengan biomaterial yang melindungi sel-sel agar tidak ditolak oleh sistem imun pasien.
Pilihan lain yang mungkin akan diterapkan adalah dengan melakukan pendekatan terapi gen yang secara langsung menghasilkan ekspresi gen UCP1 dalam sel progenitor lemak putih. Sel tersebut akan mendapatkan jaringan yang menyerupai lemak kecokelatan. Dahulu, penerapan terapi berbasis sel atau gen dalam pengobatan obesitas terkesan seperti sains fiktif (angan-angan). Akan tetapi, perkembangan sains di masa kini, seperti teknologi modifikasi genom CRISPR-Cas9, akan membantu kita dalam meningkatkan metabolisme, berat badan, kualitas hidup, dan secara umum kesehatan bagi mereka yang memiliki obesitas dan diabetes.
Wang CH et al. CRISPR-engineered human brown-like adipocytes prevent diet-induced obesity and ameliorate metabolic syndrome in mice. Science Translational Medicine, August 2020.
Discussion about this post