Virus dapat Mencuri Kode Genetik Manusia untuk Membentuk Gen Baru
Virus memiliki kemampuan menimbulkan berbagai macam penyakit mengerikan yang seringkali mematikan inangnya. Selama satu milenium terakhir, umat manusia telah berhadapan dengan berbagai macam penyakit mematikan mulai dari cacar hingga flu spanyol, dan kini pandemi Covid-19. Salah satu karakteristik menarik dari organisme mungil yang mematikan ini adalah bahwa mereka bahkan tidak mampu membuat proteinnya sendiri. Mereka sepenuhnya bergantung pada inang untuk memproduksi proteinnya. Ketika virus menginfeksi sel inang, ia menggunakan mekanisme transkripsi dan translasi sel untuk memproduksi protein-proteinnya dan untuk menghasilkan salinan dirinya. Penelitian terbaru menggambarkan adanya sebuah mekanisme yang sebelumnya belum diketahui yang dapat terjadi selama proses ini dimana virus mencuri sinyal genetik dari inangnya untuk memperluas genomnya sendiri. Hal ini memungkinkan virus membuat hibrida baru dari mRNA inang dengan gen mereka sendiri untuk memproduksi protein hibrida terbaru bernama UFO (Upstream Frankenstein Open reading frame). Sebagai prinsip pembuktian hal ini, para peneliti menunjukkan setidaknya terdapat 10% virus influenza A yang memiliki protein-protein hibrida UFO ini. Lebih lanjutnya, protein UFO dapat terdeteksi oleh sistem imun tubuh dan bahkan mampu mengatur adanya virulensi. Masih diperlukan adanya studi lanjutan guna memahami kelas baru dari protein ini dan implikasi ekspresi penyebarannya melalui berbagai virus RNA yang dapat mengakibatkan epidemi dan pandemi. Protein-protein UFO berpotensi mengubah perjalanan penularan virus dan dapat dipergunakan dengan sangat baik untuk pembuatan vaksin baru yang lebih efektif.
Ho JSY et al. Hybrid Gene Origination Creates Human-Virus Chimeric Proteins during Infection. Cell, June 2020.
Antibodi Manusia Super Dapat Melindungi Diri Melawan Virus COVID-19
Perkembangan penanganan kesehatan atau pembuatan vaksin bagi Covid-19 kini menjadi prioritas kesehatan publik utama bagi semua negara di dunia. Secara global, lebih dari 219 juta orang dinyatakan positif Corona dan lebih dari 4,55 juta jiwa di antaranya meninggal dunia (data per-27 September 2021), dengan laju kasus harian yang masih terus berlanjut. Di tengah kondisi internasional yang saling berpacu untuk mencari penemuan dan pembuatan vaksin Covid-19, para peneliti menemukan sebuah sub-kumpulan antibodi pada jaringan darah pasien Covid-19 yang telah berhasil sembuh. Antibodi ini menghasilkan perlindungan yang begitu kuat untuk melawan virus Corona. Para peneliti mula-mula mengambil sampel darah pasien yang telah sembuh dari penyakit Covid-19 dengan gejala yang ringan ke berat. Kemudian mereka menguji apakah sampel darah tersebut dapat mengikat virus dan mampu menghalanginya secara kuat dari menularkan sel yang mengandung reseptor ACE-2, sebuah reseptor yang digunakan SARS-CoV-2 untuk menginfeksi sel-sel manusia. Eksperimen tahap awal mengarahkan pada pemisahan 1.000 antibodi berbeda yang dihasilkan oleh sel imun. Masing-masing antibodi tersebut menunjukkan afinitas atau kecenderungan pada anti-SARS-CoV-2 yang berbeda satu sama lain. Di antara semua antibodi yang diuji, tim peneliti mengidentifikasi beberapa antibodi yang mampu mencegah menginfeksi virus dan melindungi hamster dari paparan virus pada skala berat. Antibodi penetralisir berkekuatan super ini ditemukan untuk menargetkan lonjakan protein-protein Corona yang terlokalisasi di permukaan viral dan sangat penting bagi virus untuk menempelkan dirinya pada sel-sel manusia. Antibodi-antibodi ini secara efektif menahan virus agar tidak memasuki sel-sel tubuh manusia dan dapat mematikan infeksi secara esensial. Menariknya, antibodi yang tidak dapat menetralisir virus ternyata ditemukan pada 75% pasien. Sementara antibodi yang dapat menetralisir virus hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien saja. Strategi terbaru adalah usaha untuk melibatkan replikasi jumlah sel-sel imun yang memproduksi antibodi super ini agar dapat diproduksi dalam jumlah banyak dan dapat disuntikkan kembali ke tubuh pasien yang sakit. Para ilmuwan memprediksikan bila tes keamanan lanjutan pada hewan dan uji klinis pada manusia berjalan seperti yang diharapkan, maka antibodi itu akan dapat digunakan secara klinis secepatnya pada bulan Januari mendatang. Studi baru ini mengemukakan sebuah paradigma dari reaksi cepat pada kemunculan sebuah virus mematikan yang menyajikan panggung bagi uji klinis dan tes lanjutan bagi antibodi.
Rogers TF et al. Isolation of potent SARS-CoV-2 neutralizing antibodies and protection from disease in a small animal model. Science, June 2020.
Lingkungan Sekitar adalah Kunci bagi Umur Panjang
Meski bukti yang berkembang mengindikasikan bahwa gen yang baik akan dapat membantu kita hidup lebih lama, akan tetapi ia tidak menyampaikan informasi utuhnya saat membahas tentang apa yang diperlukan agar manusia dapat hidup lebih lama dan sehat. Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa lingkungan tempat tinggal berimplikasi besar pada kemungkinan agar seseorang dapat hidup lama hingga mencapai umur 100 tahun atau yang sering disebut sebagai ‘sentenarian’. Para peneliti menguji data 145.000 warga kota Washington yang wafat di usia 75 tahun atau lebih antara tahun 2011 hingga 2015. Analisis kelangsungan hidup yang diperoleh dari data tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang memungkinkan warganya dapat berjalan kaki, status sosial ekonomi yang tinggi, serta persentase populasi usia kerja yang tinggi sangat berkaitan erat secara positif pada pencapaian usia hidup hingga 100 tahun. Satu indikasi penting dari penelitian ini adalah masyarakat lintas usia yang tinggal di kawasan kondusif untuk berjalan kaki dan menjadikan olahraga sesuatu yang gampang dilakukan, serta akses yang mudah bagi mereka menuju klinik kesehatan atau pasar swalayan. Terlebih lagi, lansia cenderung tidak suka jika mengalami isolasi dan dalam hal ini suka jika mendapat lebih banyak dukungan dari lingkungan sekitar. Studi sebelumnya memperkirakan bahwa faktor keturunan hanya menjelaskan peluang sekitar 20% hingga 35% seseorang mencapai usia 100 tahun. Studi ini mendukung gagasan bahwa kita mampu mengubah tingkat kerentanan terhadap berbagai macam penyakit genetika melalui perilaku kebiasaan kita. Dengan kata lain, jika kita tinggal di lingkungan yang mendukung hidup sehat bagi lansia, maka itu akan memengaruhi kemampuan kita melawan masalah-masalah genetika melalui perubahan pada gaya hidup sehat.
Bhardwaj R. et al. Environmental Correlates of Reaching a Centenarian Age: Analysis of 144,665 Deaths in Washington State for 2011−2015. International Journal of Environmental Research and Public Health. April, 2020.
Discussion about this post